Mudabicara.com_Pemerintah Indonesia dalam upaya memperkuat fondasi eknomi dan meningkatkan konektivitas antarwilayah tengah gencar membangun berbagai infrastruktur di seluruh penjuru negeri.
Terkait hal itu, Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI, mendukung upaya pemerintah membanun banyak infrastruktur.
Meskipun begitu, Said menekankan pembangunan infrastruktur yang banyak menyerap anggaran negara harus dapat menopang kemandirian pangan, kemandirian energi dan kemandirian peningkatan sumber daya manusia (SDM).
Baca Juga: Demensia Mulai Menyerang Anak Muda 30-an, Ini 7 Tanda Gejala Awal
“Kebijakan fiskal harus mendorong penguatan program infrastruktur, terutama infrastruktur yang menopang ketiga program di atas (Kemandirian pangan, energi, dan SDM). Dengan demikian belanja infrastruktur bisa lebih fokus, apalagi kita tidak memiliki ruang fiskal yang longgar karena tergerus berbagai kewajiban mandatory, subsidi, dan kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang,” tutur Said Abdullah.
Said menyebutkan, dalam hal kemandirian pangan, sejak 2014 sampai 2023 jumlah kumulatif impor beras nasional mencapai 8,85 juta ton beras.
Pada periode 2019-2024, kalua dihitung nilai impor beras nasional mencapai 1,95 miliar USD. Impor gula juga tidak kalah fantastis, tahun lalu jumlah mencapai 5.07 juta ton dengan nilai 2,88 miliar USD.
Komoditas lainnya seperti kedelai, susu, jagung, daging sapi, sayuran, buah, semuanya impor.
Said mengatakan pada tahun 2023 lalu, ekspor hasil pertanian kita 6,5 miliar USD, sedangkan nilai impornya mencapai 11,59 miliar USD, sehingga deficit impor hasil pertanain mencapai 5,0 miliar USD.
“Kita perlu program kemandirian pangan yang lebih fokus, yakni mendorong pangan pokok agar tidak bertumpu pada beras, sebab kita memiliki keanekaragaman pangan pokok yang beragam; umbi, sagu, dan sorgum. Program teknologi pangan harus mendorong tumbuhnya industrial farming, optimalisasi lahan tidak produktif, serta meningkatkan hasil laut sebagai kekayaan pangan masa depan yang lebih sehat,” kata Said.
Said Dorong Kebijakan Energi Baru dan Terbarukan Lebih Progresif
Said mencatat dalam hal kemandirian energi dalam rentang 2015-2023 impor minyak mentah Indonesia mencapai 69,3 miliar USD, sementara ekspor hanya 30,1 miliar USD.
Sehingga ada defisit 39,2 miliar USD. Demikian juga dengan nilai impor hasil minyak mencapai 165,2 miliar USD, sedangkan nilai ekspor hanya 17,9 miliar USD yang berakibat deficit sangat dalam 147,3 miliar USD.
“Sejak konversi program minyak tanah ke LPG, kebutuhan impor LPG kita terus meningkat. Dalam rentang 2015-2023, kebutuhan impor LPG kita mencapai 51,4 juta ton, dilain pihak setiap tahun kita bisa ekspor gas alam dengan nilai yang cukup fantastis. Periode 2015-2023 nilai ekspor gas alam kita mencapai 70,2 miliar USD,” ujar Said Abdullah.
Baca Juga: 19 Agustus Hari Kemanusiaan Sedunia
Berdasar hal tersebut, Said menyarankan agar bauran kebijakan energi baru dan terbarukan kedepan haru lebih progresif. Tahun 2015 bauran energi terbarukan masih 4,9 persen.
Tahun 2022 bauran energi terarukan mencapai 12,3 persen, meskipun tumbuh baik, namun butuh lompatan yang lebih besar, karena itu dibutuhkan kebijakan afirmasi. Proporsi energu baru dan terbarukan lima tahun kedepan menurut said idealnya minimal 30 persen.
Said menyayangkan di sector tenaga kerja Indonesia dari jumlah 142, 1 juta pekerja, sebanyak 54,6 persen di antaranya lulusan SMP ke bawah. Hal ini, kata dia menunjukan bahwa Sebagian besar tenaga kerja Indonesia terserap di sector informal.
“Dengan demikian, kita belum mendapatkan manfaat maksimal dari bonus demografi,” tandas Said.