Mudabicara.com_Aksi demonstrasi menuntut pencabutan Undang-undang Cipta Kerja pekan lalu berujung ricuh dan aksi anarkis yang melibatkan sejumlah pelajar. Kadiv Humas Mabes Polri menyatakan, sebanyak 806 pelajar diamankan terkait demonstrasi itu.
Melihat hal itu, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (Stafsus Ketua DP BPIP) Antonius Benny Susetyo ikut angkat bicara.
BACA JUGA : BERSAMA JTF : 15 KM UNTUK KOTA YANG NYAMAN TERASA LEBIH ENTENG
“terjadinya perbuatan anarkis oleh sejumlah pelajar saat demonstrasi UU Cipta Kerja pekan lalu. Demo yang mengakibatkan banyak fasilitas publik rusak itu, membuat para pelajar dibekuk oleh polisi,” ujar Benny kepada wartawan melalui pesan whatsapp, Minggu (18/10/2020).
Menurut Benny, keterlibatan para pelajar dalam aksi unjuk rasa yang berujung pada tindakan pengerusakan fasilitas publik adalah buah dari sistem pendidikan yang bermasalah.
“Kita gagal dalam pendidikan kritis untuk membangun karakter pendidikan, sehingga anak-anak akhinya menjadi objek dari eksploitasi. Anak-anak itu sebetulnya kurang memahami masalah dan realita tapi lebih digerakkan oleh emosi dan solidaritas,” jelasnya.
Lebih lanjut, Benny menjelaskan, tindakan anarkis adalah pelanggaran terhadap hak publik yang mengakibatkan rasa aman dan damai terancam.
Staf Khusus sekaligus seorang Rohaniwan itu juga berpendapat, “justru berkebalikan dengan perbuatan sejumlah pelajar pada aksi demo. “Pelajar yang terdidik dengan Benny, tak akan mungkin berbuat anarkis. Jika hal itu ternyata terjadi, maka masalah yang sesungguhnya terjadi ada pada pendidikan yang mereka dapatkan.”
Lebih lanjut ia menerangkan, anak-anak pelajar sangat mudah terprovokasi hingga melakukan vandalisme ketika sebuah peristiwa besar, seperti demonstrasi, memancing emosi mereka.
Namun, Rohaniwan yang akrab disapa Romo Benny menegaskan sekaligus mengingatkan, aparat kepolisian agar tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menindak para pelajar.
Peristiwa vandalisme dari aksi unjuk rasa kemarin hingga penangkapan sejumlah pelajar STM dan SMK menurut Benny menjadi pekerjaan besar bagi Menteri Pendidikan untuk berani mengoreksi sistem pendidikan yang ada saat ini.
Benny mengatakan, “pendidikan seharusnya menghasilkan transformasi sosial yang dapat memperkuat karakter anak-anak dalam mengenal baik dan buruknya suatu perbuatan. Dampak besar pendidikan juga akan menghasilkan tumbuh kembangnya kesadaran umat dalam suatu bangsa.”
Benny, berpendapat yang terjadi adalah di setiap era para penguasa, pendidikan seperti kehilangan makna hakikinya. Pendidikan bukan lagi menjadi alat untuk melakukan transformasi dari kegelapan menuju pencerahan. Dalam berbagai kebijakan pendidikan itu terselip berbagai macam proyek yang sering hanya berujungpangkal pada uang dan keuntungan penguasa, pemenangan ideologi, dan kepentingan kelompok di atas kelompok yang lain.
“Sampai pencampuradukan antara kepentingan pemenangan agama yang simbolistik dan ketidakjelasan arah visi yang dituju,” ungkapnya
“pemerintah harus mencarikan solusi agar anak-anak sekolah mempunyai harapan untuk masa depannya serta energi mereka diarahkan untuk menambah keterampilan, bukan untuk brutalisme. Kalau anak-anak itu mampu kreatif dan inovatif serta berpikir kritis maka mereka tidak akan mudah terjebak ke dalam vandalisme itu,” terangnya.
Kedepan, sambung Benny, mereka yang terlibat dalam tindakan vandalisme harus ditangani dengan terapi khusus dalam pembinaan anak-anak. Salah satu upaya itu, kata Benny, anak-anak pelajar didorong serta diberi peran di publik atas bakat dan minat mereka masing-masing. Seiring dengan itu, bakat dan potensi mereka pun harus tetap dikembangkan.
Sistem pendidikan yang memerdekakan siswa menurut Benny adalah mampu menjadikan mereka menjadi diri sendiri dengan bergantung pada potensi yang dimiliki.
“Menggali potensi bakat dan minat yang mereka miliki adalah proses pendidikan yang memerdekakan dengan pengakuan kesuksesan, bukan hanya kemampuan akademis semata. Seseorang memiliki makna hidup ketika ia menjadi dirinya sendiri,” pungkas Benny.