Lelaki Misterius

Sastra477 Dilihat

Mudabicara.com_AKU sedang membaca buku karangan Karl Marx di dapur ketika bel depan rumah berdering. Bersamaan dengan itu terdengar sayup suara Ibu,

“Yesaya, bukain pintu, Nak, ada tamu tuh!”

Entah di mana Ibu berada? Apakah di taman belakang. Tempat ia biasa merawat tumbuhan segala rempah seperti kunyit, lengkuas, cabe, jahe, serai, kemangi. Atau di ruang sebelah yang menjadi ruang istimewa bagi ular-ularnya.

“Ya, Bu,” jawabku. Buku Karl Marx bersampul merah kugeletakkan begitu saja di meja dapur. Berhimpitan dengan sayur, rempah-rempah, atau leleran kuah gulai sisa sarapan.

Sepanjang hidup yang sudah memasuki umur 20 saat ini, hampir tidak pernah aku membantah perintah ibuku. Ya, aku dididik dengan disiplin kaku ala militer. Mungkin agak lebay mengatakan ini, tapi itulah yang terjadi.

Kuseret kakiku yang telanjang. Ruang depan kuhampiri. Kutarik handel pintu. Menanti siapa yang ada di baliknya.

Lelaki dengan kacamata putih hadir di hadapan. Bajunya batik kekuning-kuningan.

“Silakan!” kataku pelan sambil merunduk. “Duduk dulu, Pak,” lanjutku sambil pergi ke belakang. Lalu Muncul ibuku dari balik tirai kulit kerang, pembatas ruang depan dan ruang tengah.

Aku melanjutkan bacaanku yang tertunda. Tiga bulan terakhir aku jadi rajin membaca buku-buku, yang dulunya sangat berat dilakukan. Membaca bagiku sangat berat,melebihi ritual shalat. Apalagi Subuh, atau Isya. Setan shalat Isya kata nenekku lebih besar daripada setan shalat-shalat lainnya. Karena shalat Isya sering kita undurkan. Oh, maaf! Jadi berkhotbah.

Aku membaca  Teks sms tiga bulan terakhir. Sms yang berisi perintah-perintah membaca. Sungguh asyik menikmatinya. HP-ku berdering tak siang tak malam. Pengirimnya sungguh misterius. Aku cuma tahu namanya, Basyir. Ibu juga sering menceritakan tentang laki-laki bernama Basyir ini.

“Basyir itu laki-laki yang suka membaca. Sampai-sampai kacamatanya menjadi tebal begitu,” kata ibuku ketika memberi makan ular-ularnya  suatu ketika.

“Ooh,” jawabku sekenanya. Aku tidak peduli dengan sosok yang diceritakan ibu. Aku lebih asyik dengan bacaanku.bacaan yang ada kaitannya dengan sosok yang diceritakan Ibu.

“Basyir itu orang baik. Shalatnya rajin, berbeda dengan kamu yang selalu menggerutu jika disuruh shalat.” Ibu lagi-lagi berkhotbah.

Aku hanya tersenyum.

***

Kau memperkenalkan dirimu di tengah malam. Saat mataku hampir terpejam.

“Aku Basyir.” Katamu singkat dalam teks sms yang kaukirim.

“Oh.” Balasku tidak antusias. Aku di ambang kesadaran. Hari ini sungguh melelahkan. Setengah hari kuhabiskan kuliah. Setengah hari lagi membantu Ibu menafakuri bumbu. Memasak rendang. Walaupun kerjaku hanya mengulek bumbu. Tetap aku merasa lelah. Cabenya hampir setengah kilo. Maklum ibu berdarah Jawa Timur. Tak menikmati makan, jika rasa pedas tak dirasakan di pangkal lidah.

Aku pun lelap.

Paginya aku bangun seiring ketukan keras di pintu. Pasti ibu. Ya, tiap pagi tidak akan pernah berasa indah bagiku. Aku tidak bisa menyaksikan pendar mentari di taman belakang. Atau membelai kuncup mawar di beranda depan. Pagiku hanya berkutat di sekitar ritual shalat, mengaji, juga menghafal doa-doa. Setelahya membantu ibu menyiapkan sarapan. Kemudian mandi, dandan, berangkat kuliah. Walaupun tidak kuliah, aku tetap ke kampus mengantar Ibu. Menyetir mobil. Beliau adalah dosen.

Gimana. Yesaya, ayu Utaminya, udah selesai,” sisa sms-mu semalam. Baru kubuka.

“Iya. Bang,” balasku.

“Iya, apanya?” sms Basyir ulang.

“Hehe, iya bagus sekali Ayu Utaminya. Idenya gila. Walaupun agak berat.”

Kugeletakkan HP di atas kasur tempat tidurku begitu saja.

Sms-an selama tiga bulan sungguh membosankan. Tetapi aku mulai penasaran dengan laki-laki dengan nama Basyir. Nama Arab. Dari manakah laki-laki ini berasal? Mungkin dari Sumatra. Padang. Atau Aceh. Riau. Yang orang-orangnya identik dengan nama Arab. Bisa juga Sulawesi, Lombok, atau Kalimantan Barat yang banyak Melayunya.

Ibuku di sela-sela memasak, memberi makan ular, atau ketika berada dalam mobil ke kampus selalu bercerita dengan antusias berkait seorang Basyir. Bagi ibu laki-laki ini tak ada cacat celahnya. Baik, rajin shalat, rapi, cerdas, disiplin, dan tabiat idaman lainnya.

“kalau kamu suka buku, ajak aja dia sekali-sekali ke toko buku,” ibuku mulai ceramah lagi tentang sosok itu di suatu senja sore. Telekun menutupi tubuhnya yang tinggi besar. Berbanding terbalik dengan diriku yan mungil.

“Mmm, i-i- ya, Bu,” aku jadi rikuh.

Semburat senyum merekah di bibir Ibu.

“Aku maunya ke bioskop,” ucapku malu-malu.

“Ya, gak pa-pa. ajak aja ke sana. Kan abis nonton film bisa langsung beli buku di Gramed Amplaz. Ibuku berkata mulus. Tak ada nada tersendat dari kerongkongannya.

“Ya, Bu, nanti,” aku pun masuk kamar.

Aku belum pernah bertemu denganmu. Tapi aku penasaran denganmu. Ini semua berkat cerita Ibu. Apakah ini karena faktor kekuasaan yang melekat pada ibuku. Sehingga sebagai orang yang dikuasai menurut begitu saja dengan apa yang dimulainya. Tabiat mu santun, kata ibu, aku percaya. Budimu baik, cerita ibu, aku pun mengamini. Kau pembaca buku, aku pun terkesan. Tiga bulan terakhir aku begitu terobsesi dengan bacaan. Ayu Utami, Pram, Tohari, Goenawan Mohamad, Yudi Latif, Taufik Ikram, Gorki, hingga buku yang paling menjengkelkan, Das Kapital-nya Marx habis kulahap. Sepekan aku bisa menuntaskan tiga buku bertebal 150 hingga 500-an halaman.

Aku mau kau mengajakku menziarahi buku-buku. Menjelajahi tempat-tempat menarik yang berkaitan dengan buku. Katanya ada buku-buku loakan juga di Jogja. Aku belum pernah melihatnya. Banyak buku-buku lama yang ingin kukoleksi. Tentu saja ini berkat dirimu. Kau sama dengan buku-buku lama yang langka. Padahal buku-buku itu sangat berkualitas dengan penulis yang berkualitas pula, katamu. Kau sebut nama Kafka, Hemingway, Milan Kundera. Aku jadi penasaran. Terutama dengan Milan Kundera. Nama yang sangat eksotis menurutku. Jika aku punya anak mungkin akan kunamakan dengan novelis besar Ceko ini, lagi-lagi aku dapat informasi tentang Kundera adalah darimu .

Malam ini. Saat suara hujan memukul-mukul genteng, ketika pepohonan meliuk karena angin. Aku menunggumu. Tepatnya menunggu smsmu. Aku ingin sebuah sms darimu. Sms yang mengajakku ke toko buku, bukan bioskop seperti kulontarkan tempo hari kepada ibu.

Tempo hari hanya akal-akalan aku saja. Aku ingin mengetes apakah ibu marah ketika aku ingin ke bioskop dengan seorang laki-laki. Eh, ternyata tidak! Malah ia sangat antusias agar aku bisa ke bioskop denganmu. Apakah Ibu menyukaimu. Budi baikmu, mungkin membuat ibu terpikat.

Hal ini mungkin terjadi karena tiadanya lelaki dalam rumah kami. Ayahku pergi meninggalkan Ibu ketika aku masih kecil. Ayah pergi dengan pasangan selingkuhnya. Kata Ibu perempuan yang mengambil hati Ayah adalah seorang wanita penghibur. Sementara kakakku yang berjumlah dua orang semuanya cewek.

Aku tidak begitu cantik. Setidaknya itulah yang dikatakan orang padaku.  Kakakku yang paling tua jauh lebih cantik daripadaku. Namanya Dika. Tepatnya Dika Kemalawati. Mukanya bulat seperti bulan penuh ketika purnama. Matanya sipit seperti bintang mengerling. Aku tidak cantik. Tetapi menarik, lagi-lagi kata orang-orang. Kata-teman-teman cewekku (karena aku tidak punya teman cowok) aku menarik karena wajahku manis. Kulitku adalah putih kulit duku. Teman cewekku juga menyebut, aku menarik karena tabiatku yang santun, bicara pelan, dan sedikit agak pendiam.

Aku menunggumu. Menunggu sms darimu.

“Assalamualaikum, Yesaya,“ sms kunanti sejak senja tadi akhirnya masuk di HPku. Sudah tengah malam. Hujan di luar masih mencurah.

Lagi-lagi sms hambar. Kapan kau ajak aku menziarahi buku-buku?

“Waalaikumsalam. Bang,” balasku tak kalah hambar.

“Lagi baca buku apa sekarang?” pertanyaan yang begitu sering kau lontarkan tiga bulan terakhir.

Aku tidak menjawab. Aku mulai bosan sepertinya dengan sms-smsmu. Bertemu denganmu dan mengajakku ke toko buku, inilah yang kuidamkan.

Aku pun lelap di pucuk malam yang gelap. Aku bermimpi kau mengajakku ke bioskop, nonton film Sang Penari. Sebuah film yang diangkat dari novel Ahmad Tohari. Setelah itu kau mengajakku ke toko buku. Lalu kita pergi ke taman benteng Vrederburg. menikmati bebunga yang ada. Mawar. Krisan, bougenvil, pacar cina, juga seroja mekar dengan indahnya. Seperti hatiku yang mekar ketika menatap isi buku.

Paginya aku terjaga, lagi-lagi oleh ketukan keras Ibu di pintu bilik.

“Bangun, Cantik” pinta ibuku.

Ya, Bu, jawabku masih setengah sadar.

“Kamu mandi sana, shalat! Setelah itu bantu Ibu bikin sarapan. Kita akan kedatangan tamu istimewa pagi ini.” Suara serak Ibu dari balik pintu.

Siapakah tamu istimewa kami? Entahlah. Apakah lelaki itu? Mudah-mudahan bukan!

***

Aku membaca dengan khidmad bukunya Karl Marx. Aku tak peduli dengan tamunya Ibu. Tapi tanda tanya masih memenuhi ruang dadaku. Apakah dia lelaki yang meng-smsku selama tiga bulan terakhir ini?

Aku membayangkan sepintas wajah tamu kami. Perawakannya kecil. Kacamata tebal. Romannya terlihat agak tua.

Aku tak peduli dengan tampang-rupamu. Aku hanya ingin diajak olehmu memburu buku di kota ini. Untuk urusan kekaguman pada tubuh, aku sudah jauh-jauh hari telah terpesona dengan teman SMA-ku. Namanya Andri. Aku kagum dengan kulit Sawo matangnya. Wajahnya yang lugu kubayangkan bak es lilin ketika aku masih kecil. Dingin, tapi menggoda. ***

 

Penulis : M. Khanafi 

 

 

Tulisan Terkait: