Mudabicara.com_Indonesia menjadikan pertanian sebagai salah satu pendukung pembangunan nasional. Letaknya yang berada di bawah garis imajiner khatulistiwa, membuat Indonesia memiliki modal utama dalam bercocok tanam, yakni beriklim tropis dan tanahnya subur. Namun kemiskinan di perdesaan mencapai hampir 50 persen dan itu terjadi pada petani (BPS, 2017). Penyebabnya bisa terjadi karena melimpahnya tenaga kerja pertanian, terutama di pulau Jawa, sementara luas lahan tetap dan bahkan semakin berkurang.
BACA JUGA : GUSDURIAN, KEMANUSIAN LEBIH PENTING DARI PADA POLITIK
Terjadinya penyempitan dan alih fungsi lahan pertanian telah dirasakan lebih dari satu dekade . Misalnya di Jawa Tengah, selama tahun 2000- 2010 telah terjadi alih fungsi lahan pertanian sawah hingga 14.830 hektare atau 4,12 hektare per hari, setara sekitar luas empat lapangan sepakbola. Meskipun terdapat perluasan lahan, namun peningkatan luas lahan sawah tersebut tidak sebanding dengan alih fungsi lahan pertanian sawah. Pengendalian alih fungsi lahan dengan melakukan perbaikan kesejahteraan petani belum menjadi solusi bagi ketersediaan pangan. Dengan penghasilan yang rendah, petani pada akhirnya memilih beralih profesi dan menjual lahan mereka demi keberlanjutan hidup.
Riset yang dilakukan oleh Purwito (2015) pada masyarakat petani di Desa Kolomayan, Kabupaten Blitar, menemukan petani di wilayah itu menghadapi permasalahan akibat luas lahan pertanian yang semakin sempit sementara mereka harus menanggung beban kebutuhan rumah tangga. Untuk bertahan hidup, para petani tidak hanya mengandalkan aktivitas bertaninya, namun memiliki strategi lain. Strategi beternak dilakukan oleh petani sawah untuk menghasilkan tabungan dan investasi. Strategi pratronase dilakukan dengan mengerjakan lahan milik orang lain. Strategi solidaritas horizontal dengan lebih mengedepankan modal sosial guna membangun jaringan sosial di antara petani sawah, misalnya dengan saling memberi bahan makanan seperti sayuran dan buah-buahan.
Selain persoalan lahan, para petani dihadapkan pada tingginya biaya proses produksi. Hilangnya benih, pupuk dan obat-obatan di pasaran masih sering terjadi menjelang musim tanam. Belum lagi nilai jual yang rendah ketika musim panen. Problem petani ini menjadi tantangan bagi pemerintah hari ini. Penerapan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa diharapkan menjadi problem solver bagi petani berlahan sempit. Azas rekognisi dan subsidiaritas yang termuat dalam Undang-Undang Desa saat ini dapat menjamin desa untuk menentukan kewenangan lokal desa dan kedudukan desa sebagai pemerintahan yang berbasis masyarakat. Pemerintah desa dapat ikut andil dan mengambil peran dalam proses produksi petani berlahan sempit, sehingga keberlanjutan kehidupan di desa dapat dijamin.
Penguatan Petani Berlahan Sempit
Sejumlah upaya dapat dilakukan. Pertama, menguatkan kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Setelah tiga tahun Undang-Undang Desa, desa diharapkan terus turut menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Keberadaan BUMDesa di setiap desa, didorong mampu membantu peningkatan kualitas kehidupan masyarakat desa, terutama petani berlahan sempit. Menurut Yulianto (2017), BUMDesa sebagai lembaga ekonomi lokal yang mengedepankan kemanfaatan sosial (social benefit) terbukti mampu menjadi alternatif dalam memecahkan persoalan sosial di beberapa daerah. Pemerintah sendiri terus mendorong pembentukan BUMDesa yang sampai saat ini telah terbentuk di 18.446 desa dari 74.910 desa
BUMDesa ini dapat memberikan manfaat bagi petani berlahan sempit. Dari pengamatan penulis di sebuah desa di Kabupaten Jember, keberadaan BUMDesa sangat dibutuhkan petani saat memasuki masa tanam semangka, karena pupuk, obat-obatan dan bibit tiba-tiba menghilang di pasaran. Selain itu, harganya juga tiba-tiba melonjak tajam, yang ternyata dapat menimbulkan ketergantungan petani terhadap rentenir.
Para petani berharap agar BUMDesa dapat mengendalikan harga kebutuhan proses produksi tanam semangka dan membeli hasil panennya, karena harga menjadi masalah utama petani lahan sempit. Keterbatasan lahan menjadi pertimbangan petani dalam pengeluaran biaya dalam proses produksi. BUMDesa dapat membantu petani dalam menyediakan kebutuhan petani dalam mencukupi masa tanam, pemeliharaan, panen, dan pasca panen.
BUMDesa juga dapat meminjamkan modal kepada petani dengan skema simpan pinjam. Skema ini bisa dilakukan dengan pola kerjasama BUMDesa dengan pihak perbankan. Dengan cara ini, petani tidak lagi bergantung pada para rentenir yang memberikan pinjaman dengan bunga yang sangat besar. Dari pengamatan penulis di Jember, ditemukan bahwa dengan meminjam ke renternir Rp 200 ribu untuk menanam semangka, petani harus mengembalikan 1 kwintal semangka seharga Rp 450 ribu. Menurut salah satu petani, ketika hasil panen bagus, utang kepada renternir dapat dibayar. Namun, jika panen gagal, utang ini menjadi masalah baru. Tidak sedikit petani yang kemudian menjual hewan ternaknya untuk menutpi utang.
Upaya kedua yang dapat dilakukan adalah memaksimalkan peran kelompok tani. Setelah berlakunya Undang-Undang Desa, nafas dan semangat pembangunan desa bertumpu dari bawah atau masyarakat (grass root), termasuk di dalamnya masyarakat marginal yakni petani berlahan sempit. Keberadaan Undang-Undang Desa tersebut perlu diikuti juga strategi yang jitu bagi keuntungan dan kesejahteraan petani.
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) harus membuat rencana strategis (renstra) bagi kelompok tani di desa, yang mengutamakan keberpihakannya terhadap petani berlahan sempit, yakni dengan mengontrol peredaran subsidi pupuk dan benih agar tepat sasaran. Melalui program desa mandiri benih tahun 2015, pemerintah sudah berkomitmen tidak akan mencabut kebijakan subsidi benih, sehingga petani tetap bisa mendapatkan benih berkualitas yang dapat meningkatkan produktivitas dengan pengalokasian anggaran untuk pembelian lahan pertanian yang diperuntukkan bagi petani berlahan sempit, bisa mengurangi penguasaan lahan pertanian desa oleh tuan tanah khususnya tanaman pangan.
Sebagai wujud perlindungan dan pemberdayaan petani berlahan sempit, juga dapat dibuat kerjasama antar desa, one vilage one comodity dan pengembangan jejaring. Diharapkan dengan pengembangan ekonomi kawasan pedesaan, peningkatan ekonomi perkotaan dan pedesaan dapat saling menguntungkan.
Strategi lainnya adalah dengan memaksimalkan potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang kurang termanfaatkan. Dana desa sebesar Rp 3,8 triliun bisa digunakan untuk meningkatkan produktifitas sektor pertanian dan kepemilikan lahan sempit yang ratarata 0,25-0,50 hektare. Dengan peningkatan kualitas SDM petani lahan sempit, petani dapat mengolah lahan yang terbatas namun hasilnya bisa maksimal. Misalnya, seperti yang penulis temukan di Desa Gunungrejo (2017), Desa dengan kewenangan lokal yang dimilikinya telah mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) mengenai pemanfaatan pekarangan untuk meningkatkan pendapatan warga, dengan menanam sayuran dan memelihara ikan.
Upaya ketiga adalah Pengadaan Lahan Pertanian oleh Desa. Melalui PMK No. 226/PMK.07/2017, pemerintah pusat menerapkan formula pengalokasian Dana Desa tahun 2018 dengan memberikan afirmasi pada desa tertinggal dan sangat tertinggal yang mempunyai jumlah penduduk miskin tinggi untuk menempatkan fokus yang lebih besar pada pengentasan kemiskinan dan ketimpangan, yaitu dengan melakukan penyesuaian bobot variabel jumlah penduduk miskin dan luas wilayah. Salah satunya dengan pengalokasian anggaran untuk pembelian lahan pertanian yang diperuntukkan bagi petani berlahan sempit. Dengan skema bagi hasil, langkah ini akan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, mengurangi angka kemiskinan yang terjadi di pedesaan, dan bisa mengurangi penguasaan lahan pertanian desa oleh tuan tanah.
Menurut Khairudin (2017), di wilayah kabupaten Sleman, harga tanah di perdesaan naik ketika para pengembang perumahan menguasai lahan-lahan pertanian di desa. Tentu hal ini berdampak buruk bagi generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, jika harga tanah terus melonjak naik. Upaya pencegahan agar petani tidak mudah menjual tanah pertaniannya ke pengembang sepertinya perlu juga dilakukan oleh pemerintah desa. Desa harus meyakinkan petani bahwa lahan pertanian saat ini masih sebagai sumber penghasilan keluarga.
BACA JUGA : DESSY INDARTI, POTRET PEREMPUAN MANDIRI PELAKU UMKM DI BALIK WARNAWARNI.ORI
Untuk itu, pemerintah desa perlu memaksimalkan kembali ruang partisipasi. Forum Musyawarah Dusun (Musdus) dan Musyawarah Desa (Musdes) bukan sekedar menjadi acara seremonial untuk memenuhi sebagian persyaratan pencairan Dana Desa. Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) perlu ditingkatkan dengan melibatkan gapoktan dan petani sebagai mitra dan sekaligus kekuatan penyeimbang dari pemerintah desa. Dengan cara itu, gapoktan dan petani bisa terlibat dalam merancang pembangunan desa dan pembiayaan desa, sehingga pengembangan usaha tani dan keberpihakan terhadap petani berlahan sempit dapat dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa), Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).
Penulis : Wahyu Hidayat (Pemerhati Petani Desa)