Mudabicara.com_Negara kita saat ini sedang dihebohkan oleh keputusan pemerintah yang ngotot tetap akan melaksanakan pilkada serentak pada bulan Desember mendatang kendati rasio perkembangan pandemi ini belum ada tanda-tanda penurunan. Ada banyak reaksi dari masyarakat, dan secara mayoritas mengatakan bahwa pelaksanaan pilkada di tengah pandemi adalah sebuah kecerobohan yang luas biasa.
BACA JUGA : PILKADES DITUNDA, PILKADA 2020 TERJUN BEBAS
Kecerobohan itu tampak jelas terlihat lantaran pemerintah dianggap abai terhadap resiko adanya penularan virus secara masif dan, lebih mementingkan pesta pora kekuasaan dan segala macam dinamika di dalamnya. Lebih dari itu, pemerintah – dengan segala intrik-intrik politik di dalamnya – terkesan haus akan kekuasaan dan sama sekali tidak memikirkan nyawa rakyatnya. Padahal, rakyat itulah yang menjadi tongkat pemungutan suara. Bila rakyat secara mayoritas tak mau datang ke TPS untuk mencoblos, justru akan ada masalah baru yang lebih pelik lagi.
Salah satu alasan kuat pemerintah untuk tetap melaksanakan pilkada adalah karena pemerintah tak mau bila banyak daerah dipimpin oleh Plt (Pelaksana Tugas) sebagai pengganti sementara dari pemimpin sebelumnya. Alasan ini cukup logis dan rasional bila melihat proyeksi jangka panjang dan orientasi pembenahan setiap daerah. Tapi, sekali lagi, alasan ini menjadi tidak logis dan terkesan memaksakan bila dihadapkan dengan situasi pandemi yang makin hari makin gawat saja.
Alasan pemerintah di atas masih belum mencakup hal-hal tersembunyi di balik orientasi kekuasaan. Misalnya, soal pilkada dan pemilihan umum bukanlah sesuatu yang sederhana bagi bapaslon atau bagi kalangan partai. Jauh sebelum kontestasi politik dimulai, mereka sudah mempersiapkan berbagai cara, mulai dari kampanye awal, survey, dan melihat perkembangan persepsi masyarakat terhadap calon-calon tersebut. Dana yang digelontorkan untung mengatasi ini juga tidak sedikit.
Belum lagi adanya cukong-cukong, penguasa, atau para kapital yang bermain di dalamnya. Secara tidak langsung, mereka juga bermain politik meski di balik layar. Itu semua dilakukan untuk kepentingan uang dan uang. Mereka ingin membangun sinergi dengan calon-calon penguasa agar bisnisnya bisa berjalan dengan baik dan berkembang biak sesuai ambisi mereka.
Rasa-rasanya, pemerintah seakan mengorbankan nyawa dan kemanusiaaan masyarakat Indonesia demi perputaran kekuasaan agar bisa berjalan dengan mulus meski badai sedang menerpa. Dari sini kita sedikit dapat menerka bahwa betapa kekuasaan itu begitu jahat dan beringas. Ia tak mengenal toleransi dan apapun harus dilakukan untuk mewujudkan kekuasaan itu.
Terhadap fenomena ini, rakyat pun juga tak bisa diam. Di mana-mana orang rame bicara pilkada, di media sosial, di rumah-rumah, kedai kopi, dan di mana saja, banyak orang merasa resah dengan sikap pemerintah yang agak berdarah dingin dan tak mau mendengar aspirasi rakyaknya.
Selain itu, banyak pula orang yang menyatakan golput dan tidak mau tau soal pelaksanaan pilkasa ini, bahkan ada beberapa tokoh nasional yang secara publis menyatakan sikap untuk golput. Tentu saja, ini juga merupakan pilihan yang rasional di tengah keadaan yang tidak menguntungkan. Sikap golput bisa menjadi jalan keluar agar kita semua bisa sedikit meredam perkembangan virus yang tidak kenal ampun.
Meskipun, kita tahu bahwa golput bukanlah sikap yang etis dalam sistem demokrasi, karena itu merupakan salah satu sikap apatis dan pesimistik terhadap negara dan pemerintah. Tapi bila keadaannya sedang begini, kita seperti tidak punya banyak pilihan. Yang perlu kita lakukan adalah sedapat mungkin menyelamatkan nyawa masing-masing dan tentu saja secara bersama-sama melawan ganasnya virus ini.
Sebab, bila pilkada ini tetap akan dilaksanakan, akibat terburuknya adalah kematian masal dan malaikat pencabut nyawa akan panen secara besar-besaran. Pilkada, dengan begitu, seperti meskin pabrik kematian. Kita tentu tak ini peristiwa mengenaskan ini akan terjadi di masa mendatang. Untuk itu, kita perlu mengupayakan kembali sebuah narasi besar yang membumi agar pemerintah dapat memberi solusi terbaik bagi pelaksanaan pilkada mendatang.
BACA JUGA : PEMERINTAHAN ERA JOKOWI-KH MA’RUF AMIN REPRESIF TERHADAP UMAT ISLAM
Saya tetap berpikir positif bahwa kita semua dapat melewati bencana besar ini meski entah kapan masa akhirnya. Pemerintah sebagai garda terdepan dalam penanganan virus ini kiranya perlu bekerja secara lebih baik dan solutif. Sebabnya, rakyat Indonesia sama sekali tidak ingin uang mereka terbuang sia-sia untuk menggaji para pejabat yang kerjanya tidak becus. Jangan sampai pilkada serentak mendatang menjadi semacam mesin kematian yang dapat membunuh berlipat-lipat orang sampai jumlah tak terhingga.
Penulis : Rohmatul Izad (Kandidat Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)