Mudabicara.com_ Pasal kontroversial RKUHP menjadi diskusi hanggat pasca Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada sidang paripurna Selasa 06 Desember 2022.
Meskipun mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan baik dari aliansi masyarakat Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan DPR fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) serta fraksi Demokrat, RKHUP tetap resmi disahkan menjadi Undang-Undang.
Dilansir dari www.kemenkumham.go.id RKUHP merupakan proses dekolonialisasi dalam sistem pidana Indonesia peninggalan kolonial menjadi hukum nasional tanpa melupakan nilai-nilai keindonesiaan dan pancasila.
“Namun, penting untuk diingat serta perlu dipastikan bahwa semangat kodifikasi dan dekolonialisasi dalam RUU KUHP ini jangan sampai mengkriminalisasi dan mereduksi hak-hak masyarakat,” kata salah satu anggota fraksi Partai Demokrat.
Baca Juga : Apa Itu Arti Demokrasi Tidak Langsung? Pengertian dan Ciri-Cirinya
Namun berbagai kalangan menilai kehadiran RKHUP akan menjadi salah satu faktor kemunduran Indonesia sebagai negara demokrasi.
Selain banyak pasal kontroversial dan multitafsir, RKHUP juga cenderung rentan terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat sipil. Adapun 7 pasal kontroversial RKUHP antara lain sebagai mana berikut:
7 Pasal Kontroversial RKUHP
1. Pasal Tentang Demonstrasi
Salah satu pasal kontroversial RKUHP berkaitan dengan anak muda adalah pasal terkait dengan demonstrasi yang tertuang dalam pasal 256.
Pasal 256 berbunyi “Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum atau keonaran bisa dipidana paling lama enam bulan dan denda Rp10 juta”.
Banyak kalangan terutama para aktivis demokrasi menentang pasal terkait demontrasi karena berbanding terbalik dengan narasi kebebasan berpendapat dan unjuk rasa.
Pasal yang rawan kriminalisasi tersebut menempatkan kebebasan berpendapat pada tindakan kejahatan dan pidana. Di samping itu pasal tersebut bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 terkait dengan jaminan atas penyampaian pendapat di muka umum.
Meskipun pemerintah mengklaim akan tetap memberi ruang kepada masyarakat untuk melakukan demonstrasi sebagai hak konstitusional namun pasal tersebut memiliki kemungkinan kriminalisasi yang tinggi.
Baca Juga : Apa Itu Arti Demokrasi Langsung? Pengertian Dan Ciri-cirinya
Dalam konteks ancaman hukuman pidana pun pasal 256 meningkat sampai 6 bulan. Padahal dalam pasal 510 KUHP ketika ada orang melakukan demontrasi tanpa pemberitahuan hanya dihukum sekitar 2 minggu.
2. Pasal Tentang Penghinaan
Pasal kontroversial RKUHP selanjutnya adalah pasal 217-240 terkait tidak pidana menyerang diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, pemerintah dan lembaga negara.
Pasal 217 berbunyi “Setiap orang yang menyerang diri Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana penjara paling lama lima tahun”
Pasal 218 berbunyi “Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda Rp200 juta”.
Pasal 219 berbunyi “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi dapat dipidana penjara paling lama empat tahun atau denda Rp200 juta”.
Pasal terkait dengan penghinaan di atas menjadi salah satu masalah yang paling kontrovesial sebab pemerintah dan lembaga akan menilai serampangan terhadap kritik menjadi penghinaan.
Baca Juga : 10 Manfaat Belajar Hukum Untuk Anak Muda
Artinya secara tidak langsung pemerintah membatasi masyarakat untuk melakukan kritik begitupaun masyarakat engan melakukan kritik karena akan masuk dalam ranah hukum pidana.
Di samping itu dalam hal penengakan hukum kadang polisi pun tebang pilih dalam menilai sebuah laporan, apabila dekat dengan kekuasaan akan diurus dengan cepat.
Namun apabila laporan berangkat dari masyarakat yang tidak memiliki relasi kekuasaan akan diproses lambat dan cenderung ogah-ogahan.
Adapun pasal 240 ayat 1 berbunyi “Penghinaan terhadap lambang negara maka mendapat pidana penjara paling lama 1,6 tahun dan denda Rp10 juta dan apabila terjadi kerusuhan dalam masyarakat, bisa dipidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp200 juta”.
Tentu pasal di atas kontra produktif dengan narasi kebebasan berpendapat yang dijamin secara konstitusi dalam sistem politik Indonesia.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi tentu kekuasaan tertinggi negara pada kedaulatan rakyat sehingga rakyat memiliki hak konstitusional untuk berpendapat dan bersuara.
Jangan sampai terjadi penyalahgunaan hukum dalam implementasinya oleh penegak hukum itu sendiri karena mereka bagian dari alat intrumen pemerintah.
3. Pasal Tentang Perzinaan
Meskipun sudah melalui proses kajian dan revisi namun berbagai pihak masih banyak menemukan pasal kontroversial RKUHP salah satunya terkait dengan pasal perzinaan.
Pasal ini tidak memiliki dasar yang jelas sebab dalam hubungan seksual antara dua orang dewasa tidak ada yang pihak yang dirugikan kecuali terjadi tindakan kekerasan.
Aturan tentang perzinaan tercantum dalam pasal pasal 411-413 yang berbunyi setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana penjara paling lama enam bulan atau denda Rp10 juta.
Baca Juga : Sistem Pemerintahan Demokrasi, Pengertian dan Ciri-Cirinya
Dalam penjelasan selanjutnya ayat 2 perbuatan itu tidak akan dituntut kecuali ada pengaduan suami atau istri orang yang terikat perkawinan atau orangtua/anaknya bagi yang tidak terikat perkawinan.
Dalam kontek hukuman ‘perzinaan’ atau persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istri juga akan dipidana paling lama setahun dan denda Rp10 juta.
Pasal di atas selain pasal karet dan rentan terhadap masyarakat kecil tetapi juga satu bukti nyata negara hadir dalam kehidupan private yang semestinya bukan urusan negara.
4. Pasal Terkait Penyebaran Faham Komunisme, Marksisme dan Leninisme
Pasal kontroversial RKUHP selanjutnya berkaitan aturan mengenai larangan penyebaran, mengembangkan ajaran Komunisme atau Marksisme/Leninisme atau Ajaran Lain Yang Bertentangan dengan Pancasila berada dalam pasal 188.
Tafsir atas pasal 188 ini kurang jelas dan menimbulkan multitafsir. Di sisi lain, tidak ada pihak yang menjadi otoritas penentu terkait kegiatan macam apa yang termasuk bertentangan dengan ajaran pancasila.
Oleh karena itu, banyak pihak menilai dengan adanya pasal 188 negara seperti kembali pada orde baru dan menimbulkan konsep pidana subversif.
5. Pasal Penistaan Dan Pidana Agama
Berkaitan dengan dua isu penistaan dan pidana agama ada pasal kontroversial RKUHP yang dalam konteks implementasinya ada kecenderungan merugikan masyarakat.
Misalnya pada pasal 303 yang berbunyi orang yang yang membuat gaduh pada waktu ibadah berlangsung bakal didenda Rp1 juta.
Sedangkan untuk orang yang dengan kekerasan menganggu, merintangi atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan akan dipidana dua tahun atau denda Rp50 juta.
Dan bagi orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menganggu, merintangi atau membubarkan orang yang sedang ibadah bakal dipidana lima tahun penjara atau denda Rp200 juta.
Pasal 300 RKUHP menyebutkan setiap orang di muka umum yang:
a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;
b. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau
c. menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.
Pasal selanjutnya mengatur bentuk penodaan agama dalam bentuk tulisan, gambar, hingga rekaman dan menyebarluaskan melalui teknologi informasi bisa diancam penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Ada juga ancaman hukuman bagi orang yang menghasut seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia dengan penjara dua tahun atau denda Rp50 juta.
Sedangkan untuk orang yang memaksa seseorang tidak beragama atau berkepercayaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bisa dipidana empat tahun atau denda Rp200 juta.
Berbagai pasal di atas banyak orang menilai akan menimbulkan multitasfir sehingga potensi adanya kriminalisasi terbuka lebar.
6. Passal Terkiat Pengaturan Pidana Denda
Terkait pengaturan Pidana Denda tercantum dalam pasal kontroversial RKUHP pasal 81 yang secara tersirat merugikan masyarakat yang memiliki kerentanan ekonomi.
Selain akan jatuh miskin mereka memiliki potensi kehilangan seluruh asetnya dan apabila masih belum bisa membiayai pidana denda mereka harus mengantinya dengan tindakan lainnya.
7. Pasal Terkait Pidana Mati
Pasal 100 RKUHP jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Bagi orang-orang yang terancam hukuman mati akan ada masa percobaan selama 10 tahun.
Dalam praktek implementasinya saja pasal 100 ini sudah jelas tidak adil sehingga pasal 100 semestinya dihapuskan dalam RKUHP.
Meskipun dalam pidatonya Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mengatakan Undang-undang KUHP baru, akan berlaku tiga tahun sejak disahkan.
Namun pemerintah mempersilakan masyarakat untuk mencermati dan mengkritisi pasal kontroversial RKUHP yang baru disahkan dan silahkan menempuh jalur hukum jika memang aada yang merasa sangat menganggu dan meresahkan ke Mahkamah Konstitusi.