Mudabicara.com_Beberapa pengamat menilai pemerintah saat ini minim prestasi. Pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Justru Indonesia konsisten mengoleksi banyak prestasi tingkat Asia dan bahkan dunia. Tidak percaya?
Mari kita mulai dari Maret 2020. Awal bulan, tepatnya 2 Maret, Joko Widodo mengumumkan kasus Covid-19 pertama di Indonesia. Sejak itu, masyarakat panik. Sementara pemerintah terkesan santai.
BACA JUGA : MENYELAMI BUKU THE POLITIC OF FRIENDSHIP KARYA JASQUES DERRIDA
Kerennya lagi, Menteri Kesahatan Terawan Agus Putranto menuturkan bahwa pandemi Covid-19 merupakan jenis penyakit yang bisa sembuh sendiri. Amazing. Dari sekian banyak negara yang terjangkit korona. Hanya menkes kita yang berani berkata bergitu. Negara lain mah lewat. Bahkan WHO pun hanya bisa melongok. Indonesia memang hebat dan itu “prestasi”.
Dari situ, kita mundur lagi sedikit ke Februari 2020. Pada hari kedua bulan Valentine itu, sebanyak 245 WNI dievakuasi keluar dari Wuhan, Cina menuju tempat observasi di Natuna, kepulauan Riau.
Sebelum evakuasi. WHO memberi peringatan kepada Indonesia agar menyiapkan skema penanganan Covid-19 sekaligus skema pencegahannya. Maklum, saat itu Indonesia masih aman. Belum ada kasus korona. Lantas apa yang dilakukan pemerintah setelah itu?
Tidak ada yang signifikan. Upaya antisipasi terbilang lambat. Justru, dengan pedenya, Menkes percaya bahwa korona belum masuk ke Indonesia saa itu karena do’a dan mengandalkan Tuhan Yang Maha Kuasa sembari berusaha.
Bagian itu yang menarik. Pemerintah sadar dan mengajak masyarakatnya untuk kembali ke pancasila. Setidaknya sila pertama. Yakni kembali pada Tuhan. Takut dan berharap kepada Tuhan memang lebih utama ketimbang takut pada korona. Itu “prestasi” yang luar biasa bukan?
Tentu! Pancasila jadi kembali laku. Tuhan juga bisa kembali disebut-sebut. Agar tidak hanya Yudi Latif, dkk saja yang berbusa mulutnya menyebut dan membahas pancasila. Sesekali menkes ambil bagian. Mumpung momentum korona. Langkah itu perlu diapresiasi. Sekali lagi itu “prestasi”.
Medali Perunggu
Dari Februari, kita maju ke November dan Desember 2020. Ini bukan soal resesi (sudah, lupakan, jangan diungkit). Namun ada “prestasi” besar pemerintah Indonesia di penghujung tahun yang serba sulit dan krisis di sana sini karena pandemi.
Apa itu? Indonesia menyabet medali perunggu (peringkat tiga) dalam kategori negara terkorup di Asia setelah India dan Kamboja. Itu didasarkan pada hasil survei lembaga Transparency International yang digelar sejak Juni hingga September 2020 terhadap 20 ribu responden di 17 negara Asia.
Selain itu, “prestasi” korupsi bangsa ini bisa dilihat pada kasus terakhir yang masih hangat-hangatnya itu. Yang melibatkan dua menteri itu. Yakni Edhy Prabowo mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menjadi tersangka dalam kasus suap ekspor benih lobster senilai Rp 9,8 miliar.
Kemudian disusul Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang kedapatan menyunat bantuan sosial sembako. Selain mereka berdua, kasus itu juga menyeret beberapa nama tersangka lainnya.
Pada kasus Edhy, uang suap digunakan tersangka untuk jalan-jalan bersama istri dan “borong” barang mewah di Amerika Serikat. Sementara 115 juta jiwa penduduk kelas menengah Indonesia melarat karena terhimpit krisis di segala lini. Di mana nuraninya?
Kasus kedua tidak kalah sadisnya. Mensos memangkas bantuan khusus rakyat miskin yang terdampak Covid-19. Nominalnya tak tanggung-tanggung, diperkirakan mencapai Rp 17 miliar yang dipungut. Luar biasa! Itu “prestasi” nasional. Bahkan mungkin memegang rekor internasional. Tepuk tangan buat Juliari Batubara!
Sumbang Angka di Penghujung Tahun
Ulah para pejabat itu, terus memperpanjang deretan kasus tindak pidana korupsi (TPK) di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 271 kasus korupsi yang ditangani pada 2019 dengan total 580 tersangka dan jumlah kerugian negara mencapai Rp 8,04 triliun.
Data ICW menunjukkan, kasus korupsi bermodus suap masih dominan dengan jumlah 51 kasus dan total nilai suap mencapai Rp 169,5 miliar dan nilai pencucian uang mencapai Rp 46 miliar.
Dilansir dari laman resmi KPK bahwa sepanjang 2020 ada 43 kasus TPK di Indonesia. Itu belum termasuk kasus dua menteri yang terbaru. Sepanjang 2004-2020 total sudah ada 1.075 kasus TPK.
Meski kasus tahun 2020 menurun dari tahun sebelumnya. Tidak berarti kasus korupsi juga berkurang. Besar kemungkinan karena faktor pencegahan yang lebih diprioritaskan ketimbang penindakan.
Lagipula, data kasus korupsi tidak selalu mewakili praktek korupsi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Ingat! Koruptor adalah pejabat korup yang diciduk KPK. Pejabat maling namun tidak diciduk bukan koruptor. Namun masih sebagai pejabat yang gagah dan berwibawa. Setidaknya menurut mereka sendiri begitu.
Kajian Ulang
Lantas bagaimana mengatasinya? Skema pemberantasan korupsi baik itu pencegahan maupun penindakan harus dikaji ulang. Di mana kelemahannya? Termasuk hukuman bagi koruptor. Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) memang tidak boleh dihukum ringan. Pun, tidak mesti selalu dihukum mati.
Melawan korupsi adalah tanggung jawab dan komitmen bersama lintas sektor dari hulu ke hilir, pusat hingga daerah dan desa. Sekali lagi, melawan korupsi bukan dengan nyanyian dan narasi. Namun dengan aksi dan prinsip serta nurani.
Bukankah mengembalikan milik teman dan kerabat yang kita pinjam sesuai janji di awal merupakan bagian dari tanggung jawab kecil yang secara tidak langsung beririsan dengan perilaku korupsi? Boleh setuju dan boleh tidak!
Akhirnya, para koruptor bukanlah mereka yang tidak mengerti arti kejujuran dan tanggung jawab. Hanya saja, mereka tidak terbiasa berperilaku jujur, adil dan tanggung jawab dari hal-hal yang paling kecil. Itu!
Penulis : Hizam Basrewan (Jurnalis dan Pegiat Literasi)