Mudabicara.com_Kebijakan Kemendikbud yang mengizinkan sekolah di zona kuning untuk melakukan pembelajaran tatap muka dinilai sangat berbahaya. Pembelajaran tatap muka di zona kuning sangat berpotensi menambah angka penularan Covid-19. Karena, hingga saat ini angka penularan Covid-19 belum ada tanda-tanda penurunan.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Bramantyo Suwondo dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Minggu, 9 Agustus 2020.
Menurut pria yang akrab disapa Mas Bram itu meminta kepada Pemerintah agar membatalkan pembukaan sekolah di zona kuning. Seharusnya, Pemerintah fokus menangani penyebaran Covid-19 terlebih dahulu dan memastikan situasi aman bagi siswa.
“Perkantoran yang diharapkan bisa menjalankan protokol kesehatan dengan disiplin saja justru melahirkan klaster baru. Bagaimana dengan sekolah? Keputusan ini sangat berisiko. Harusnya, pemerintah bekerja lebih cepat dan tepat agar jumlah zona hijau semakin banyak, bukannya justru memaksakan relaksasi pembukaan sekolah di zona kuning,” ungkap Bram.
Menurut data dari Satgas Penanganan Covid-19, proporsi anak Indonesia usia 6-18 tahun yang menderita Covid-19 sebanyak 6,8 persen, dengan tingkat kematian 1,1 persen. Secara global, baru-baru ini WHO mengumumkan proporsi orang berusia 15-24 yang menderita Covid-19 naik dari 4,5 persen pada Februari menjadi 15 persen pada Juli 2020.
BACA JUGA: https://mudabicara.com/mengenal-lebih-dekat-ahmad-sahide/
Ketua Satgas Covid-19 IDAI bahkan mengatakan, ada 8000-an anak yang terkonfirmasi positif Covid-19, dengan mayoritas tertular dari orang dewasa di sekitarnya. Artinya, anak-anak usia sekolah pun sangat rentan tertular Covid-19.
Bramantyo menyayangkan revisi SKB 4 Menteri dilaksanakan tanpa evaluasi yang jelas terhadap sekolah di zona hijau yang telah menjalankan KBM tatap muka terlebih dahulu. Nyatanya, di zona hijau pun KBM tatap muka masih berkendala dan berisiko tinggi. Di Kalimantan Barat, KBM tatap muka akhirnya ditunda karena tiga orang guru dinyatakan positif Covid-19.
Di Sumatera Barat, seorang guru dan operator sekolah diketahui positif setelah sekolah terlanjur dibuka, akibatnya sekolah pun ditutup kembali. Di Bengkulu, 17 orang anak menderita Covid-19 karena tertular dari orang tua dan teman, sehingga sekolah diliburkan. Zona hijau di Bengkulu yang membuka sekolah pada 20 Juli 2020 pun berubah menjadi zona merah hanya dalam dua pekan.
Bramantyo mengungkapkan pengumuman revisi SKB 4 Menteri kemarin meninggalkan banyak kejanggalan dan pertanyaan.
Pembukaan Sekolah di Zona Kuning Sangat Berbahaya https://t.co/31KpBZgHqK
— Mudabicara.com (@Mudabicaracom) August 9, 2020
“Contohnya, jarak tempuh dan transportasi siswa serta guru dari rumah ke sekolah tidak diatur. Apakah yang tinggal di zona merah atau oranye tetap boleh masuk ke sekolah di zona kuning? Apakah boleh naik kendaraan umum? Apakah akan dilaksanakan tes massal sebelum sekolah dibuka? Zonasi Covid-19 ini bersifat sangat dinamis dan selama tidak ada pembatasan mobilitas, risiko penyebaran akan terus meningkat. Jumlah zona kuning dan hijau dalam paparan Mendikbud dan Ketua BNPB pada konferensi kemarin saja berbeda. Seharusnya pemerintah mengevaluasi sekolah di zona hijau terlebih dahulu, kemudian mengidentifikasi kendala dan praktik baiknya, sebelum memutuskan relaksasi ini,” ujar Bramantyo.
Ia menyadari bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) hingga kini masih belum dilaksanakan secara optimal, banyak permasalahan yang muncul mulai dari beban tugas siswa hingga keterbatasan akses dan kemampuan finansial untuk mendukung PJJ.
Namun demikian, pembukaan sekolah kembali bukan solusi ideal saat ini dan tidak boleh diputuskan dengan buru-buru.
“Jika permasalahan utamanya adalah PJJ, sebaiknya pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih untuk membantu PJJ. Cukup banyak dari anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejumlah Rp 695,2 triliun itu yang belum terserap secara maksimal. Pemerintah bisa mengalokasikan sebagian anggaran tersebut untuk mendukung pendidikan di masa pandemi dan meningkatkan kualitas PJJ,” jelasnya.
Bersama Komisi X, Bramantyo menyatakan bahwa pihaknya sudah mendorong penyusunan dan penerapan kurikulum darurat sejak awal masa pandemi. Namun, pihak Kemendikbud kurang menanggapi rekomendasi ini di awal dan baru memutuskan penggunaan kurikulum darurat saat pengumuman SKB 4 Menteri lalu. Tidak adanya kurikulum darurat sejak awal telah membingungkan guru dan menyulitkan siswa serta orang tua yang salah kaprah memaknai capaian belajar selama PJJ.
“Belajar dari hal ini, sosialisasi tentang kurikulum darurat dan modul pembelajaran harus dilaksanakan sebaik mungkin. Kemendikbud harus menjalin kerja sama yang erat dengan Dinas dan pihak terkait agar kurikulum darurat diimplementasikan dengan maksimal, sehingga PJJ bisa berjalan lebih optimal tanpa membebani,” ucap Bramantyo.
Di samping itu, Bramantyo mengimbau pemerintah daerah, sekolah, dan orang tua murid di zona kuning untuk ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan sebelum mengizinkan KBM tatap muka.
“Saya sadar bahwa tidak semua sekolah dapat memenuhi persyaratan protokol kesehatan. Banyak yang masih belum memiliki toilet layak ataupun wastafel dengan aliran air bersih. Saya berharap pemerintah pusat meninjau ulang keputusan relaksasi ini. Dan saya harap pemerintah daerah, sekolah, dan orang tua murid dapat menimbang risiko yang ada. Anak-anak Indonesia memang berhak atas pendidikan yang layak, tetapi utamanya, mereka juga memiliki hak untuk hidup dan hak untuk sehat,” ujarnya.