4 Tuntutan Tegas API untuk Hentikan Program MBG: Anak Indonesia Bukan Objek Eksperimen!

Sosial31 Dilihat

Mudabicara.com_Korban keracunan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) kebanyakan adalah anak-anak, dan ini memicu keprihatinan dari berbagai kalangan, termasuk Aliansi Perempuan Indonesia (API).

Menurut API, program yang sejatinya menjamin hak anak atas gizi, kesehatan, dan kesejahteraan justru menciptakan risiko serius karena kelemahan dalam perencanaan, pengawasan, dan standar pelaksanaan di lapangan.

“Meski Presiden Prabowo telah memanggil sejumlah menteri dan Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Percepatan Penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada Program MBG, namun kami berposisi bahwa Program MBG ini harus dihentikan, bukan disempurnakan,” bunyi keterangan resmi API, Kamis (9/10/2025).

“Kami menilai, kebijakan MBG terlalu dipaksakan dan terkesan terburu-buru dijalankan tanpa kesiapan infrastruktur, tenaga pendukung, dan sistem pengawasan mutu yang memadai. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya dilindungi, malah menjadi korban kebijakan yang ceroboh.

Baca Juga: SK DPP PSI 2025-2030 Disahkan Menkum, Sosok Dewan Pembina “Mr. J” Masih Dirahasiakan

Dari temuan di lapangan, menu MBG jauh dari standar bergizi. Alih‑alih menghadirkan pangan lokal bergizi, menu yang disajikan malah berupa burger, spaghetti, dan jenis makanan olahan lainnya yang jauh dari karakter sehat.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyebut bahwa menu semacam itu digunakan agar anak-anak tidak bosan.

Menurut API, “Dalih ini justru menandakan bahwa penyelenggara MBG tidak peduli, abai dan ceroboh dalam memenuhi gizi anak-anak. MBG sudah tidak berfokus pada pemenuhan gizi anak dengan disajikannya makan-makanan nir gizi dan bahkan beracun.”

Makanan Rendah Gizi dalam MBG

Di Tangerang Selatan, menu MBG juga tercatat mengandung bahan rendah gizi dan tinggi gula. Contohnya: biskuit, roti cokelat, susu cokelat kemasan, minuman sereal rasa vanila, snack kentang, kacang atom, dan kacang kulit.

Temuan tentang rendahnya nilai gizi dalam menu MBG memicu polemik dan saling lempar tanggung jawab antara BGN dan SPPG. Pemerintah daerah setempat juga mengeluhkan kurangnya koordinasi antara pelaksana MBG dan perangkat pemerintah daerah, sehingga ketika krisis keracunan terjadi, daerah kesulitan merespons secara cepat.

Selain itu, mekanisme pelaksanaan MBG dinilai tidak transparan dan tertutup, sehingga daerah sulit menjalin koordinasi. Kurangnya akuntabilitas ini memperburuk kondisi darurat keracunan MBG di berbagai lokasi.

Ditangani Oleh yang Bukan Ahlinya

API menilai bahwa salah satu akar persoalan dalam kekacauan pelaksanaan MBG adalah struktur BGN yang banyak dikuasai oleh purnawirawan militer, bukan tenaga ahli gizi.

BGN sendiri dibentuk berdasarkan Perpres No. 83 Tahun 2024 sebagai lembaga teknis yang bertugas menangani pemenuhan gizi nasional, seperti koordinasi, pengawasan, penyediaan, dan penyaluran gizi. Namun, ketika banyak keputusan dibuat oleh figur militer yang tidak memiliki latar belakang gizi dan cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan militeristik, keputusan yang diambil seringkali tidak berbasis data lapangan.

Menurut API, “Artinya, keputusan diambil secara top down tanpa mendengar dan mempertimbangkan situasi di lapangan atau melalui diskusi dengan pelaku lapangan, apalagi para ahli gizi.”

Tuntutan Aliansi Perempuan Indonesia

API mengajukan beberapa tuntutan:
• X Program MBG dihentikan secara nasional hingga ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem, mekanisme distribusi, dan standar mutu gizi serta keamanan pangan.
• X Dibentuk tim investigasi independen untuk menelusuri kasus anak-anak yang menjadi korban, dan pihak-pihak bertanggung jawab diberi sanksi tegas.
• X Pelibatan organisasi masyarakat sipil, tenaga kesehatan, dan komunitas perempuan dalam merancang ulang kebijakan agar program gizi anak aman, bermutu, dan berpihak kepada kepentingan terbaik anak.
• X Sementara anggaran MBG dialihkan untuk memperkuat fasilitas sekolah, layanan kesehatan anak, dan dukungan gizi berbasis keluarga dan komunitas.

“Kami menegaskan bahwa hak atas gizi dan kesehatan tidak boleh dijadikan eksperimen politik. Anak-anak Indonesia bukan objek coba-coba kebijakan, melainkan generasi penerus bangsa yang wajib dijamin hak hidup dan tumbuh kembangnya.”

 

Baca Juga: Indonesia Tolak Visa Atlet Israel untuk Kejuaraan Senam Dunia 2025 di Jakarta

Tulisan Terkait: