Belanja Impulsif Saat Krisis: Pelarian Sementara dari Stres Ekonomi

Sosial26 Dilihat

Mudabicara.com_Di tengah kondisi ekonomi yang sedang menantang seperti sekarang, anjuran paling sederhana dan sering kita dengar adalah untuk berhemat. Prinsipnya, belanjalah sesuai dengan kebutuhan dan utamakan hal-hal yang benar-benar penting. Namun, kenyataannya banyak dari kita justru terjebak dalam pola belanja impulsif.

Biasanya, barang yang dibeli bukanlah produk mahal, melainkan barang-barang dengan harga terjangkau yang mampu memberikan rasa senang secara cepat.

Baca Juga: 14 Juni 1777: Awal Lahirnya Bendera Nasional Amerika Serikat dan Perjuangan Kemerdekaan

Contohnya seperti kosmetik, produk perawatan kulit, camilan, minuman manis, hingga aksesoris kecil yang sebenarnya tidak begitu diperlukan. Lalu, mengapa kita cenderung berbelanja seperti itu? Beberapa studi punya jawaban menarik.

  1. Belanja impulsif sebagai cara menghadapi tekanan hidup

Perilaku membeli barang non-primer di masa sulit bukan fenomena baru dan telah terjadi di berbagai krisis global, seperti krisis finansial 2008-2009 dan pandemi COVID-19.

Dalam tulisannya untuk The Guardian, Jessica Rozen menjelaskan bahwa belanja impulsif kerap dilakukan sebagai sumber kenyamanan instan-rasa puas yang muncul setelah mendapatkan barang yang diinginkan, terutama yang masih terjangkau secara finansial.

Ironisnya, sering kali keputusan membeli ini kurang diperhitungkan dengan matang; misalnya hanya tergoda diskon atau gratis ongkos kirim, padahal ada pilihan lebih murah di tempat lain.

Ketakutan dan kecemasan akibat tekanan ekonomi menjadi pemicu utama perilaku ini, yang sebenarnya merupakan bentuk coping mechanism atau strategi mengurangi stres.

  1. Krisis mengubah cara kita memandang barang dan jasa

Dalam riset yang dilakukan oleh Biswakarma dan Adhikari yang dipublikasikan di British Journal of Management and Marketing Studies, ditemukan bahwa tiga faktor utama yang memicu pembelian impulsif saat pandemi di Nepal adalah rasa takut, kelangkaan, dan pengaruh sosial-atau biasa disebut fear of missing out (FOMO).

Menariknya, ketakutan dan persepsi kelangkaan ini sering kali bersifat subjektif, bukan fakta obyektif. Misalnya, seseorang bisa tergoda membeli tiket pesawat dengan harga promo karena merasa kesempatan seperti itu tak akan datang lagi, atau kolektor action figure membeli sekarang karena takut barang tersebut akan langka atau berhenti diproduksi.

Selain itu, iklan dan obrolan dengan teman-teman juga bisa memicu rasa takut dan dorongan untuk segera membeli.

  1. Menabung di masa krisis: Perlukah?

Dalam kondisi ekonomi yang serba tak pasti, banyak generasi muda, khususnya Gen Z, yang memilih gaya hidup YOLO (You Only Live Once). Sikap ini membuat mereka cenderung acuh terhadap kondisi saldo rekening mereka.

Faktor yang mendasari antara lain adalah sulitnya mencari pekerjaan, keterbatasan sumber daya, harga kebutuhan pokok yang terus naik, dan kenaikan gaji yang tidak sebanding.

Baca Juga: Fans BabyMonster Jadikan Kopi dan Musik Gaya Hidup

Namun, sikap ini berisiko tinggi, apalagi di negara berkembang yang jaminan sosialnya minim. Bayangkan jika tiba-tiba mengalami sakit atau kehilangan pekerjaan tanpa dana darurat atau asuransi-keadaan seperti ini bisa sangat berbahaya.

Di negara maju, masyarakat mungkin bisa mengandalkan bantuan pemerintah, tapi di Indonesia hal tersebut sulit diperoleh.

Setiap orang punya cara berbeda dalam mengelola keuangannya, dan belanja impulsif selama masa krisis adalah masalah yang dialami banyak orang. Dorongan naluriah manusia untuk mencari pelarian atau solusi cepat memang susah dihindari.

Namun, pembentukan kebiasaan sejak dini dan peningkatan literasi keuangan seiring bertambahnya usia bisa membantu mengendalikan godaan untuk mencari kepuasan instan melalui belanja. Pertanyaannya sekarang: apakah kamu bisa menahan diri dari keinginan tersebut?

Tulisan Terkait: