Mudabicara.com_Pembayaran utang proyek Whoosh oleh Presiden Prabowo Subianto memantik banyak tafsir di tengah publik. Ada yang melihatnya sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi dan hubungan bilateral, tetapi ada pula yang menilai ini sebagai bentuk penyelamatan proyek tanpa kejelasan pertanggungjawaban hukum.
Apa pun niat di baliknya, satu hal harus digarisbawahi: pelunasan utang tidak boleh dimaknai sebagai penghapusan dosa hukum.
Negara memang wajib menunaikan kewajiban finansialnya, terutama terhadap proyek strategis nasional. Namun, kewajiban itu tak bisa dijadikan tameng untuk menghentikan penyelidikan atas potensi pelanggaran hukum di dalamnya. Baca Juga DPP HIMA KOSGORO 1957 DUKUNG PENUH PENGANUGERAHAN GELAR PAHLAWAN NASIONAL YANG DI INISIASI KOSGORO 1957
Bayar boleh, tapi bukan berarti masalahnya selesai. Kita bicara tentang good governance, bukan sekadar good payment.
Selama bertahun-tahun publik sudah terlalu sering melihat pola yang sama. Proyek besar, dana besar, janji besar tapi di ujungnya, yang tertinggal justru beban besar untuk rakyat.
Ketika audit mulai menemukan kejanggalan, ketika angka tak lagi sinkron dengan fakta, selalu muncul narasi klasik: “demi kepentingan bangsa, kasusnya tak perlu diperpanjang.”
Begitulah cara korupsi hidup lebih lama dari keadilan.
Padahal, proyek Whoosh dengan segala kebanggaan teknologinya harusnya menjadi simbol kemajuan, bukan simbol penguburan akuntabilitas.
Jika benar ada pihak-pihak yang memperkaya diri dari proyek ini, maka pelunasan oleh negara tak boleh menutupi jejak itu. Sebab tanggung jawab hukum tidak ikut lunas bersama utang.
Kita patut menghargai langkah Prabowo sebagai Presiden terpilih yang ingin menyelesaikan kewajiban negara.
Namun, publik juga wajib memastikan bahwa penyelesaian keuangan tidak menjadi alat untuk mengunci penyelidikan hukum. Ini bukan soal siapa yang membayar, tapi siapa yang bermain di balik pembayaran itu.
Kasus Whoosh harus tetap diusut hingga tuntas. Penegak hukum tidak boleh gentar menghadapi tekanan politik atau opini publik yang seolah menormalisasi penyimpangan.
Justru di sinilah ujian moralitas kekuasaan. Jika benar era baru kepemimpinan ingin menunjukkan ketegasan dan keberanian, maka jangan biarkan keadilan macet di rel politik.
Korupsi bukan sekadar tindakan mencuri uang negara. Ia mencuri masa depan. Ia mencuri kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Dan bila negara membiarkan korupsi mengendap tanpa penyelesaian, maka kita sebenarnya sedang membayar utang dengan harga yang jauh lebih mahal: hilangnya kepercayaan publik.
Penegakan hukum terhadap proyek besar seperti Whoosh bukan hanya soal mencari siapa yang salah, tapi juga soal memastikan tata kelola pembangunan berjalan transparan. Audit harus dibuka ke publik. Proses penyelidikan tidak boleh ditutup atas alasan “stabilitas”. Stabilitas tanpa akuntabilitas hanyalah topeng dari kepentingan.
Kita tidak boleh lupa, bahwa setiap rupiah yang digunakan dalam proyek itu berasal dari rakyat dari pajak yang mereka bayarkan, dari keringat mereka yang dipotong demi pembangunan yang dijanjikan akan menyejahterakan.
Maka, bila ada yang menyelewengkan uang itu, mereka tidak hanya mencuri dari negara, tapi juga dari rakyat yang telah percaya.
Pembayaran utang boleh menjadi tanda bahwa negara tak ingin lari dari tanggung jawab finansial. Namun, tanggung jawab moral dan hukum jauh lebih besar dari sekadar transaksi ekonomi. Baca Juga: Terpilih Aklamasi, Jenderal Listyo Sigit Lanjutkan Kepemimpinan PB ISSI hingga 2029
Jangan sampai langkah politik yang seharusnya menjadi simbol keberanian justru dimaknai sebagai kompromi atas kejahatan.
Korupsi harus dibabat habis, tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, tanpa disandera oleh kepentingan siapa pun. Sebab hukum tidak mengenal “teman kekuasaan”. Ia hanya mengenal benar dan salah.
Bangsa ini tidak membutuhkan proyek cepat bila keadilannya lambat. Kita tidak butuh rel baru bila penegakan hukumnya mandek. Apa gunanya Whoosh melesat ratusan kilometer per jam kalau nurani kita justru berhenti di tempat?
Maka sekali lagi: pembayaran boleh dilakukan, tapi penyelidikan harus terus berlanjut. Jangan bayar dengan keadilan. Sebab bila keadilan sudah dilunasi, yang tersisa hanyalah bangsa yang terbiasa menutup mata atas kebenaran.
Whoos di tanggung, proses hukum tetap jalan
Penulis: Widiah Astuti Ketua Koornas Kohati












