Mudabicara.com_“Koperasi telah mati !”, “Koperasi hanya mimpi !”, “Koperasi bukan solusi !”. Ungkapan-ungkapan putus asa tersebut kian nyaring terdengar dan makin terlihat jelas dalam aras realita kehidupan perekonomian bangsa Indonesia. Barisan slogan kuno laiknya “gotong-royong”, “kerjasama”, “kekeluargaan”, “soko guru perekonomian”, “kepentingan bersama”, atau “demokrasi ekonomi”, hanya dapat kita mafhumi sebagai bumbu penyedap dalam hidangan kurikulum pendidikan sewaktu belajar di sekolah dasar mengenai perkoperasian. Tak pelak hal ini menjadi koreksi kita bersama sebangsa bernegara akan cita-cita luhur idaman para pendahulu bangsa yang mengimpikan sebuah negara dengan tata kelola perekonomian yang jauh dari hegemoni penindasan serta penghisapan kaum pemodal, sistem yang jauh dari kekangan maupun himpitan neo-kapital.
BACA JUGA : SOEKARNO DIBALIK REVOLUSI IRAN
Penilaian bernada pesimis akan sustainabilitas dan survivalitas koperasi Indonesia dalam meghadapi gempuran dinamika zaman bukannya tanpa dasar . Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga penelitian dan pengembangan Kompas, pada Juni 2015, menyebutkan bahwa hanya 17 persen responden yang menjadi anggota koperasi. Data yang dilansir BPS pun menyatakan bahwa terdapat penurunan jumlah anggota pada tiap koperasi, yaitu 265 anggota di tahun 2000 menjadi 174 anggota di tahun 2014.
Dana APBN yang mengucur deras pada tiap koperasi tidak diimbangi dengan manajemen keuangan yang baik, sehingga inisiasi pemerintah menjadi sia-sia karena hanya berujung pada kredit yang macet serta tidak tercapainya target laba. Menurut Dawam Raharjo, koperasi mandul dalam mengatur serta mengelola modalnya. Pada 2014 modal koperasi mencapai rata-rata per unit Rp.958 juta, tetapi volume usahanya lebih rendah: Rp.906 juta. Rasio perputaran modal di bawah 1,0 itu mencerminkan pula kelemahan koperasi sebagai badan usaha. Hal manajerial seperti ini merupakan efek domino dari jarangnya koperasi mengadakan rapat anggota yang didalamnya membahas perihal perencanaan, eksekusi dan evaluasi kerja. Meskipun jumlah koperasi menurut catatan statistik cukup mengesankan, koperasi yang aktif berdasarkan terselenggaranya Rapat Anggota Tahunan hanya berubah sedikit dari 35 persen pada tahun 2000 menjadi 38 persen pada tahun 2014. Tiadanya RAT mengindikasikan ketidakaktifan koperasi. Oleh sebab itu, volume usahanya kecil sehingga asetnya tak berkembang. Implikasinya berdampak pada sumbangan sektor koperasi terhadap PDB yang kecil, hanya 1,7 persen.
Masalah demi masalah muncul dalam internal manajerial. Hal ini wajar adanya karena memang koperasi di Indonesia berdiri bukan atas asas kebutuhan serta kesadaran anggota, melainkan atas dasar kepentingan pengelola akan harapannya memperoleh fasilitas dari pemerintah atau berkah dari kucuran APBN yang dialirkan tiap tahunnya untuk koperasi. Jelas keadaan ini bertentangan dengan asas kemandirian (independensi) dan keswadayaan (self-help) perkoperasian, karena adanya motif mendapat bantuan serta perlindungan dari garis kekuasaan yang tak sejalan dengan prinsip liberalisme ekonomi. Maka jangan heran bila umum kita jumpai koperasi yang manja serta tidak tegak berdiri mandiri sebab eksistensinya bergantung pada dana stimulan pemerintah. Konklusi yang muncul adalah koperasi merupakan beban bagi APBN.
Fakta sejarah akan kedidgdayaan koperasi pernah terjadi di negeri ini. Koperasi lahir atas tuntutan zaman, dibentuk atas kebutuhan anggota yang makin didesak oleh persaingan menghadapi gempuran kapital. Pada masa pra-kemerdekaan, rakyat pribumi Solo yang berdagang batik di pasar Klewer, bersaing hebat dengan pemodal Tionghoa yang menguasai rantai pasokan tekstil. Pedagang kecil banyak yang pailit, karena langkanya pasokan bahan baku tekstil. Sekalipun ada, mahal harganya karena harus membeli dahulu dari pedagang Tionghoa dan implikasinya berdampak pada besaran biaya produksi yang tinggi dan menyebabkan harga batik yang mahal serta tidak diminati konsumen. Dari problem tersebut pedagang pribumi pasar Klewer mulai berhimpun membentuk koperasi yang dapat mengakumulasi modal satuan mereka untuk mengembalikan rantai produksi sehingga mudah mencari bahan baku murah. Mereka berhimpun dalam payung Sarekat Dagang Islam. Akhirnya, melebihi harapan, selain tujuan mendapat rantai pasokan bahan baku terpenuhi, koperasi bahkan sanggup membeli kapal dan truk besar sebagai alat transportasi demi efisiensi biaya produksi. Koperasi pun berkembang dan menggurita ke seluruh daerah, jumlah anggota membludak hingga ratusan ribu jumlahnya di Nusantara.
Cobaan kini bukan hanya datang dari internal koperasi maupun sistem ekonomi lain di dalam negeri. Delapan bulan sudah semenjak gong integrasi ekonomi di kawasan negara tetangga bertajuk Masyarakat Ekonomi ASEAN didengungkan, koperasi menemui badai lain untuk dihadapi. Gelontoran modal serta pekerja asing dari kawasan negara tetangga yang mengalir pada sendi-sendi perekonomian bangsa, diprediksi menyebabkan gejala osteoporosis ekonomi negara dalam berbagai sektor usaha. Hal ini menjadi fatal akibatnya jika rakyat Indonesia tak memiliki usaha defensif guna bertahan dalam kacau badai integrasi perekonomian. Persaingan dalam besaran modal akan menjadi berat ketika masyarakat tidak sadar untuk bergerak menghimpun kekuatan kapital perorangan yang kemudian diakumulasikan menjadi badan usaha yang besar dan sulit ditumbangkan kartel kapital.
Pengalaman adalah guru terbaik, selain berkaca dari histori di masa lampau, kini banyak bertebaran success story yang dialami masyarakat melarat dan termarjinalkan di negara lain, yang hampir pula tenggelam dalam keganasan hegemoni kapital asing. Adalah Kenya, salah satu negara kecil nan miskin di Afrika ini sontak membuat dunia terperangah akan hasil lompatan ekonominya. Peran koperasi bagi perekonomian negara sangatlah besar, yaitu 43 persen PDB nya. Bahkan kabar terakhir dari laporan “Ease of Doing Business” di tahun 2016, Kenya melompati 21 peringkat dalam perkoperasian serta bertengger di urutan 108 klasemen. Indonesia harus puas berada setingkat di bawah Kenya pada tahun ini. Belum lagi bila kita menilik negara maju dalam mengembangkan perkoperasian. Contoh yang paling baik diperlihatkan oleh negara Denmark. Koperasi disana mampu menyediakan 100 juta lapangan pekerjaan dan menjadi pemasar produk pertanian dengan porsi 50 persen dari total pasar. Tak heran, sumbangan PDB nya amat besar, yaitu 68 persen. Oleh karena itu, koperasi menjadi tumpuan ekonomi serta tulang punggung penghidupan rakyat di Denmark. Fakta menariknya adalah koperasi pada kedua negara tersebut tumbuh tanpa stimulan dari pemerintah.
Perencanaan serta pembenahan internal manajerial perlu dilakukan oleh koperasi Indonesia dalam mewujudkan mimpi pendiri bangsa Indonesia. Akan tetapi, pelurusan pola pikir akan pendirian koperasi lebih penting dan hendaknya didahulukan dibanding hal teknis lainnya. Koperasi adalah simbol ekonomi kerakyatan, yang beranggotakan masyarakat kalangan bawah yang berhimpun serta bergotongroyong dalam hal modal, tenaga dan pikiran. Peran pemerintah harus ditinjau ulang agar pendirian koperasi tidak semata-mata dimanfaatkan secara aji mumpung untuk mengeruk subsidi pemerintah. Bila perlu peran pemerintah ditiadakan sama sekali, supaya koperasi memang terbentuk atas dasar kebutuhan akan himpitan perekonomian. Biarkan tumbuh liar di belantara persaingan, koperasi jangan “dibonsai” dan dijadikan hiasan, indah dipandang tapi tak kunjung berkembang.
Penulis : Sukma Patriadjati (Tokoh Muda Sragen dan Pengiat Koperasi)