Mudabicara.com_Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa tahun 2024 merupakan periode paling suram bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal pemberantasan korupsi selama lima tahun terakhir.
Pernyataan ini disampaikan oleh Peneliti ICW, Zararah Azhim Syah, saat menggelar konferensi pers bertajuk ‘Tren Penindakan Kasus Korupsi 2024’ yang berlangsung di Rumah Resonansi ICW, Jakarta, pada hari Selasa (30/9).
“Jumlah perkara dan tersangka yang ditindak aparat penegak hukum justru menurun dan tercatat sebagai yang terendah dalam kurun lima tahun terakhir,” ujar Azhim dalam konferensi pers.
Azhim menyampaikan bahwa data yang dikumpulkan ICW menunjukkan adanya 364 perkara korupsi yang ditangani sepanjang tahun 2024, melibatkan total 888 orang sebagai tersangka.
Baca Juga: Datangi Kapolri, Koalisi Sipil Desak Bebaskan Delpdro Cs
Estimasi kerugian negara dari kasus-kasus ini mencapai Rp279,9 triliun, di mana sebagian besar disebabkan oleh kasus korupsi tata niaga komoditas Timah yang terjadi di lingkup PT Timah Tbk.
Kasus ini menyumbang 96,8 persen dari total kerugian dan berada dalam penanganan Kejaksaan Agung.
Rincian potensi kerugian lainnya mencakup suap sebesar Rp157 miliar, pungli dan pemerasan sebesar Rp31,85 miliar, serta pencucian uang senilai Rp172,2 miliar.
ICW juga mencatat tren kasus di tahun-tahun sebelumnya, yakni: 444 kasus dan 875 tersangka pada 2020; naik menjadi 533 kasus dan 1.173 tersangka pada 2021; meningkat lagi di tahun 2022 dengan 579 kasus dan 1.396 tersangka; dan mencapai puncak pada 2023 dengan 791 kasus dan 1.695 tersangka.
Azhim menilai situasi ini cukup menyedihkan mengingat implementasi dari Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Pasal 18 UU Tipikor belum dimanfaatkan secara optimal sebagai alat pemulihan kerugian negara.
“Padahal, kedua instrumen ini penting untuk memperluas ruang pemulihan aset hasil kejahatan. Minimnya penggunaan menunjukkan bahwa strategi penindakan lebih berfokus pada penghukuman pelaku ketimbang pemulihan kerugian negara,” kata Azhim.
Menurut Azhim, penurunan performa lembaga penegak hukum sebagian besar disebabkan oleh tidak aktifnya sejumlah institusi di daerah, seperti Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri, Kepolisian Daerah, dan Kepolisian Resor dalam menangani kasus korupsi.
“Kondisi ini diperburuk oleh minimnya transparansi APH dalam membuka data penanganan perkara kepada publik. Ketiadaan akses informasi yang memadai menyebabkan masyarakat tidak memiliki basis yang cukup untuk mengevaluasi kinerja penindakan, sehingga akuntabilitas kelembagaan semakin lemah,” ucap dia.
Azhim juga menekankan bahwa penyebaran kasus korupsi pada 2024 menunjukkan tingkat kerawanan tinggi di sektor-sektor publik yang vital bagi keseharian masyarakat.
Ia mengungkapkan bahwa sektor pemerintahan desa menjadi yang paling banyak terjerat kasus dengan 77 perkara dan 108 tersangka.
Diikuti sektor utilitas (57 kasus, 198 tersangka), sektor kesehatan (39 kasus, 104 tersangka), dan sektor pendidikan (25 kasus, 64 tersangka).
Kasus korupsi di tingkat desa, menurutnya, telah menjadi tren tetap sejak dana desa mulai dikucurkan pada 15 Januari 2015.
Ia menambahkan, sektor pendidikan secara konsisten selalu masuk lima besar selama sepuluh tahun terakhir, yang memperlihatkan kegagalan pembenahan dan lemahnya fungsi pengawasan.
Dari sisi pelaku, Azhim menjelaskan bahwa mayoritas tersangka berasal dari unsur pemerintah daerah dengan total 261 orang.
Selain itu, terdapat 256 tersangka dari kalangan swasta dan 73 tersangka yang menjabat sebagai kepala desa. Ia mencatat bahwa aktor dari sektor swasta memberikan kontribusi terbesar terhadap kerugian negara.
“Fakta ini menyingkap rapuhnya desain pencegahan korupsi dan mekanisme pengawasan di sektor privat,” ungkap Azhim.
Teknik pengumpulan data
Dalam hal metode, Azhim menyebut bahwa laporan ini dirancang berdasarkan data dari perkara yang telah memasuki tahap penyidikan dan telah ada penetapan tersangka.
Informasi yang dikumpulkan mencakup ringkasan kasus, identitas tersangka (nama atau inisial), latar belakang pekerjaan, serta estimasi kerugian keuangan negara, suap, pungli, dan indikasi pencucian uang.
Baca Juga: DPR dan Pemerintah Sepakat Revisi UU BUMN, 84 Pasal Dirombak
Sumber data utama berasal dari laporan resmi lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Data tersebut kemudian diperkaya dengan pemberitaan media massa, baik nasional maupun lokal.
Dalam memilih media daring sebagai referensi, ICW menerapkan standar ketat guna menjamin integritas data.
Media yang digunakan sebagai sumber adalah yang memiliki badan hukum resmi, dikelola secara profesional oleh redaksi yang jelas, dan berkomitmen pada etika jurnalistik.
ICW lebih mengutamakan media yang sudah terpercaya secara nasional dan daerah, serta menolak sumber dari blog atau situs yang tidak dapat diverifikasi.
Untuk memastikan keakuratan data, setiap kasus yang dipantau harus diverifikasi melalui minimal tiga laporan dari media daring berbeda.