Mudabicara.com_ Ilmu Sosial Profetik adalah gagasan penting dalam keilmuan sosial yang lahir dari seorang sejarawan Kuntowijoyo. Ia membawa ilmu sosial kedalam transformasi dan integrasi agar dapat membawa masyarakat dalam keadaan ideal.
Teori sosial profetik Kuntowijoyo lahir dari kegelisahan Kuntowijoyo terhadap kehidupan masyarakat muslim dimana realitas sosial memaksa umat Islam terlepas dari akar sosialnya.
Ilmu sosial, bagi Kuntowijoyo tak boleh berhenti hanya sebagai ilmu penjelas dari sebuah realitas sosial. Alhasil, ia merumuskan tiga nilai dasar agar ilmu sosial menjadi ilmu sosial profetik. Nah! lalu apa saja tiga nilai dasar teori ilmu sosial profetik kuntowijoyo tersebut. Simak ulasan mudabicara berikut ini:
BACA JUGA : MENGILHAMI PUISI “MUSEUM PEJUANGAN” KUNTOWIJOYO
Teori Sosial Profetik Kuntowijoyo
1. Humanisasi
Humanisasi adalah menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari diri manusia dengan tujuan memanusiakan manusia. Semangat humanisasi tak jauh beda dengan semangat liberalisasi barat. Namun humanisasi yang dilahirkan kuntotowijoyo berdasar pada humanisme teosentris sedangkan humanisme barat berdasar pada humanisme antroposentris.
Oleh karena itu, untuk memahami humanisasi orang harus lebih dulu memahami konsep transendensi secara menyeluruh. Sebab transendensi menjadi alat untuk memahami humanisasi.
Humanisme antropsentris mengangap kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya semangatnya tentu untuk menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri.
BACA JUGA : MENGENANG KH. AHMAD LUTFI FATHULLAH ; POTRET DAKWAH & KEMODERENAN
Kehidupan yang bertumpu pada humanisme antroposentris menjadikan manusia sebagai tolak ukur kebohongan dan kebenaran. Seorang manusia dimaknai sebagai kriteria keindahan guna memberikan nilai penting dalam kehidupan. Tentu tujuannya tak lain hanya untuk kesenangan dan pencapaian kekuasaan.
Sebab merasa bisa dengan dirinya sendiri humanisme antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia. Alhasil, manusia merasa tidak ada aspek lain dalam kehidupannya sehingga merasa menjadi penguasa atas dirinya sendiri dan kemudian ingin juga menjadi penguasa bagi orang lain.
Kerakusan dan ketamakan pun muncul untuk mengekploitasi kekayaan alam dan semakin liar. Dengan tumpuan humanisme antroposentris ditambah dengan gerakan modernisasi maka kerusakan alam dan ekplotasi semakin menjadi-jadi.
Maka dari itu humanisme antroprosentris tidak mampu mebawa kedalam proses humanisasi melainkan sebaliknya yakni dehumanisasi.
BACA JUGA : MENGENAL SOSOK NURCHOLISH MADJID KETUA UMUM PB HMI DUA PERIODE
Sedangkan Kuntowijoyo membawa narasi humanisme teosentris sebagai penganti humanisme antroposentris. Dengan humanisme teosentris Kuntowijoyo mencoba mengangkat kembali derajat manusia. Ia berharap manusia mampu memusatkan diri dengan sang pencipta dengan tujuan untuk kepentingan manusia sendiri.
Sebuah perkembangan peradaban tak lagi bisa diukur dengan rasionalitas tetapi peradaban manusia bisa diukur dengan transendensi.
Gagasan humanisme teosentris akan memberikan manfaat kepada kehidupan manusia yang telah mengalami loneliness, agresivitas dan dehumanisasi.
2. Liberasi
Liberalisasi dalam konteks ilmu sosial profetik adalah ilmu yang didasari oleh nilai-nilai luhur transendental.
Liberasi dalam ilmu sosial profetik mempunyai falsafah tanggung jawab profetik. Artinya ilmu yang mampu untuk mengeluarkan manusia dari jurang kemiskinan, ekplotasi serta penindasan dari pihak lain. Liberasi ini berbeda dengan nilai-nilai liberarif dalam teologi pembebasan yang lebih pada konteks teologis.
Meskipun hampir sama dengan prinsip sosialisme seperti komunisme, marxisme, teologi ketergantungan dan teologi pembebasan. Namun yang membedakan adalah dalam ilmu sosial profetik liberasi tidak sebagai sebuah ideologi.
BACA JUGA : SISTEM POLITIK, PENGERTIAN DAN MACAM-MACAMNYA
Di lain sisi, Jika gerakan marxisme menolak agama karena dianggap kuno dan konservatif maka ilmu sosial profetik menjadikan agama sebagai sandaran. Narasi liberasi Kuntowijoyo ini membawa semangat agama kedalam transformasi ilmu yang faktual dan obyektif.
Fenomena seperti kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit.
Kuntowijoyo bahkan menyindir sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos. Menurut Kuntowijoto ada empat sasaran liberasi yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik.
Sebab keempat sistem inilah yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia. Liberasi menyasar pada realitas empiris yang nantinya akan membuat orang peka terhadap dominasi sosial dan penindasan.
3. Transendensi
Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Kajian ini memberikan arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi penting. Sebagai dasar dari dua nilai sebelumnya transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental atau keimanan menjadi bagian penting dari membangun peradaban. Oleh karena itu, agama menjadi sandaran utama dalam ilmu sosial profetik.
Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya.
Melalui kritik transendensi, masyarakat akan mendapat kesadaran materialistik di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.
Di samping itu, laju modernisasi dan globalisasi yang mengakibatkan banyak efek negatif membawa semangat Kuntowijoyo untuk mencari metode-metode altertif yang bersumber pada agama. Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia.
Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan. Tidak seperti pada narasi manusia antroposentris yang menempatkan dunia cukup dengan pribadinya sendiri.
Resolusi Kemanusian Kuntowijoyo
Kuntowijoyo menilai bahwa masyarakat terlalu menjadikan ajaran agamachanya sebatas sebagai ideologivbukan sebagai ilmu. Sehingga mudah sekali terpantik api-api sentimen terhadap perbedaan keagamaan.
Oleh sebab itu, Kuntowijoyo menginginkan adanya integrasi antara ilmu agama dan ilmu sosial. Sebab pendekatan normatif tidak membawa perubahan ketika berhadapan dengan realitas. Sebab kebanyakan orang akan membawa ketidakmampuan melawan realitas kedalam hal-hal yang abtraktif dan bagi Kuntowijoyo itulah pemikiran yang masih berdasar pada mitos.
Kuntowijoyo meletakan tiga pilar Ilmu Sosial Profetik melalui ayat 110 Surah Ali ‘Imran, yakni humanisasi (ta’muruuna bil ma’ruuf), liberasi (tanhawna ‘anil munkar) dan transendensi (tu-minuuna billaah).
Landasan Humanisme Teosentris yakni At-Tin ayat 5 dan 6 yang menunjukkan bahayanya dehumanisasi; terjatuhnya manusia dari martabat sejatinya (asfala saafiliin), serta menunjukkan pula solusinya, yakni iman dan amal saleh.
Akhirnya, humanisasi (Pemanusian), liberasi (pembebasan) dan transendensi (Keimanan) adalah tiga nilai pijakan yang saling terhubung dalam kajian ilmu sosial profetik.
BACA JUGA : MENGENAL TEORI HUKUM TIGA TAHAP AUGUSTE COMTE
Dan pentinya transendensi selain sebagai arah tujuan, transendensi juga memiliki fungsi kritik. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan terbebas dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya menuju kesadaran transendental.
Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia yang akan datang. Mari kita tunggu.
Oleh : Mus Muliadi (Aktivis Sosial Bima)