Mudabicara.com_Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan keputusan pemerintah merevisi SKB 4 Menteri dengan mengizinkan pembelajaran tatap muka pada zona kuning, padahal sangat beresiko bagi anak-anak. Jika melihat data Gugus tugas Covid 19 berarti total yang diijinkan membuka sekolah mencapai 249 kota/kabupaten atau 43% jumlah peserta didik.
“KPAI memandang bahwa hak hidup dan hak sehat bagi anak-anak adalah yang lebih utama dimasa pandemic saat ini. Apalagi dokter Yogi dari IDAI dalam rapat koordinasi dengan Kemdikbud beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa anak-anak yang terinfeksi covid 19, ada yang mengalami kerusakan pada paru-parunya,”ungkap Retno. Anak juga berpotensi menularkan covid 19 ke nenek/kakek, kematian berpotensi akan meningkat terus, penularan berjalan terus, lalu kapan pandemic akan berakhir.
Baca Juga : https://mudabicara.com/kemendikbud-terbitkan-kurikulum-darurat-pada-satuan-pendidikan-dalam-kondisi-khusus/
Merujuk pada ketentuan SKB 4 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaam, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri) Nomor 01/KB/2020, Nomor 516 Tahun 2020, Nomor HK.03.01/Menkes/363/2020, dan nomor 440-882tanggal 15 Juni 2020 tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada tahun ajaran baru 2020/2021di masa Pandemi covid 19, maka pembukaan sekolah hanya diperkenankan di zona hijau, dilakukan secara bertahap mulai dari jenjang SMA/SMK dan SMP, dan sekolah harus memenuhi semua daftar periksa dan siap pembelajaran tatap muka, serta orangtua murid setuju pembelajaran tatap muka.
SKB 4 Menteri tersebut seharusnya di evaluasi dahulu, sehingga dapat dilakukan perbaikan-perbaikan pada pengalaman atau praktik di sekolah-sekolah atau daerah-daerah yang membuka sekolah di zona hijau. Proses ini setidaknya tidak pernah disampaikan kepada public. Padahal, dari hasil pengawasan KPAI di 15 sekolah pada wilayah Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta, menunjukkan hasil hanya 1 sekolah saja yang siap dan memenuhi daftar periksa, yaitU SMKN 11 Kota Bandung. “Dalam bulan Agustus 2020 ini, KPAI akan terus melanjutkan pengawasan langsung ke berbagai sekolah di Serang, Subang, kota Bekasi, kota Bogor, Brebes, Bengkulu, Lombok, dll,”ujar Retno.
Belajar dari pembukaan sekolah di zona hijau, seperti di Pariaman (Sumatera Barat) ternyata ada 1 guru dan 1 operator sekolah yang terinfeksi covid 19, padahal proses pembelajaran tatap muka sudah berlangsung 1 minggu. Begitu juga Tegal yang zona hijau, ketika membuka sekolah ternyata ada 1 siswa terinfeksi covid 19, padahal ananda sudah masuk sekolah selama 2 minggu. Ketika ada kasus terinfeksi, seharusnya pemerintah daerah harus melakukan tes PCR kepada 30x lipat dari kasus dalam populasi.
“Artinya, kalau ada 1 siswa terinfeksi maka 30 siswa lain harus di tes. Kalau belum terbukti terinfeksi Covid 19, maka biaya tes tidak ditanggung pemerintah pusat. Jadi, kalau pas buka sekolah dan ternyata ada kasus covid 19, siapakah yang akan menanggung biaya tes untuk 30 anak/guru di kluster tersebut,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI.
Zona hijau di Bengkulu juga membuka sekolah pada 20 Juli 2020, namun 2 minggu kemudian wilayah tersebut menjadi zona merah karena ada tenaga kesehatan di salah satu Puskesmas terinfeksi covid 19.
Kurikulum Darurat
KPAI mengapresiasi Kemdikbud bahwa akhirnya Kurikulum dalam situasi darurat atau kurikulum yang disederhanakan sudah dibuat, meski barangnya belum diketahui public dan KPAI juga belum mendapatkan Permendikbud tentang standar isi dan standar penilaian, karena perubahan kurikulum semestinya didasarkan pada standar isi dan standar penilaian tersebut.
Sayangnya Kemdikbud tidak tegas bahwa kurikulum dalam situasi darurat ini harus digunakan seluruh sekolah, tetapi menjadi kurikulum alternative. Seharusnya tidak boleh ada pelaksanaan kurikulum berbeda dalam satu tahun ajaran baru karena akan membingungkan guru dan sekolah di lapangan seperti pernah terjadi pada saat Mendikbud Anies Baswedan, yaitu berlakunya dua kurikulum, kurikulum 2013 dengan kurikulum KTSP. “Situasinya darurat, jadi untuk menringankan guru, siswa dan orangtua maka kurikulum yang harusnya diberlakukan adalah kurikulum dalam situasi darurat di seluruh Indonesia,” urai Retno.
Relaksasi Dana BOS
Dana BOS diterima sekolah per 4 bulan, adapun besarannya adalah untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) sebesar Rp 900.000/tahun; SMP Rp 1,1 juta pertahun, SMA Rp 1,6 juta pertahun dan SMK Rp 1,7 juta per tahun. Dana BOS selama ini digunakan untuk memenuhi 8 standar pendidikan nasional. Jadi, kalau semuanya digunakan untuk kuota internet tentu menyulitkan dan membebani sekolah. Karena sekolah harus bayar guru honor dan tenaga honor juga. “Tidak ada pandemic saja dana BOS kurang, apalagi ketika ada pandemic. Beberapa daerah memberikan juga BOSDA (BOS Daerah), namun tidak semua daerah. Karena Sekolah juga harus menyiapkan infrastruktur ke normalan baru dengan dana BOS. Daftar belanja bertambah tapi uang belanja tidak bertambah,”pungkas Retno.