Pacu Jalur: Warisan Kuansing yang Bangkitkan Semangat dan Bentuk Solidaritas

Budaya324 Dilihat

Mudabicara.com_Pacu jalur merupakan warisan budaya masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi di Provinsi Riau, yang juga dikenal dengan sebutan Rantau Kuantan.

Dalam tradisi ini, tim-tim pendayung menaiki perahu panjang sekitar 25 hingga 27 meter dan bergerak serempak untuk melaju di atas sungai. Tiap perahu, atau yang disebut “jalur,” biasanya memiliki lebar tengah antara 1 hingga 1,25 meter dan mewakili kecamatan asal masing-masing peserta.

Meskipun berasal dari Kuansing, perlombaan ini terbuka untuk peserta dari luar daerah, bahkan dari negara tetangga.

Baca Juga: Pemerintah Pertimbangkan Kenaikan HET Beras Medium Imbas Lonjakan Harga Gabah

Setiap tim terdiri dari 40 hingga 50 orang yang harus kompak mendayung, mengikuti aba-aba, serta menerapkan taktik bersama selama perlombaan berlangsung.

Tak hanya saat bertanding, semangat gotong royong juga terlihat dalam proses pembuatan jalur itu sendiri, yang membutuhkan keterampilan dan kerja sama banyak orang.

berasal dari satu kayu banio atau kulim kuyiang panjang utuh tanpa dipotong.

“Pacu jalur jelas menuntut solidaritas masyarakat karena tanpa kekompakan dan kebersamaan, jalur tidak mungkin terwujud. Solidaritas ini bahkan sudah diterapkan dalam tahap maleo, yaitu saat kayu untuk jalur selesai ditebang dan ditarik keluar dari dalam hutan,” tulis Hasbullah dalam artikel berjudul Pacu Jalur dan Solidaritas Sosial Masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi.

Tradisi pacu jalur sudah muncul sejak awal abad ke-20 sebagai bagian dari perayaan hari-hari besar dalam Islam. Pada masa itu, perlombaan ini belum bersifat kompetitif karena tidak ada hadiah bagi yang menang.

Setelah lomba selesai, para peserta berkumpul untuk menikmati santapan bersama, yang terdiri dari masakan khas daerah yang biasa disantap sehari-hari oleh warga.

Sejarah Pacu Jalur Sejak Zaman Belanda

Tradisi pacu jalur di Kuantan Singingi memiliki sejarah panjang yang terus berkembang, termasuk saat masa kolonial Belanda.

Ketika Belanda menguasai wilayah Teluk Kuantan, mereka mengadopsi pacu jalur sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina.

Sejak saat itu, perlombaan yang sebelumnya identik dengan perayaan hari besar Islam mulai digelar setiap tanggal 31 Agustus.

Para juara dari posisi pertama hingga keempat mendapatkan tonggol, yakni bendera besar berhias nomor perahu sebagai bentuk penghargaan.

Namun, kemeriahan ini sempat terhenti total ketika Jepang menduduki Indonesia dan disusul agresi militer Belanda.

Kondisi ekonomi yang ambruk membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Dalam situasi yang serba kekurangan, upaya melestarikan pacu jalur pun terpaksa dikesampingkan.

Baru setelah Indonesia memasuki era awal kemerdekaan, tepatnya sekitar tahun 1950, semangat untuk menghidupkan kembali pacu jalur muncul dari masyarakat.

Tahun 1951-1952 menjadi titik awal kebangkitan tradisi ini, meski masih menggunakan perahu kecil berisi 7 hingga 15 orang. Lambat laun, jumlah awak kembali bertambah hingga bisa memuat 25 orang, mengembalikan bentuk jalur seperti sediakala.

Perlombaan ini pun mendapatkan makna baru, menjadi bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap 17 Agustus.

Hadiah yang diperebutkan cukup besar mulai dari kerbau, sapi, hingga piala bergilir. Sejak itu, pacu jalur selalu hadir dalam setiap peringatan HUT RI dan menjadi acara tahunan paling meriah di Kuantan Singingi.

Lokasi utama perlombaan ini adalah Tepian Narosa di Kecamatan Kuantan Tengah, sekitar 150 km dari Pekanbaru. Sebelum mencapai ajang puncak tersebut, para peserta harus melewati babak penyisihan di tingkat kecamatan dan rayon. Tim terbaik dari seluruh daerah kembali bertanding dalam ajang final yang dipadati ribuan penonton.

Baca Juga: Cak Imin Tegaskan Belum Ada Koordinasi Parpol Terkait Pemisahan Jadwal Pemilu

Pacu jalur telah menjadi bagian penting dari budaya masyarakat Riau, sekaligus magnet wisata. Setiap tahun, warga lokal dan turis mancanegara berdatangan untuk menyaksikan perlombaan ini, yang turut diramaikan oleh berbagai kegiatan budaya seperti pekan raya, pertunjukan musik dan tari tradisional, hingga pentas Randai Kuantan Singingi.

Menjelang 2025, pacu jalur mencuri perhatian dunia maya. Sebuah video viral menunjukkan aksi tukang tari di atas perahu yang memukau penonton internasional.

Dampaknya luar biasa agenda pacu jalur yang dijadwalkan pada 23–26 Agustus 2025 diprediksi akan dipenuhi wisatawan dari berbagai negara. Sorotan global ini membuka peluang besar bagi pengembangan pariwisata Riau ke kancah internasional.

Tulisan Terkait: