Berapa Harga Suara Anak Muda di Pilkada Ponorogo

Esai142 Dilihat

Mudabicara.com_Dalam kontestasi politik seperti Pilkada Ponorogo, anak muda memiliki peran penting sebagai penentu arah kepemimpinan daerah. Dengan populasi yang besar, suara mereka menjadi incaran para calon pemimpin yang berkompetisi memperebutkan kursi kekuasaan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Ponorogo, Usia 19-59 di Ponorogo Mencapai angka 53,59% itu artinya anak muda menjadi kelompok yang sangat strategis dalam menentukan hasil Pilkada di Ponorogo tahun ini.

Potensi besar ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mendorong perubahan positif dalam kepemimpinan dan pembangunan daerah. Sayangnya, partisipasi politik anak muda sering kali diwarnai oleh sikap apatis dan minimnya kesadaran akan pentingnya peran mereka dalam demokrasi, sehingga suara mereka rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Baca Juga: Airlangga Hartarto Kenang Faisal Basri Ekonom Senior dan Aktivis Politik Idealis dan Berkarakter

Narasi tersebut didukung oleh maraknya praktik Money Politic di Kabupaten Ponorogo melalui laporan Badan Pengawasan Pemilu Republik Indonesia (BAWASLU RI) yang mengatakan bahwa Kabupaten Ponorogo masuk dalam zona rawan politik uang dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan tahun 2024, hal ini dirilis oleh Bawaslu Republik Indonesia, Rabu (30/8/2023).

Dalam rilis yang berjudul Daerah Paling Rawan Politik Uang pada Pemilu 2024 tersebut, Bawaslu RI Mencatat jika Kabupaten Ponorogo masuk dalam urutan ke 9 Kota/Kabupaten yang dianggap rawan praktik politik uang di Indonesia.

Jika kita buka kembali catatan Demokrasi Ponorogo di tahun sebelumnya, KOMPAS.com, 2019 pada Selasa, 16 April 2019 memberitakan jika  pihak  Bawaslu  Ponorogo  telah  berhasil  mengamankan sejumlah  barang  bukti  berupa  uang  dengan  total  Rp.  66.130.000 (enam puluh enam juta seratus tiga puluh ribu rupiah ).

Jumlah uang sebesar ini diduga kuat untuk melakukan praktik Money Politic yang bersumber dari para caleg. Sementara Tribunnews.com, 2019 pada Selasa 16 April 2019 juga memberitakan  tentang  penemuan  sejumlah  uang  yang  dilakukan  oleh Bawaslu  Ponorogo  di  kediaman  salah  seorang  warga  Kec.Jambon.

Berita ini  sekaligus  mengkonfirmasi  akan  kebenaran pemberitaan  yang  beredar seperti halnya pemberitaan oleh (KOMPAS.com, 2019). Hanya   saja   terdapat   keterangan   tambahan   mengenai   jenis  uang   yang ditemukan  yakni  berupa  pecahan 20.000 & 10.000.

Fenomena ini juga penulis temukan di beberapa kalangan anak muda yang mengaku pernah menerima tawaran uang dengan nominal antara Rp50.000 hingga Rp200.000 per suara.

Bukankah hal ini menunjukkan bahwa suara anak muda telah menjadi komoditas murah yang diperdagangkan di pasar politik lokal. Jika hal ini terus terjadi, maka pertanyaan berikutnya adalah berapa harga suara anak muda di Pilkada Ponorogo tahun ini?

Praktik Money Politics dalam Pilkada Ponorogo semakin memprihatinkan, tidak hanya dalam upaya membeli suara rakyat, tetapi juga dalam proses awal pencalonan.

Berdasarkan laporan investigasi dan pengakuan sumber-sumber anonim, harga satu rekomendasi dari partai politik tahun ini bisa mencapai angka fantastis hingga Rp 9 miliar.

Harga rekomendasi pencalonan yang selangit ini mengungkapkan bagaimana partai politik telah bertransformasi menjadi institusi bisnis yang lebih berorientasi pada keuntungan finansial ketimbang pada penyaringan calon pemimpin yang kompeten.

Dalam konteks ini, integeritas partai dan proses seleksi calon terjadi degradasi dan digantikan oleh kemampuan finansial sang kandidat. Alih-alih memprioritaskan kualifikasi, visi, dan program yang ditawarkan, partai lebih fokus pada seberapa tebal kantong calon.

Disorientasi Partai Politik Jadi Ladang Bisnis

Fakta ini mengukuhkan bahwa dalam politik, uang telah menjadi faktor dominan yang sering kali mengalahkan idealisme dan kompetensi. Akibatnya, pemimpin yang sudah mengeluarkan banyak uang selama Pilkada sering kali lebih fokus pada upaya “balik modal” ketimbang menjalankan program-program yang bermanfaat bagi masyarakat.

Akhirnya, isu-isu penting seperti pengelolaan sampah sering kali direspon tidak serius. Lihat saja bagaimana persoalan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang terletak di Desa Mrican Kec. Jenangan Kab. Ponorogo di selesaikan.

Baca Juga: 7 Universitas Terbaik di Dunia, MIT Terus Memimpin

Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program dan inovasi untuk menangani sampah, persoalaan overcapacity sampah yang sudah ada sejak tahun 2010-an di TPA Mrican pada kenyataannya masih menerima 70 hingga 90 ton sampah setiap harinya.

Sadarkah kita bahwa persoalan sampah inilah yang kemudian menjadi alasan Ponorogo gagal meraih Piala Adipura, sebuah penghargaan yang menilai keberhasilan daerah dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.

Jika hal ini masih belum membuat kita sadar juga, maka dapat dipastikan volume sampah yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi menjadikan TPA Mrican seperti bom waktu yang setiap saat bisa menjadi sumber masalah lingkungan yang lebih besar bagi kita.

Oleh karena itu dibutuhkan perubahan paradigma di kalangan anak muda Ponorogo agar perlu menyadari bahwa suara mereka bukanlah sekadar alat tukar, tetapi kekuatan untuk menentukan arah pembangunan daerah.

Seberapa Besar Peran dan Harga Suara Anak Muda?

Partisipasi aktif dalam politik dan memilih berdasarkan kualitas calon adalah langkah awal untuk membangun Ponorogo yang lebih baik. Pendidikan politik harus lebih diperkuat di sekolah dan lingkungan sosial, dan media sosial perlu dioptimalkan untuk menyebarkan informasi politik yang mendidik dan relevan.

Anak muda Ponorogo memiliki tanggung jawab besar dalam menentukan masa depan daerahnya. Dengan menghargai suara mereka lebih dari sekadar nominal uang, mereka dapat memastikan bahwa Pilkada bukan lagi sekadar ajang transaksi, melainkan sebuah proses demokrasi yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat.

Pertanyaan “Berapa harga suara anak muda?” seharusnya menjadi refleksi mendalam bagi kita semua bahwa menghargai suara dengan memilih pemimpin yang siddiq (jujur), Amanah (terpercaya), Fathanah (Cerdas) dan Tabligh (Menyampaikan) adalah langkah awal untuk memutus rantai Money Politic yang merusak.

Di sisi lain, pemerintah, sekolah, dan komunitas perlu berperan aktif dalam memberikan edukasi politik yang lebih mendalam kepada anak muda. Media sosial yang menjadi platform utama anak muda dalam menerima informasi harus dioptimalkan untuk menyebarkan konten politik yang edukatif dan relevan.

Oleh karena itu, anak muda harus mengambil peran lebih aktif sebagai katalisator politik untuk menentukan arah baru dalam kepemimpinan Ponorogo.

Dengan meningkatkan literasi politik, menolak praktik Money Politic, dan berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi, anak muda dapat mendorong hadirnya pemimpin yang benar-benar peduli pada permasalahan daerah dan bukan sekadar mengejar kekuasaan.

Menjadi katalisator berarti berani bersuara kritis, memilih dengan bijak, dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari para calon pemimpin. Hanya dengan langkah-langkah ini, anak muda Ponorogo bisa memastikan bahwa suara mereka benar-benar berharga dan berdampak positif bagi masa depan daerahnya.

 

Penulis: Cecep Jumadi

Editor: Aji Dewantoro

Tulisan Terkait: