Tantangan Tata Kelola Tenaga Kerja Indonesia

Opini532 Dilihat

Mudabicara.com_Globalisasi telah merubah wajah dunia secara signifikan, terutama dalam hal perdagangan dan ekonomi. Konsekuensi logis dari adanya relasi yang melintas batas antar negara adalah peningkatan arus supply-demand barang dan jasa yang kemudian membentuk sistem rantai pasok global (global supply chain). Tak hanya barang dan jasa, namun juga ide, teknologi, modal dan tenaga kerja kini semakin leluasa bergerak dari satu negara ke negara lain. Lantas bagaimana dengan tenaga kerja Indonesia?.

BACA JUGA : 10 MANFAAT BELAJAR SOSIOLOGI UNTUK ANAK MUDA 

Di era globalisasi ini, perekonomian dunia ditentukan oleh indikator kesejahteraan yang dibangun oleh Barat di mana produk domestic bruto (PDB) menjadi tolak ukur dalam menentukan suatu negara memiliki performa ekonomi yang baik atau buruk. Demi meningkatkan PDB dan kondisi ekonomi nasional, maka industrialisasi adalah jalan utama yang dipilih demi mencapai tujuan tersebut.

Dampak Industrialisasi

Konsekuensi dari adanya industrialisasi adalah terbentuknya sistem ekonomi kapitalis yang semakin kuat. Kondisi ini idealnya dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat di negara tersebut, utamanya bagi tenaga kerja.

Pada akhirnya mendorong negara-negara untuk melakukan penyesuaian dengan sistem kerja industri di mana tidak jarang terjadinya eksploitasi tenaga kerja hingga praktik-praktik bisnis kotor seperti bisnis yang merusak lingkungan.

BACA JUGA : MENGENAL TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER 

Dalam konteks Indonesia, mewujudkan praktik pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan tanpa mengabaikan kesejahteraan para tenaga kerja menjadi tantangan tersendiri di era globalisasi.

Semakin terkoneksinya suatu negara dalam global supply chain, maka semakin besar kesempatan bagi masyarakat di suatu negara mendapatkan akses dan dampak ekonomi. Namun, nyatanya kondisi tersebut belum sepenuhnya terwujud.

Adapun menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), hampir setengah penduduk di Indonesia bekerja sebagai buruh, karyawan, atau pegawai. Dalam survei itu, tercatat jenis pekerjaan tersebut sebesar 39,7% pada 2018. Kemudian meningkat menjadi 40,83% setahun setelahnya

Namun sejumlah persoalan masih menjadi isu penting dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Di antaranya, terkait perlindungan sosial dalam merespon pola kerja yang berubah, perbaikan skill angkatan kerja muda, isu kesetaraan gender di dunia kerja, isu produktivitas tenaga kerja, hingga omnibus law.

Sementara itu, menurut penelitian Asian Development Bank (ADB), dalam konteks global supply chain, ekosistem rantai pasokan sektor primer di Indonesia belum inklusif. Secara makro, hal ini tercermin dari kenyataan bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang pendapatan rata-rata terendah meskipun merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar.

BACA JUGA : MENGENAL TEORI HUKUM TIGA TAHAP AUGUSTE COMTE 

Ironisnya, sektor-sektor ini memiliki rata-rata upah riil yang lebih rendah dari Rp. 1 juta per bulan. Padahal jika dibandingkan sektor lainnya, bahkan memiliki rata-rata upah riil lebih dari Rp1 juta per bulan. Rantai pasok yang tidak efisien ini karena terlalu banyak perantara, fluktuasi harga yang tinggi, dan harga yang tidak adil yang diterima oleh petani dan nelayan.

BERKACA DARI BANGLADESH

Dalam konteks tenaga kerja, Indonesia harus bercermin dari negara Bangladesh. Bangladesh baru saja mendapat predikat sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah oleh Bank Dunia yang sebelumnya berada di kategori negara berpenghasilan rendah.

Negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil sejak dekade 2000-an dan mengalami peningkatan pendapatan per kapita. Dari hanya 2,8 persen di tahun 1970-an menjadi 6 persen di tahun 2010-an, dan pendapatan per kapita meningkat dari US$ 90 pada tahun 1973 menjadi US$ 1314 pada tahun 2015.

Kekuatan ekonomi Bangladesh juga tercermin melalui integrasinya ke dalam ekonomi global, melalui peningkatan ekspor, impor, transfer modal dan investasi asing langsung. Lebih dari 60 persen perekonomian negara ini terintegrasi secara global.

BACA JUGA : ANAK MUDA HARUS TAHUN 5 ALASAN FPI DIBUBARKAN

Namun dalam sejarah pembangunan, banyak negara setelah menjadi negara dengan status pendapatan menengah gagal mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi dan terjebak dalam perangkap jebakan kelas menengah atau middle-income trap (MIT).

Beberapa masalah menjadi sisi lain dari pembangunan yang sering digembar gemborkan. Contohnya adalah persoalan kekurangan energi, kemacetan teknologi dan ketidakstabilan politik.  Pada kisah yang lainnya, industrialisasi garmen di negara ini menyebabkan terjadinya eksploitasi tenaga kerja yang jauh dari kata manusiawi.

Mengutip NPR, tenaga kerja garmen di Bangladesh harus bekerja dengan jam kerja sekitar 12 jam per hari dan pendapatan sekitar US$ 95 per bulan. Selain itu, terjadi peristiwa memilukan dan mematikan dalam sejarah industri garmen yakni tragedi Rana Plaza di mana kompleks pabrik garmen di dekat Dhaka ini terbakar dan runtuh pada 24 April 2013 dan menewaskan lebih dari 1.100 orang. Namun ironisnya, industri garmen Bangladesh adalah yang terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok dan bahkan menyumbang sekitar 84% dari pendapatan ekspor Bangladesh.

Potret yang terjadi di Bangladesh adalah gambaran nyata ketimpangan yang terjadi di era globalisasi dalam konteks ekonomi politik. Keseimbangan antara pengejaran kapital dan kesejahteraan para pekerjanya menjadi isu penting yang harus segera diselesaikan oleh para pemangku kebijakan.

Ironi yang terjadi di Bangladesh dijelaskan  Immanuel Wallerstein, melalui teori sistem dunia bahwa negara kuat akan selalu berusaha mengeksploitasi negara lemah, dalam hal ini terkait dengan ekonomi. Dengan dasar pemikiran dari Karl Marx, Wallerstein mengemukakan struktur ekonomi global dan berargumen bahwa posisi negara-negara dalam struktur kapitalisme global ditempatkan dalam 3 posisi yakni Core (inti), Periphery (pinggiran) dan semi periphery (semi pinggiran).

Negara Core atau negara inti adalah wilayah yang mendapatkan keuntungan lebih banyak dari ekonomi kapitalis. Sedangkan negara Semi Periphery adalah yang sedang beranjak membangun kekuatan ekonomi dan politiknya. Dan terakhir adalah negara periphery merupakan negara yang memiliki pemerintahan pusat yang lemah atau diatur oleh Negara lain, mengekspor bahan mentah ke negara core, serta memiliki presentasi angka kemiskinan yang tinggi.

Adanya arus modal dan investasi yang masuk ke Bangladesh menjadi penanda upaya negara core untuk mengeksploitasi tenaga kerja di negara tersebut. Dalam konteks ini, Bangladesh bisa saja terjebak menjadi negara Semi Periphery di mana akan selalu menjadi produsen bagi rantai pasok global industry garmen, namun dengan kondisi Angkatan kerja yang jauh dari kata manusiawi.

Resolusi Tata Kelola Tenaga Kerja Indonesia

Belajar dari kondisi tersebut, Indonesia sebaiknya segera menyadari pentingnya perubahan namun tidak keluar dari narasi kesejahteraan tenaga kerja. Beberapa rekomendasi yakni pertama, reformasi peraturan dan kelembagaan. Kedua, melakukan diversifikasi ekspor. Ketiga,mengurangi ketimpangan melalui penciptaan pekerjaan yang layak bagi industri yang ada.

Beberepa rekomendasi di atas semestinya perlu di dorong dengan cepat agar Indonesia mampu menjadi negara yang produktif. Namun lagi-lagi pemangku kebijakan Indonesia abai dalam memikirkan nasib kesejahteraan tenaga kerja. Hal itu tercermin dari pengesahan undang-undang Omnibus Law yang lebih menguntungkan investor dari pada pekerja. Industrialisasi dan investor penting namun kesejahteraan serta keberlangsungan hidup tenaga kerja juga jauh lebih penting.

 

Penulis : Mahfut Khanafi (Mudabicara)

Tulisan Terkait: