Mudabicara.com_ Puisi Acep Zamzam Noor telah banyak mewarnai ruang kesusastraan Indonesia. Karyanya dimuat di berbagai media nasional.
Kini sosok penyair yang juga piawai melukis ini menghabiskan hari-harinnya di sebuah desa di Tasikmalaya. Lalu siapa sebenarnya Acep Zamzam Noor dan apa saja karyanya.
Simak ulasan lengkap mudabicara berikut ini tentang Acep Zamzam Noor berserta karyanya. Berikut selengkapnya:
Baca Juga : Puisi Sutardji Calzoum Bachri Yang Wajib Anak Muda Baca, Belajar Membaca!
Siapa Acep Zamzam Noor?
Acep Zamzam Noor merupakan seorang sastrawan dan penyair Indonesia. Ia lahir di Cipasung, Tasikmalaya pada 28 Februari 1960.
Sebagai seorang penyair sebenarnya Acep Zamzam Noor tumbuh besar di lingkungan pesantren Cipasung kemudian melanjutkan pendidikan pesantren di Pondok pesantren As – Syafiiyah Jakarta.
Ia mengambil kuliah di Fakultas seni rupa dan desain Institut Teknologi Bandung dan beberapa kali mendapat fellowship dan workshop antara lain di Universitas Italiana per Stranieri Italia, Cina, Belanda, Singapura, Malaysia dan Filipina.
Beberapa karya Acep Zamzam Noor antara lain:
1. Tamparlah Mukaku! (kumpulan sajak, 1982)
2. Aku Kini Doa (kumpulan sajak, 1986)
3. Kasidah Sunyi (kumpulan sajak, 1989)
4. The Poets Chant (antologi, 1995)
5. Aseano (antologi, 1995)
6. A Bonsai’s Morning (antologi, 1996)
7. Di Luar Kata (kumpulan sajak, 1996)
8. Dari Kota Hujan (kumpulan sajak, 1996)
9. Di Atas Umbria (kumpulan sajak, 1999)
10. Dongeng dari Negeri Sembako (kumpulan puisi, 2001)
11. Jalan Menuju Rumahmu (kumpulan sajak, 2004
12. Menjadi Penyair Lagi (antologi, 2007)
Beberapa penghargaan yang didapatkan Acep Zamzam Noor.
1. Penghargaan Penulisan Karya Sastra Depdiknas (2000)
2. South East Asian (SEA), Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
3. Khatulistiwa Literary Award (2007)
4. Anugerah sastra Rancage dari Yayasan Rancage (2012)
Baca Juga : 10 Puisi Joko Pinurbo Yang Wajib Anak Muda Baca
33 Puisi Acep Zamzam Noor Yang Wajib Anak Muda Baca
1. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Angin dan Batu”
1
Kenapa harus batu yang diam
Dan bukan angin?
Ia padat dan dingin
Tapi bergolak bagai api
Di perutnya sungai mengalir dan keheningan
Sembahyang. Ia diam dan bisu
Sekaligus menderu
2
Kenapa bukan angin
Dan harus batu?
Ia tersepuh waktu
Matang oleh rindu
2. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Bahasa Langit”
Bahasa Langit Bernyanyilah dalam getar bunga-bunga
Atau duduk saja menghikmati malam
Mungkin angin akan datang menengokmu dengan kecemasan
Tapi yang ingin diucapkannya
Adalah nyanyian yang terpendam tahun-tahunmu
Bernyanyilah dalam selimut batu-batu
Atau mengembara dalam hujan kata-katanya
Sebab langit yang turun adalah sahabat bumi
Yang menyiram kebun-kebun asuhannya. Itulah bahasa
Tapi matamu telah buta membacanya
3. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Cipasung”
Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu
<>
Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu
Hari esok adalah perjalananku sebagai petani
Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur.
4. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Among Us”
Ada yang menempuh jalan sunyi
Ada yang selalu merasa benar sendiri
Ada yang cukup menjadi pendengar
Ada yang sibuk berebut corong dan mimbar
Ada yang diam-diam berbelok ke kiri
Ada yang berkoar-koar dirinya paling suci
Ada yang khusyuk di depan altar
Ada yang berjihad dengan membakar
2018
5. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Tugas Penyair”
Puisi menugaskanmu untuk selalu siaga
Mengamati setiap gerak angin dan getar udara
Yang sering kali tak pernah tersimak telinga
Puisi menugaskanmu untuk selalu terjaga
Memaknai setiap putik daun dan bulir embun
Yang terkadang luput dari tangkapan mata
Puisi menugaskanmu untuk selalu peka
Mendengar kata-kata yang tak diucapkan mulut
Namun getarannya langsung menembus dada
2018
6. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Aku Teringat Padamu”
Aku teringat padamu yang sibuk memandang senja
Ketika orang-orang menyampaikan protes di jalan raya
Aku teringat padamu yang suntuk mengagumi bulan
Ketika orang-orang saling menggunting dalam lipatan
Aku teringat padamu yang khusyuk menghayati sepi
Ketika orang-orang berebut bangkai saudaranya sendiri
2018
7. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Gema Tanpa Sahutan”
Sebuah perahu
Mengambang di sungai
Tanpa nama. Sulur-sulur pohon
Rambut bagi keheningan
Sebuah muara
Tergambar di kejauhan
Seperti pintu. Arus tanpa riak
Gema tanpa sahutan
Sebuah jarak
Cahaya yang perlahan redup
Di ufuk barat. Antara dua tebing
Pandangan terhalang kabut
Sebuah batas
Tercipta dari kehilangan
Yang membekas. Menjelang senja
Surya entah beranjak ke mana
2020
8. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Cermin”
Aku bercermin pada lautmu
Laut yang tak lagi biru
Aku bercermin pada langitmu
Langit yang tak lagi beledu
Aku bercermin pada gunungmu
Gunung yang tak lagi anggun
Aku bercermin pada kabutmu
Kabut yang tak lagi ngungun
Aku bercermin pada puncakmu
Puncak yang tak lagi tinggi
Aku bercermin pada kawahmu
Kawah yang tak lagi suci
Aku bercermin pada matamu
Mata yang tak lagi melihat
Aku bercermin pada hatimu
Hati yang tak lagi terlibat
2020
9. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Setiap Mendengar”
Setiap mendengar
Kokok ayam yang pertama
Aku paham bahwa subuh adalah saat
Di mana kita khusyuk merindu
Setiap memandang
Gunung yang tertutup awan
Aku menduga bahwa keterpisahan kita
Hanya sejauh jarak mendung dengan hujan
Setiap mengingat
Rembang yang memancarkan sinar
Aku percaya bahwa bintang-bintang di langit
Semuanya berasal dari pantulan hatimu
2020
10. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Mawar Merah”
Ingin kupetik sekuntum mawar
Dari hatimu. Mawar merah yang menyala
Namun tanganku gemetar dan jemariku hangus
Terbakar. Mawar yang indah itu jatuh ke jalan raya
Lalu sebuah truk melindasnya tanpa sengaja
2020
11. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Percakapan Diri (1)”
Aku tak akan pernah melupakanmu, kekasihku
Meski rumpun ilalang terus meninggi dan bulan
Semakin redup dalam hati. Aku terus melangkah
Memasuki ruang yang sekian lama kutinggalkan
Sebuah labirin yang tak pernah mengantarkanku
Ke mana-mana. Ingin kucari diriku dalam dirimu
Aku terus melangkah. Kuabaikan rambu-rambu
Tampak jalan-jalan bersimpangan di hadapanku
Posisi bulan semakin merendah dan menghilang
Di balik mega. Aku berjalan menembus halimun
Mengikuti gelombang udara yang mendorongku
Pada batas. Ingin kumasuki dirimu dalam diriku
2022
12. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Percakapan Diri (2)”
Betapa berat melewati malam-malam tanpamu
Pertempuran tak pernah berhenti dalam hatiku
Dan ujungnya aku menangis sekaligus terbahak
Menertawakan diri sendiri. Sebuah bintang jatuh
Cahayanya kemudian membakar puncak gunung
Pada saat bersamaan awan panas mengurungku
Aku tak melihat jeram di langit, juga tak mencium
Sungai yang mengalirkan lahar sebagai nubuatmu
Kobaran api dari hutan tak mampu kuterjemahkan
Menjadi sabda. Aku terus berjalan mendekati subuh
Semburat fajar menjelma bentangan kanvas ungu
Perlahan kusebut namamu dan kulupakan diriku
2022
13. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Percakapan Diri (3)”
Di bawah cahaya fajar aku berjalan, kekasihku
Setiap langkah kumaknai sebagai detak jarum jam
Kudaras namamu sambil terpejam. Dalam hatiku
Serangga-serangga berzikir mengusik keheningan
Langkahku semakin mendekati subuh, menyongsong
Matahari yang bangkit kembali dari pertapaannya
Aku terus melangkah. Melangkah dalam keheningan
Udara semakin dingin dan tubuhku diselimuti embun
Tak ada lagi sabda yang akan kuburu karena kata-kata
Sudah menjelma udara dalam dadaku. Dan cakrawala
Adalah lembaran-lembaran kertas yang selalu terbuka
Kutulis puisi di antara keberadaan serta ketiadaanmu
2022
14. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Percakapan Diri (4)”
Kata-kata yang kuhirup membuatku mabuk
Bertahun-tahun aku berjalan tanpa menoleh
Ke belakang. Aku mencarimu dalam kegelapan
Yang kutemukan hanya diriku yang terdampar
Di tengah cahaya gemerlap tak kulihat apa-apa
Suara-suara asing dari luar tak lagi terdengar
Telah kudatangi masjid-masjid tak bernama
Gereja-gereja tak beralamat dan vihara-vihara
Tak berpenghuni. Aku bermunajat di mana-mana
Jalan raya menjadi sajadahku yang tak berujung
Deretan lampu merkuri adalah lilin-lilin mungil
Persembahanku. Kembali kudaras namamu
2022
15. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Haribaan Takdir”
Pengembaraan yang dikobarkan rindu
Entah kapan akan sampai pada titik akhir
Di haribaan takdir. Aku hanya seutas sumbu
Yang menjadi perantara bagi kobaran api
Tapi sesungguhnya engkaulah minyak
Ketabahan bukan sekadar bilangan angka
Tahun-tahun yang lepas dari almanak
Membusuk bersama jarak. Aku masih bernapas
Karena engkau telah menjadi udara murni
Yang kuhirup sepanjang penantian ini
2020
16. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Fajar Kedua”
Di tengah kesendirian kudengar suara
Yang dikirimkan serangga ke arah subuh
Dingin masih menguasai udara dan embun
Berlelehan di kaca jendela. Sambil terpejam
Kuantarkan cahaya bulan ke balik perbukitan
Lalu tatapanku menepi dengan sendirinya
Di tengah keheningan kusebut namamu
Namun terlindas azan yang berkumandang
Lampu di halaman musala semakin memudar
Sementara fajar kedua menyisakan bias warna
Di kaki langit. Tak kusesalkan datangnya pagi
Semuanya kusyukuri sebagai keniscayaan
2020
17. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Titik Akanan”
Aku tak pernah mengundang bulan
Ke dalam pelukan. Aku masih percaya awan
Yang akan mempersilakan cahaya lewat
Dan menerangi perjalananku
Aku tak pernah memohon bintang
Menjadi petunjuk. Aku masih percaya malam
Yang kegelapannya selalu menghadirkan pelita
Titik akanan bagi setiap langkahku
Aku tak pernah menolak api
Sebagai kutukan. Aku masih percaya embun
Yang kesejukannya dapat memadamkan
Amarah yang membakar hatiku
2020
18. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Gugusan Mega”
Dalam kebisuan kudengar senandung
Yang dihempaskan ombak ke arah tanjung
Remang kabut menyelimuti udara dan cuaca
Membuat sampanku terlena. Dengan nanar
Kulepas fajar berlabuh pada gugusan mega
Dan pandanganku menemukan ujungnya
Dalam kediaman kusenandungkan lagu
Namun suaraku terlindas gemuruh angin
Titik-titik lampu di pantai semakin memudar
Ketika subuh memamerkan lukisan cahaya
Di ufuk yang jauh. Sebuah garis membentang
Batas yang sekian lama memisahkan kita
2018
19. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Dilipat Waktu”
Membuka lembar-lembar almanak
Tampak tahun-tahunku yang panjang
Dilipat waktu dalam satu helaan napas
Perpisahan telah menggulirkan air mata
Hingga gelas di atas meja menjadi segara
Yang menampung kesedihanku. Kau tahu
Aku melewati pagi tanpa celoteh burung
Semerbak kopi hanya kusesap sendiri
Kehilangan adalah seekor rama-rama
Yang terbang meninggalkan kepompong
Namun kepaknya masih jelas kedengaran
Sebagai gaung dari suatu masa yang lampau
Bernama jarak. Aku hayati kesementaraan
Lewat permukaan segara yang berombak
Di mana ikan-ikan bagai kelebat ingatan
Yang bergerak di antara ada dan tiada
2018
20. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Menjadi Mawar”
Cinta telah menitipkan setangkai duri
Untuk kuterjemahkan menjadi mawar
Cinta menggulirkan setetes embun pagi
Untuk meneguhkan hatiku yang gemetar
Lalu tanganku bergerak menuliskan puisi
Yang disampaikan surya lewat sinarnya
Cinta telah mengirimkan sepucuk surat
Untuk kuselami maknanya bersama senja
Cinta menghempaskan ombak ke tengah selat
Untuk mengusik kerinduanku yang lama reda
Lalu langkahku beranjak menuju kaki langit
Di mana semua warna lebur menjadi sepi
2018
21. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Amanat Galunggung”
Kuikuti langkah kabut yang samar di antara deretan pinus
Daun-daun yang runcing nampak berserakan di atas tanah
Siang terasa lain dengan bulir-bulir embun yang masih lekat
Pada kulit pohon. Galunggung bagaikan kitab yang terbuka¹
Dinding-dinding di sekeliling kepundan gunung seakan
Menunjukkan bahwa magma adalah rindu yang disimpan
Dan akan terus disimpan waktu. Ketika menengok ke bawah
Permukaan telaga tampak hijau di tengah putihnya belerang
Di sini aku ingin belajar pada kelembutan kabut yang bergerak
Tanpa mengusik. Aku ingin berguru pada gunung yang tahan
Menyimpan dan merawat kerinduannya bertahun-tahun
Aku ingin belajar pada kesabaran magma yang tahu kapan
Saatnya harus bicara. Aku ingin berguru pada ketulusan rindu
Yang tak pernah berontak pada waktu yang memendamnya
2016
¹ Amanat Galunggung merupakan sebuah karya yang dibacakan secara hybrid pada Indonesia Sejati: Festival Bahasa dan Sastra 2021. Sajak tersebut menjadi bagian dalam Indonesia Berpuisi dan Lelang Puisi yang digelar Media Indonesia di Grand Studio Metro TV, Kedoya, Jakarta Barat, Jumat (29/10).
22. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Rubiah”
Di suatu pagi angin bertutur padaku
Tentang burung-burung migran yang lupa
Akan jalan pulang. Tentang para pengungsi
Yang terusir oleh gempa dan gelombang besar
Tentang puing-puing yang menyisakan cerita
Juga anak-anak yang hanyut terseret arus
Di suatu siang angin bertutur padaku
Tentang gunung-gunung yang habis dikeruk
Segala kandungannya. Tentang lubang-lubang gelap
Tentang hutan belantara yang tinggal dongengan
Keserakahan telah merampas semuanya tanpa sisa
Juga makam leluhur yang entah menjelma apa
Di suatu senja angin bertutur padaku
Tentang seorang nelayan yang pergi melaut
Dan menyongsong maut. Tentang hikayat-hikayat
Yang dicatat sepanjang pelayarannya melintasi batas
Tentang nubuat-nubuat yang membuatnya tersedu
Juga cinta lama yang mendatangkan bencana
23. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Iboih”
Dari ketinggian bukit aku memandangmu
Seperti kembali merasakan kepedihan di dada
Cinta yang terbuang selalu membutuhkan pantai
Untuk bersandar. Jejak telah demikian panjang
Sebagai penanda bagi kehilangan demi kehilangan
Ketika teluk dan tanjung terpisah oleh sengketa
Aku memandang biduk-biduk yang terlunta
Serpihan-serpihan awan mengambang di udara
Abad-abad terus berganti tanpa akanan yang pasti
Lalu meredup bersama senja. Cinta mungkin kutukan
Bencana demi bencana telah mengekalkannya
Dan gelombang adalah persembunyianmu yang abadi
24. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Lampuuk”
Jejak waktu bagai bongkahan batu gamping
Yang tertimbun pasir. Aku membayangkannya
Ketika ombak bergerak lamban mendekati ufuk
Lalu cahaya mengaburkan garis laut dan langit
Suara azan magrib sayup terdengar dari utara
Yang mengirimkan derau halus ke arah selatan
Sendiri aku berjalan menyusuri lengkung pantai
Menghayati buih-buih ombak yang berkejaran
Sendiri aku mengumpulkan lokan dan teripang
Menyerap sisa warna yang dipantulkan rembang
Dari langit. Ketika matahari menenggelamkan diri
Tubuhku melayang dalam pusaran angin sakal
25. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Ulee Lheue”
Di dermaga yang tiangnya selalu bergetar
Aku melihat seekor burung terbang sendiri
Dari sebuah pohon besar. Langit diam dan bisu
Sedang ufuk semakin kabur dalam tatapanku
Di atas perahu yang membelah keheningan
Suara air terdengar seperti napas seorang ibu
Yang menyusui anaknya. Senja penuh awan
Mengingatkanku pada makna kehilangan
Sebuah pulau mungkin tengah menunggu
Tapi entah siapa yang ditunggu. Seekor burung
Seperti juga ikan tak pernah mempersoalkan
Ke mana akan menuju. Ke mana harus kembali
Di atas perahu yang menembus keremangan
Aku dihantui pertanyaan lama. Semakin tak tahu
Bagaimana menghayati sunyi seperti halnya burung
Menghayati udara. Atau ikan menyelami segara
26. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Balohan”
Kepergianku mungkin angin lalu
Angin yang berasal entah dari mana
Mengalir entah ke mana. Kepergianku
Sekedar goresan pada lapisan udara
Aku mengikuti saja ke mana perahu
Harus melaju. Menghayati setiap detik
Yang berdetak di kedalaman waktu
Menghitung napas satu demi satu
Kepergianku mungkin resonansi
Dari kerinduan yang pecah di utara
Memantul ke selatan. Kepergianku
Hanya gema yang terbawa angin lalu
27. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul ” Putri Malu”
Jentik-jentik jemariku
Sayup-sayup burung nuri
Berkicau merdu
Bulir-bulir embun pagi
Kuncup-kuncup putri malu
Gulirkan waktu
Sayap-sayap cintaku
Lambat-lambat berkepak
Ke balik kerudungmu
28. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Wat Hat Yai Nai”
Aku menyelinap lewat celah waktu
Di balik sabdamu, menyelinap lewat diksi
Yang lama kuendapkan sebagai pesan
Saat meninggalkan kehidupan
Aku melangkah ke ruang semadimu
Lewat pintu masa lalu.
Melangkah perlahan Menapaki anak-anak tangga rahasia
Di antara majas dan metafora
Aku sampai pada singgasana emas
Dari kebisuanmu. Sampai di depan altar
Merunduk pada keagungan bahasa
Yang telah kehilangan mahkota
29. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Mendengarkan Kembali Suaramu”
Mendengar kelepak elang
Dari arah yang tak pernah terduga
Ibarat mendengar kabar buruk
Sebelum rembang petang
Waktu membentuk komposisi
Dengan warna-warni kematian
Pada lengkung yang kusam
Pada kanvas langit yang lapang
Ayam berkokok kearah fajar
Saat posisi bulan masih cukup berjarak
Di ufuk barat,”Aku akan pergi sebelum azan
membangunkan kenangan,”katamu
Mendengar kembali suaramu
Dari sudut yang tak akan terbayangkan
Ibarat menerima telegram duka
Sebelum gempa bumi terjadi
30. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul” Bayang-Bayang”
Bayang-bayang adalah iman yang senantiasa
Muncul dan menghilang pada dinding-dinding
kesadaranku. Kadang aku ingin memahaminya
sebagai lukisan yag mengungkapkan ketulusan
cintaku padamu. Tapi kadang hanya serupa hantu
yang tak terlihat mata kendati dapat dirasakan hati
bayang-bayang terus bergerak di antara masa silam
dan masa depan. Bayang-bayang seperti kematian
yang merupakan saudara kembar bagi kelahiran
31. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Chao Praya”
Seorang pelancong
Duduk di tepan senja
Mensyukuri angin
Yang masih berembus
Di jemarinya terselip cangklong
tanpa tembakau. Hari belum gelap
Ketika lampu-lampu merkuri
Mulai menerangi sungai
Seorang pelancong
Khusyuk menatap riak air
Dengan mengenakan topi pet
Ia tampak serius berpikir
Di jemarinya terselip cangklong
tanpa tembakau. Tahun berganti
Abad datang dan berlalu
Tapi angin terus berembus
Seorang pelancong
Misainya lebat dan putih
Tapi bukan penyair itu
Kata-kata lewat tak diraih
32. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul “Puan”
Kedip-kedip mataku
Bulir-bulir embun pagi
Menggenangi waktu
Lambai-lambai tanganku
Burung-burung merpati
Menuju langit biru
Kaki-kaki rinduku
Pelan-pelan melangkah
Susuri keberadaanmu
Langkah-langkah cintaku
Malu-malu mendekat
Ke arah dudukmu
Oh, jauh-jauh altarmu
Lamat-lamat terdengar
Kidung keagunganmu
Oh, tinggi-tinggi mahkotamu
Samar-samar memancar
Terangi jalanku
33. Puisi Acep Zamzam Noor berjudul ” Stadthuys”
Pada iman yang terkadang labil
Seorang nakhoda berujar
bahwa surga tak ada. Yang ada sunyi.
Sejarah kemudian menulis narasi
di atas marmer putih. Kota-kota telah hancur
pelabuhan-pelabuhan tinggal rangka
seperti metafora, iman adalah kapal perang
yang selalu dihadang angin sakal
dikepung gelombang pasang
Tapi seorang nakhoda berujar
dengan suara lirih
bahwa surga tak ada lagi. Hanya altar ***
Demikian Puisi Acep Zamzam Noor, selamat membaca