Mudabicara.com_“Ahmad Soekarno”, begitulah Ali Khamene’i mengenal nama Soekarno, Bapak Proklamator Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, pemimpin tertinggi Iran ini menyebut nama Soekarno itu serta mengenangnya sebagai sosok yang berjasa atas Revolusi Iran.
Tercatat dalam Book Art of Humanism Religious Iran, Khamene’i pernah mendekam di dalam penjara dengan salah seorang tokoh komunis dari Partai Ba’ats, di masa-masa revolusi Iran tengah berkecamuk. Waktu itu, golongan dari kedua tokoh ini dalam posisi yang tidak akur. Karenanya, meski berada satu sel, tokoh komunis ini acuh tak acuh dengan Khamene’i.
BACA JUGA : PROBLEMATIKA TENAGA KERJA INDONESIA DALAM ASEAN SINGLE MARKET
Namun, keadaan itu berubah ketika Khamene’i menyebut nama Soekarno, dimana keduanya ternyata sama-sama mengidolakannya. Mulailah keduanya membicarakan pemikiran Soekarno. Sampai akhirnya, terinspirasi dengan Pancasila yang digagas Soekarno, keduanya berada dalam satu barisan yang sama memperjuangkan Revolusi Iran. Dari situ juga, tokoh komunis ini kemudian menjadi presiden pertama Iran. Dialah Abol Hassan Banisadr.
Memang, tidak dapat disangkal, ide revolusioner Soekarno sejatinya adalah ide persatuan tanpa adanya penjajahan di dalamnya. Karenanya, dalam kiprahnya, ia selalu berusaha mengambil jalan tengah. Dan itu, dapat kita temukan dalam usahanya menggagas Pancasila.
Sulit membayangkan, apa yang mampu menyatukan sekitar 714 suku di Indonesia kalau tidak dengan Pancasila sebagai dasar negara. Namun, Soekarno selalu menegaskan, meski ia yang pertama kali mencetuskannya pada 1 Juni 1945, tetapi Pancasila sejatinya sudah terpendam sejak lama di dalam rakyat Indonesia.
“Sudah terbukti, Pancasila yang saya gali dan dipersembahkan kepada rakyat Indonesia adalah satu dasar yang dinamis, yang benar-benar bisa menghimpun seluruh tenaga Indonesia dan mempersatukan Indonesia,” ucapnya dalam sidang BPUPKI.
Bahkan, jauh sebelum itu, ketika ketiga arus pemikiran, Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, mendominasi Indonesia. Soekarno justru mampu menemukan titik temu diantara ketiganya, sehingga ia menuliskan gagasanya itu dengan judul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” di majalah Soeloeh Indonesia Moeda, yang terbit pada April 1926.
Tentunya tidak berlebihan meminjam istilah istilah Pramoedya Ananta Toer untuk Soekarno –dalam konteks lain-, yaitu “anak semua bangsa”. Lantaran kemampuannya mengelaborasi banyak ide dari sumber-sumber di seluruh dunia.
Karenanya, Soekarno memang layak disebut sebagai tokoh revolusioner. Bahkan, kemerdekaan Indonesia dan Revolusi Iran oleh Theda Skocpol, dianggap sebagai salah satu revolusi sosial terbesar di dunia. Sebab itu, di dalam bukunya “Social Revolutions in the Modern World”, sosiolog juga ilmuwan politik Harvard University ini menyandingkannya dengan Revolusi Prancis, Rusia, dan Cina.
Di samping itu, di ingatan rakyat Iran, Mohammad Zadeh, Menteri Pers dan Media Republik Islam Iran era Presiden Ahmadinejad menyebutkan “Soekarno adalah tokoh adiluhung dengan gagasan besar yang sangat terkenal di Iran.”
Bahkan, Nasir Tamara, wartawan Indonesia, yang kala itu meliput langsung peristiwa Revolusi Iran, menjadi saksi mata atas kebesaran sosok Soekarno. Saat itu, ketika sejumlah mahasiswa Iran menggeruduk Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Teheran, yang menyandera 49 warga AS, ia melihat para mahasiswa itu membawa foto Soekarno bertuliskan “Soekarno, Nasionalis pemimpin Indonesia, korban imperialis Amerika,” dalam bahasa Persia.
Pun, saat Revolusi Iran meletus, Khomeini, pemimpin revolusi, menyerukan jargon yang sama dengan Soekarno “la syarqiyah wa la gharbiyah”, yang jika dialihbahasakan menjadi “bukan timur dan bukan pula barat.” Konon, memang Khomeini terinspirasi oleh pandangan Non Blok dari Soekarno.
Sampai sekarang pun, pandangan itu masih menjadi pijakan politik luar negeri Iran. Sebagaimana sambutan Khamene’i ketika membuka KTT Gerakan Non Blok (GNB) Tahun 2012 di Teheran, Iran. Ia menyitir pidato Soekarno yang menginspirasinya ketika membuka konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.
“Yang mengumpulkan kita di tempat ini bukanlah kesamaan ideologi maupun ras, namun yang mengumpulkan kita di tempat ini adalah persamaan kebutuhan yang kita miliki.”
Maka dari itu, tidak mengherankan jika Soekarno dielu-elukan oleh rakyat Negeri Para Mullah ini. Sebab, ia tidak hanya memberikan optimisme bahwa revolusi haruslah diperjuangkan, dan pada masanya akan menang. Tetapi, dengan pemikiran persatuannya, ia juga menginspirasi Iran untuk menjadikan agama sebagai pilar berbangsa dan bernegara, seperti halnya Indonesia.
“Soekarno memang betul bapak humanisme sosialis, tapi Soekarno bukanlah seorang komunis dan negara beliau tidak berdasarkan agama, tapi negara beliau berdasarkan ketuhanan, di mana semua manusia wajib bertuhan sebagai dasar kebangsaan. Tanpa dasar ketuhanan itu manusia bagaikan robot yang tidak bisa hidup dengan merdeka,” kata Khamene’i.
Penulis : Husein (Penulis Lepas tinggal di Jakarta)