JIS, Antara Urusan Olahraga, Bisnis dan Politik

Opini643 Dilihat

Mudabicara.com_ Perdebatan mengenai kualitas Jakarta International Stadium (JIS) sebagai salah satu calon venue Piala Dunia U17, masih menjadi perdebatan sampai hari ini.

Sebagian orang menganggap, perdebatan tersebut semata urusan teknis stadion dengan kesesuaian standar dari federasi sepakbola dunia, FIFA. Di sisi lain, perdebatan tersebut hanya masalah motif bisnis dan bahan gorengan politik saja.

Lantas, bagaimana kondisi sebenarnya. Apakah perdebatan tersebut murni masalah teknis stadion sepakbola, dari sisi olahraga atau memang ada motif bisnis atau gocekan politik dalam perdebatan tersebut? Sebenarnya tak sulit untuk mengurainya.

Baca Juga : Di Bawah Daulat Oligarki

Apalagi para pihak yang berkepentingan, ditambah pihak lain yang relatif independen sudah bertemu dalam forum diskusi Indonesia Lawyers Club belum lama ini.

Perkara isu-isu yang ditudingkan terhadap standar yang digunakan di Stadion JIS, sebenarnya cukup terjawab dalam acara tersebut. Hal yang paling ramai diperbincangkan adalah perkara rumput stadion.

Beberapa fakta perlu diungkap tentang penggunaan rumput di JIS. Pertama, rumput yang digunakan di JIS sesuai dengan spesifikasi, adalah rumput hybrid yang merupakan kombinasi dari Zoysia Matrella (95%) dari wilayah Boyolali (sama yang digunakan di Stadion Kapten I Wayan Dipta di Gianyar, Bali) dikombinasi dengan Sintetis Limonta (5%).

Kedua, jenis rumput hybrid tersebut sudah mendapatkan rekomendasi dari FIFA dan sama dengan rumput yang digunakan di Stadion Wanda Metropolitano, Spanyol (Atletico Madrid) dan Stadion Allianz Arena, Jerman (Bayern Muenchen).

Ketiga, tidak pernah ada temuan dari auditor tentang ketidaksesuaian antara spek yang direncanakan dan dipasang, sehingga bisa dipastikan bahwa secara kualitas rumput JIS sesuai dengan rekomendasi FIFA.

Lalu, yang ajaib dengan mengesampingkan fakta-fakta ini, ketika kunjungan ke JIS, dalam beberapa menit, penilai atau konsultan yang patut dipertanyakan kapabilitasnya, secara instan menilai rumput JIS tidak sesuai standar FIFA karena ditanam di atas karpet.

Kemudian dalam acara ILC, ada satu hal yang menggelitik dan terasa janggal dari pernyataan Qamal Mustaqim, Chairman PT Karya Rama Prima, sebuah perusahaan penyedia rumput. Ternyata dirinya pernah ditawari untuk mengerjakan proyek rumput sintetis di JIS.

Pada kesempatan itu dia menolak, karena tidak menguasai teknik pemasangan rumput sintetis. Dan juga dalam pernyataan lain, yang bersangkutan tidak pernah punya pengalaman menjumpai jenis dan pemasangan rumput layaknya di JIS.

Portofolio perusahaan pun mayoritas adalah pengerjaan lapangan golf dan hanya satu portofolio perbaikan lapangan sepakbola di Gelora Bung Karno ketika menyiapkan Piala Dunia U-20 yang akhirnya batal itu.

Sangat aneh dan picik, tentu saja bila seseorang tidak menguasi hal teknis, lantas melakukan evaluasi terhadap masalah rumput tersebut. Lebih rumit lagi, keputusan yang diambil PSSI dan beberapa instansi diambil secara instan, tanpa kajian lanjutan, dari pengamatan yang beberapa menit itu saja. Tentu terasa janggal dan terasa tidak masuk akal. Patut diduga ada motif bisnis di baliknya.

Memperkuat tentang motif bisnis, komentator rumput stadion JIS tersebut adalah seorang vendor penyedia rumput. Bukan seorang dengan lisensi FIFA atau bahkan utusan FIFA secara langsung. Akan sangat wajar tentunya secara bisnis, bila seorang vendor menyatakan pekerjaan vendor lain kurang bagus. Tentu ada cuan di balik lapangan.

Belum lagi bila kita berbicara fakta tentang kualitas pekerjaan Qamal dan timnya. Dalam beberapa kutipan pemberitaan, stadion GBK yang pengerjaan rumputnya dilakukan perusahaan Qamal, berkali-kali diprotes pemain dari luar negeri. Menurut mereka, kualitas rumputnya buruk. Terasa ganjil bukan? Hasil pekerjaan sendiri saja standarnya dipertanyakan, lalu kemudian dengan seenaknya berkomentar tentang standar pekerjaan orang lain yang bahkan detailnya pun tidak ia kuasai

Polemik kedua terkait aksesibilitas bus besar yang dianggap tidak bisa masuk ke JIS. Dalam acara tersebut diperlihatkan video beberapa bus, termasuk bus ukuran besar, yang membawa tim-tim bertanding, termasuk tim internasional, di beberapa acara yang pernah diselenggarakan di JIS dengan bisa masuk dengan mudahnga ke JIS.

Sayangnya, meski sudah ditunjukkan fakta, tetap saja kebenaran tersebut disanggah Arya Sinulingga, Exco PSSI dan Staf Khusus Menteri BUMN. Padahal bila melihat tinggi tiang stadion yang dilewati bus, untuk bus tingkat pun rasanya muat. Namun kembali lagi tentang polemik ini, patut diduga pula karena masalah politik, masalah yang tidak ada, kemudian diada-adakan. Atau akan terasa haram untuk mengakui prestasi politik orang lain.

Padahal, bila mau solutif untuk membuktikan fakta dengan pernyataan para pejabat tentang polemik ini bermotif politik, bisnis atau tidak sama sekali, sangat mudah untuk diformulasikan.

Publik bisa menuntut Menteri Erick Thohir maupun Menteri Basuki Hadimuljono untuk membuat daftar stadion yang akan digunakan sebagai kandidat venue Piala Dunia U-17. Setelah itu, barulah dibuat tabulasi perbandingan. Misalkan, JIS dibandingakan dengan tiga, lima, atau tujuh stadion lainnya.

Misalnya rumput—katakan akan menggunakan delapan stadion—di delapan stadion tersebut, dengan standar yang sama bisa dinilai mana yang memenuhi standar dan mana yang tidak. Akhirnya setelah itu, bisa juga dibuat perbandingan infrastruktur penunjang, juga misalnya akses masuk kendaraan tim atau penonton, jumlah kursi penonton, penerangan, ruang ganti, tempat parkir, risiko lapangan banjir, dan lainnya.

Baca Juga : The Power of (Young) Netizens : Mendorong Partisipasi Politik Generasi Muda Di Era Digital

Bila semua sudah dibandingkan dan dinilai, baru akan terang benderang mana stadion yang memenuhi syarat dan mana yang tidak. Bila hal tersebut dilakukan, apakah JIS akan berada di urutan paling belakang? Sepertinya tidak. Ada kemungkinan JIS akan berada di urutan terdepan stadion yang paling memenuhi standar FIFA. Pertanyaannya, beranikah PSSI atau Kementerian terkait melakukan hal ini dengan jujur dan terbuka? Itu yang perlu dijawab.

Bila tidak berani melakukan itu, sudah pasti pernyataan dua menteri dan juga vendor rumput kemarin bermuatan bisnis dan politis. Diakui atau tidak. Ujungnya, bila PSSI terus jadi kendaraan politik, rasanya kita tak perlu berharap banyak kualitas sepakbola di Indonesia akan membaik. Perlu sebuah kebesaran hati untuk berkata dan bertindak jujur demi kepentingan bangsa, bukan kepentingan pribadi.

JIS, sebagai stadion bertempat duduk single seat terbesar di Indonesia dengan desain yang futuristik seharusnya jadi kebanggaan bangsa. Bukan dikorek-korek kekurangannya demi kepentingan dan syahwat bisnis dan politik. Bila itu terus dilakukan dan didukung, kapan sepakbola Indonesia akan maju?

Tulisan Terkait: