Mudabicara.com_ Plato adalah seorang filsuf yang hidup pada tahun 427-347 SM. Selain seorang Filsuf, Plato juga terkenal sebagai seorang matematikawan Yunani.
Plato sendiri dalam pemikirannya sudah menemukan banyak teori. Adapun teori hasil dari pemikiran Plato yakni tentang teori kebenaran, hakiki dari segala yang ada. Ada juga pemikiran tentang Alethea yang menyangkut tentang idealisme ilahiyah.
BACA JUGA : Mengenang Ahmad Syafii Maarif, Anak Kampung dan Kemerdekaan Bangsa
Menariknya, Plato juga memilikan pandangan tentang psikologi, ia memaknai psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang hakikat jiwa. Nah Penasanan, kini mudabicara.com ini mengulas tentang pengertian psikologi menurut Plato, simak ulasan berikut ini ya!
Pandangan Plato Tentang Hubungan Jiwa dengan Tubuh
Plato menilai jiwa merupakan suatu hal yang abadi sebab jiwa bagi plato bukan materi. Sedangkan tubuh merupakan hal yang material dan tidak abadi.
Sehingga dari kedua hal itu, jiwa dan tubuh bersifat antipodal atau oposisi biner. Ia merupakan sebuah paradoks klasik. Lalu, bagaimana dua unsur yang berbeda ini (jiwa) mampu menyatu dalam tubuh?
BACA JUGA : Pengertian Sastra, Fungsi dan Macamnya
Dari pertanyaan di atas, Plato memberikan penjelasan yang cukup logis dengan memberikan perumpamaan sekeping uang logam yang memiliki sisi berbeda yakni depan dan belakang.
Dari sisi yang berbeda itu, Plato memberi gambaran sisi depan bersifat antipodal dan sisi belakang bersifat oposisi biner.
Namun kedua sisi yang berbeda itu tetap dapat menyatu pada sekeping uang logam, kemudian ia memberikan perumpamaan itu seperti kesatuan jiwa dan tubuh pada manusia.
Jiwa Menurut Plato
Plato membagi jiwa menjadi tiga bagian. Pertama, Jiwa murni yang merupakan sisi rasionalitas manusia. Kedua, nafsu pada diri manusia. Ketiga, Jiwa yang abadi yakni jiwa yang tidak mempunyai nafsu tetapi memiliki rasionalitas.
Dalam beraktivitas manusia menggunakan nafsu dalam rasionalitas atau dalam kesempatan lain menggunakan rasionalitas dalam nafsunya.
Namun Plato menilai ada manusia yang hanya memiliki satu jiwa, yakni jiwa yang abadi. Nafsu dalam diri manusia tersebut semaksimal mungkin dapat tunduk atau bahkan hilang.
BACA JUGA : Profil dan Pemikiran Bapak Sosiologi Auguste Comte
Manusia yang semacam ini cenderung menggunakan rasionalitas. Dari sini kemudian Plato menyimpulkan jiwa yang abadi itulah yang merupakan hakikat dari manusia.
Penjelasan lebih detail terkait kerja atau proses ketiga hal dalam jiwa tersebut pada diri menggunakan konsep reinkarnasi.
Ketika jiwa masuk ke dalam tubuh, jiwa tercampur dengan nafsu, sehingga menciptakan sisi rasionalitas dan nafsu.
Dari sini kemudian, manusia biasa memiliki sisi rasionalitas dan emosi. Namun manusia biasa mampu merubah dirinya menjadi manusia yang luar biasa dengan memakai sisi rasionalitas dengan menyingkirkan hawa nafsu.
Rasionalitas dan Irasionalitas
Berangkat dari pembagian jiwa menurut Plato. Ia menyederhanakanya menjadi dua kategori, yakni rasional dan irasional.
Rasional dengan sebutan Logistikon sedangkan Irasional menjadi dua bagian Thumoides artinya sifat marah dan epithumetikon artinya berhubungan dengan keinginan.
BACA JUGA : Peta Politik Perdagangan Heroin
Setiap manusia dalam kategori manusia luar biasa terdapat sisi logistikon yang kuat, meskipun jiwa yang irasional setiap manusia belum tentu sama.
Kenapa demikian? Sebab adakala manusia memiliki sisi dominan pada thumoeides dan ada manusia yang memiliki sisi dominan pada sisi epithumetikon.
Pembagian Relasi Manusia Menurut Plato
Pemikiran psikologi Plato tidak hanya mengenai rasionalitas dan irasionalitas. Ia juga membicarakan terkait hubungan manusia dengan alam tentu dalam konteks kajian psikologi.
Relasi manusia dengan alam ini terdiri dari tiga kelas dengan berdasar pada prinsip kategori jiwa rasional dan irasional.
1. Logistikon
Pada pembagian kelas yang pertama ini, alam penuh dengan manusia-manusia yang memiliki sisi rasionalitas atau yang tergolong sebagai manusia luar biasa.
Ketika alam dominan dengan manusia-manusia semacam ini, alam akan terjaga, karena manusia logistikon merupakan manusia yang memiliki kemungkinan kecil untuk melakukan destroying atau sifat-sifat merusak alam.
Karena manusia semacam itu cenderung akan menahan nafsu. Manusia logistikon akan berfikir untuk mencapai yang terbaik pada alam atau lingkungan yang ada disekeliling mereka.
Sehingga pemikiran semacam itu akan menciptakan kondisi alam yang baik, kondusif, dan menghasilkan generasi yang baik. Sehingga bagi Plato, kelas manusia Logistikon ini adalah manusia yang ideal.
2. Thumoeides
Pada kelas ini, alam diisi oleh manusia-manusia yang memiliki atau didominasi oleh sifat Thumoeides atau disebut manusia biasa.
Manusia-manusia semacam ini ketika hidup dengan alam, mereka cenderung mengandalkan sifat amarah. Sehingga itu akan menciptakan sikap destruktif terhadap alam.
BACA JUGA : Resensi Buku Melawan Korupsi Karya Vishnu Juwono
Manusia semacam ini dalam mewujudkan lingkungan yang baik, kondusif, maka mereka perlu dilatih untuk menjadi manusia logistikon.
Melatih manusia thumoeides ke logistikon ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi alam atau lingkungan yang mereka tempati demi bisa mewujudkan generasi yang lebih baik lagi.
3. Epithumetikon
Di saat alam terisi oleh manusia-manusia yang memiliki sisi epithumetikon atau yang disebut sebagai manusia rendah.
Dalam menjalankan kehidupan, manusia semacam ini cenderung menggunakan hawa nafsu untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Manusia epithumetikon lebih membahayakan dari pada kelompok thumoeides . Karena mereka lebih bersifat destruktif kepada alam.
Kelompok ini membangun relasi dengan alam atau lingkungan tidak hanya butuh pelatihan saja, melainkan harus dipaksa agar menjadi manusia luar biasa.
BACA JUGA : Pemuda, Korupsi dan Partisipasi Politik
Cara semacam ini harus dilakukan demi mewujudkan lingkungan atau alam yang baik yang kemudian akan menciptakan generasi ke depan yang baik dan berkualitas.
Kelompok ketiga ini bagi Plato untuk sampai pada kelompok yang ideal maka paksaan-paksaan itu harus ditempuh sehingga masyarakat ini tidak dikategorikan pada kelas paling rendah.
Kontribusi Pemikiran Plato Tehadap Psikologi
Dari uraian di atas terkait konsep pemikiran Plato tentang jiwa manusia, sejauh ini pandangan palto tentang psikologi sangat memberi kontribusi terhadap perkembangan ilmu psikologi.
Terutama visi tentang pengetahuan, jiwa rasional, struktur psikis dan pengaruhnya pada ilmu yang mempelajari perilaku manusia yang kini masih relevan.
Mengingat Plato mempercayai reinkarnasi yakni suatu keyakinan tentang manusia pasca hidup. Dalam keadaan sekarat jiwa akan memisahkan diri dari tubuh untuk mencapai bentuk sempurna. Proses reinkarnasi adalah proses filogenetik.
BACA JUGA : Resensi Buku Logika Karya Drs Mundiri
Saat jiwa reinkarnasi dalam tubuh yang penuh dengan kebutuhan dan sensasi maka hal itu mengakibatkan manusia mengalami keadaan bingung.
Dari sini kemudian sebuah ilmu psikologi hadir untuk membantu jiwa rasional untuk menguasai tubuh dan bagian lain dari jiwa.
Pandangan Plato tentang psikologi dan jiwa yang rasional telah memberi kontribusi tentang bagaimana manusia dapat mengendalikan diri. Ia menilai manusia harus dapat menyeimbangkan antara rasionalitas dan nafsu agar kehidupan berjalan dengan baik.
Penulis : Ainun Masnunah (Pegiat Literasi Yogyakarta)