Mudabicara.com_Hal yang mungkin sudah umum bagi generasi muda saat ini adalah fenomenan kepemilikan second account atau akun media sosial kedua.
Banyak anak muda, terutama generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 memilih untuk membuat akun baru untuk mengunggah konten yang lebih ‘casual’.
Generasi Z sebagai kelompok usia, muda memang lebih melek teknologi dibanding generasi sebelumnya. Tentunya, realita ini membawa sejumlah dampak terhadap kehidupan gen Z, termasuk cara pandang dan response terhadap media sosial.
Baca Juga: Tas Noken Identitas dan Simbol Budaya Luhur Papua
Psikolog klinis sekaligus co founder Cup of Stories, Fitri Jayanthi, M.Psi mengungkap alasan mengapa gen Z cenderung memiliki second account di Instagram ataupun media sosial lainnya. Berikut ini ulasan lengkapnya!
-
Gen Z Tertekan Dituntut Tampil Sempurna di Sosial Media
Tren penggunaan media sosial di kalangan muda tampaknya tengah mengalami pergesaran. Instagram dianggap terlalu fokus pada estetika dan konten visual yang mengutamakan kesempurnaan.
Kehadiran fitur yang sedemikian rupa di Instagram, seperti filter, highlights, dan lain-lain, semakin menguatkan pengguna untuk mengunggah konten yang dianggap ‘sempurna’. Belum lagi kolom komentar yang memungkinkan seseorang untuk langsung mendapatkan respons terhadap unggahannya.
Berdasar ulasan Indonesia Gen Z Report 2024 by IDN Research Institute, fenomena ini menjadi reaksi atas tekanan untuk selalu menampilkan konten yang tampak sempurna di feed Instagram.
Akibatnya, muncul istilah finsta atau “fake instagram”, yakni akun Instagram kedua (berbeda dari akun Instagram utama) yang digunakan bagi generasi Z mengunggah konten yang tidak estetik dan lebih fokus membagikan konten yang dia inginkan.
Finsta dianggap menjadi ruang aman untuk berbagi dengan teman yang telah dikurasi. Mengabaikan konten yang dituntut untuk selalu tampak bagus dan melepaskan tekanan dari akun utama di Instagram.
Masih dari sumber serupa, keterikatan gen Z terhadap estetika menjadi ciri khas dalam pembentukan citra dan identitas. Oleh karenanya, kelompok muda ini melakukan kurasi terhadap profil media sosial, merancang minat, gaya, selera dan kepribadian mereka di dunia digital hingga menciptakan ‘profil yang ideal’.
-
Gen Z pilih bangun citra ideal di first account, Second Account untuk Berekspresi
Fake account Instagram atau yang kemudian populer dengan istilah second account ini ternyata memiliki kaitan dengan self concept dalam studi psikologi. Menurut Fitri, kondisi ini banyak didorong pada keinginan membentuk citra diri agar dapat tampil ideal di masyarakat.
Konsep diri yang diperkenalkan oleh Carl Rogers terbagi dalam dua kategori, yakni ideal self dan real self. Berdasarkan laman resmi University of Florida, ideal self adalah sosok ideal yang diinginkan, sementara real self adalah diri yang sebenarnya.
-
Punya second account berbahaya gak sih untuk kesehatan mental?
Pada dasarnya, konsep diri menjadi kumpulan keyakinan bagi seseorang tentang dirinya sendiri serta gambaran orang lain terhadapnya. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh interaksi, perilaku, serta kemampuan yang dimiliki.
Carl Rogers menekankan pentingnya konsistensi antara ideal self dan real self. Sebab, bila persepsi kita tentang ideal self dan kenyataan yang dialami dalam diri sebagai real self tidak sesuai, maka konsep diri kita tidaklah akurat.
Individu dengan ideal self dan real self yang berimbang akan menumbuhkan self worth dan kehidupan menjadi lebih sejahtera. Namun, apabila yang terjadi adalah sebaliknya dapat menimbulkan permasalahan psikologis.
“Nah, ini sebetulnya dengan kita membedakan peran account pertama dengan account kedua ini juga bisa menimbulkan masalah psikologis. Karena mereka kayak membedakan dua keperibadian mereka yang ingin mereka tampilkan. Nah itu juga jadi sumber permasalahan juga sih di situ,” ujar Fitri menggaris bawahi bahwa fenomena ini tak bisa digeneralisir ke seluruh generasi Z.
-
Gen Z takut dinilai dan dihakimi lewat media sosialnya
Melek teknologi tak sepenuhnya membawa pengaruh positif bagi generasi muda. Kebiasaan untuk selalui dinilai, dihakimi, hingga divalidasi melalui fitur yang disediakan media sosial, ternyata punya efek yang cukup serius bagi kondisi mental seseorang.
Fitri menyampaikan, “Jadi ibaratnya mereka (generasi Z) tuh melihat bahwa ‘aku tuh dinilai berdasarkan ya sosmed aku itu’. Sedangkan kalau milenial kan mungkin kayak kita baru kenal sosmed itu udah di usia-usia berapa, gitu kan”.
Baca Juga: 5 Tren di Medsos Tantangan Memulai Kebiasaan Positif di Tahun 2025 Populer di Gen z
Pandangan tersebut sejalan dengan keterangan Carl Rogers dalam teori self concept. Menurut Carl, orang yang tumbuh di lingkungan dengan penghargaan positif bersyarat akan berusaha untuk menyesuaikan atau mencapai ekspektasi tersebut. Hal ini dilakukan demi mendapat apresiasi atau penghargaan positif yang mereka dambakan.
“Nah, ternyata misalkan aku cek-cek gitu ya dengan konseling individu, kayak kenapa mereka (generasi Z) tuh tertutup, mereka tuh takut banget dengan istilahnya penilaian masyarakat, pandangan orang lain. Takut misalkan kayak ketahuan kalau mereka tuh misalkan gunain jasa psikolog, apa segala macem, kayak gitu,” tambah Fitri.
-
Gen Z banyak yang suka oversharing, solusinya adalah memahami kebutuhan emosi masing-masing
Karakteristik manusia memang kompleks. Apalagi, setiap individu memiliki keunikan tersendiri. Tak semua gen Z bersikap tertutup dan menghindar penilaian orang lain. Nyatanya, perkembangan media sosial juga membawa kultur overhsaring, yakni kebiasaan berbagi secara berlebih di media sosial.
“Jadi ada orang yang menganggap bahwa ‘aku butuh perhatian karena aku gak mendapatkan perhatian, dari misalkan lingkungan sekitar. Aku merasa tempat yang paling tepat adalah, misalkan di media sosial’. Tapi ketika misalkan mereka udah dapat tempat untuk curahkan emosinya, misalkan ke pasangan, keluarga, atau bahkan mereka cari cara yang sehat, misalkan counseling gitu-gitu, biasanya mereka gak akan oversharing di sosmed sih. Jadi, mereka bener-bener tahu kalau akan mengeluarkan atau mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat itu,” jelas Fitri.
Menurut Carl Rogers, ketika seseorang diterima dan dihargai, mereka cenderung mengembangkan sikap yang lebih peduli terhadap diri mereka sendiri. Oleh karenanya, Carl mendorong agar orangtua dapat memberikan cinta tanpa syarat kepada anak-anaknya atau mengapresiasi secara positif pencapaian yang berhasil diraih si kecil.
Demikianlah penjabaran tentang tren second account di kalangan gen Z menurut psikolog. Kamu juga punya second account untuk alasan yang serupa gak, nih?
Demikian Penjabaran Psikolog terkait tren Second Account di kalangan Gen Z. apakah kamu merasakan alasan serupa ketika second account gak, Sob?