Mudabicara.com_Sistem perdagangan dunia telah berkembang pesat semenjak kemenangan model ekonomi kapitalisme dan berkembangnya globalisasi pasca berakhirnya perang dingin. Di awal abad 21,
relasi antar negara semakin tergantung satu sama lain terutama arus perputaran komoditas barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan domestik suatu negara. Kondisi tersebut mendorong adanya regulasi dan intervensi berupa peraturan yang termanifestasi dalam suatu perjanjian dagang maupun terbentuknya organisasi supranasional yang menjadi badan regulator.
Perkembangan kerjasama yang melintas batas ini kemudian memaksa negara-negara mampu memformulasi kebijakan yang dapat mendorong terciptanya siklus kerjasama yang saling menguntungkan. Mulai dari produksi, jasa, dan tenaga kerja. Kerjasama ekonomi antar negaranegara anggota ASEAN memang sudah dimulai sejak disahkannya Deklarasi Bangkok tahun 1967. Tujuannya tentu untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan budaya. Salah satu contoh kerjasamanya adalah ASEAN Single Market, yakni pengejawantahan dari blueprint ASEAN Economic Community (AEC).
BACA JUGA : WISATA SEPEDA JAKARTA TOURISM FORUMM
ASEAN Economic Community
AEC merupakan pilar kerjasama yang disepakati negara-negara anggota ASEAN yang memandang kawasan Asia Tenggara sebagai pasar tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan arus bebas barang, jasa, dan investasi, serta aliran modal dan keterampilan. Adanya single market memberikan berbagai keuntungan di antaranya adalah adanya basis produksi tunggal yang memungkinkan adanya kemudahan dalam hal fasilitas produksi di kawasan tersebut, terbentuknya jaringan industri di seluruh ASEAN, dan dapat berpartisipasi dalam rantai pasokan global.
Oleh karena itu, perusahaan yang berbasis di ASEAN dapat mengakses bahan mentah, input produksi, jasa, tenaga kerja, dan modal di negara mana pun di kawasan ASEAN yang mereka pilih untuk mendukung operasional produksi. Implikasinya, perusahaan dapat menghemat biaya produksi, fokus pada spesialisasi produk, serta dapat memaksimalkan keuntungan ekonomi.
Namun seiring dengan berkembangnya ASEAN Single Market, isu seputar ketenagakerjaan, daya saing dan produktifitas, serta standarisasi upah dan pekerja di kawasan ini menjadi perdebatan yang memunculkan adanya pro dan kontra. Mengingat dalam konteks kapasitas produksi dan investasi, tidak semua negara ASEAN berada di level yang sama. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kemampuan suatu negara beradaptasi dalam sebuah iklim bisnis yang kompetitif. Sebagai contoh adalah isu produktivitas tenaga kerja antara Singapura dan Indonesia di mana Indonesia masih cukup tertinggal dari negara Singa tersebut.
Problematika ASEAN Single Market Untuk Indonesia
Menurut data Asian Productivity Organization (APO) dalam APO Productivity Data Book 2019, produktivitas tenaga kerja Indonesia berada pada peringkat 5 dari 10 negara ASEAN dan berkisar di angka 26.000 USD. Angka ini bahkan hanya seperlima dari Singapura dengan produktivitas per pekerja sebesar 142.300 USD. Bahkan Indonesia juga harus tersalip jauh dari Malaysia dengan produktivitas per pekerja sebesar 60.000 USD.
BACA JUGA : PRESTASI INDONESIA; REFLEKSI SEPUTAR COVID DAN KORUPSI
Permasalahan diatas tentu menjadi cambuk bagi pemerintah Indonesia. Sebagai negara yang angka pekerja produktif mencapai 69 persen dari total populasi, mengapa malah tingkat produktifitas Indonesia rendah. Hal ini mestinya menjadi perhatian khusus agar ditemukan titik solusinya. Perkiraan 10-15 tahun yang akan datang Indonesia memiliki surplus tenaga kerja produktif. Situasi tersebut bisa menjadi kabar bahagia pun sedih. Membahagiakanya tentu Indonesia akan memiliki banyak tenaga kerja produktif. Menyedihkanya ketika tenaga kerja produktif tidak terwadahi dalam dunia kerja, tentu tinggal menunggu waktu akan terjadi bencana sosial berupa pengangguran, meningkatnya kriminalitas serta kemiskinan. Maka dari itu Indonesia harus segera berbenah dan membaca peluang potensi tenaga kerja, apalagi dalam konteks ASEAN Singgle Market.
Dalam konteks daya saing, Global Competitiveness Index 2018 mencatat bahwa daya saing pekerja Indonesia termasuk yang paling buncit. Indonesia berada pada peringkat ke-45, jauh di bawah Singapura peringkat 2, Malaysia peringat 25, dan Thailand peringkat 38. Artinya tenaga kerja Indonesia mempunyai dua masalah besar yakni tingkat produktifitas rendah dan minus daya saing. Lantas bagaimana menyelesaikan dua masalah besar tersebut guna menjawab tantangan ASEAN Single Market.
Mari kita lihat bagaimana tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia. Data Bappenas menunjukan bahwa 11,5 persen penduduk usia produktif Indonesia yang lulusan sarjana S1, S2, dan S3. 72 persen lulusan pendidikan dasar dan menengah SD, SMP, dan SMA. Dan sisanya 16 persen bahkan tak punya ijazah. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir 70 persen tenaga kerja Indonesia memiliki pendidikan rendah. Artinya sumber daya manusia Indonesia perlu diperbaiki sebab rendahnya pendidikan masyarakat akan mengakibatkan rendahnya produktivitas, upah rendah, dan tidak mempunyai kemampuan serta keahlian untuk dapat berdaya saing.
Disamping tenaga kerja Indonesia berpendidikan rendah, tentu harus ada perspektif baru bagi para pemilik perusahaan dalam melihat buruh atau tenaga kerja. Tenaga kerja tidak boleh hanya diperas tenaga dan fikirannya namun juga diperlukan pelatihan dan bimbingan guna meningkatkan Capacity Building. Perusahaan dalam memelihara sumber daya yang bertalenta tinggi membutuhkan lebih dari sekedar membayarkan gaji yang besar. Perusahaan perlu menciptakan suatu budaya dan sistem reward untuk mendapatkan yang terbaik dari para pekerjanya. Tidak lagi ditekankan pendekatan perintah dan kontrol yang bersifat hierarkis, melainkan mengembangkan dengan baik sumber daya manusia yang dimiliki dan memberi imbalan yang tepat bagi mereka yang berkontribusi baik, seakan akan mereka adalah pemilik dari perusahaan itu sendiri.
Tentu untuk menjawab isu ketimpangan tenaga kerja produktif dan berdaya saing dalam ASEAN single Market Indonesia harus banyak berbenah. Indonesia harus mulai dari pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan. Membangun iklim kerja yang tidak eksploitatif serta memberikan pelatihan dan kursus agar para tenaga kerja Indonesia mempunyai skill dan kemampuan tinggi.
Semua akan berhasil jika para pemangku kebijakan dan lembaga terkait saling bersinergi guna memajukan kualitas sumber daya tenaga kerja dan tidak sibuk pada urusan politik serta jual beli kepentingan yang merugikan tenaga kerja. Sebab para investor tentu akan mencari negara yang mempunyai tenaga kerja produktif dan berdaya saing guna memaksimalkan keuntungan perusahaannya. Semoga Indonesia berbenah!
Penulis : Mahfut Khanafi (CEO Mudabicara)