Mudabicara.com_Transformasi pendidikan nasional merupakan prioritas utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Oleh sebab itu, Kemendikbud melalui Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Balitbangbuk) Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak), menggelar rangkaian seminar “Kebijakan Berbasis Bukti untuk Memperkuat Kemerdekaan Belajar dan Ketahanan Budaya di Masa Pandemi”. Acara tersebut berlangsung secara daring dan luring di Kota Bogor, pada 2 – 4 Desember 2020.
BACA JUGA : SEMPAT TERTUNDA, KEMENAG SEGERA INPUT APLIKASI E-INFORMASI CALON PPPK
Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Puslitjak, Kemendikbud, Irsyad Zamjani menyampaikan bahwa agenda tahun ini berbeda dari sebelumnya karena para peneliti diminta merespon krisis kesehatan yang juga melanda dunia pendidikan dan kebudayaan.
“Kita dihadapkan pada potensi learning loss dan risiko naiknya angka putus sekolah. Kita perlu sekali masukan-masukan dari para peneliti untuk memperkuat perumusan kebijakan dan menavigasi pendidikan dan kebudayaan dalam pandemi ini,” tutur Irsyad (3/12).
Ia mengatakan, tidak semua pengalaman yang didapat pada masa pandemi ini buruk. Irsyad mengamati adanya praktik-praktik baik adaptasi dalam masa pandemi yang berhasil dilakukan oleh berbagai satuan pendidikan dan warga pendidikan pada umumnya. “Contohnya, seminar yang kita lakukan secara daring dan luring ini bentuk adaptasi kita dengan teknologi,” tutur Irsyad.
Peneliti Mochamad Aviandy, menemukan bahwa kesenjangan pembelajaran daring antara daerah urban dan pedesaan dapat diperkecil dengan mempertimbangkan konten dan platform. Konten Cultural Literacy for Digital Society (CLDS) perlu dikembangkan supaya masyarakat makin kenal dan mau memanfaatkan teknologi. “Ini dampaknya juga akan positif bagi Kemendikbud,” tutur Aviandy secara virtual (3/12).
Peneliti Rudi Irawanto, mengemukakan temuannya pada penelitian yang berjudul “Pengembangan Model PECS Berbasis Aplikasi Digital sebagai Upaya Penguatan Kecerdasan Visual Spasial Bagi Anak Autistik”. PECS merupakan singkatan dari “Picture Exchange Communication System” yaitu suatu sistem komunikasi alternatif yang memang sengaja dikembangkan untuk membantu anak dengan autisme berkomunikasi.
Rudi Irawanto menegaskan, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak bisa disamakan dengan pendidikan reguler. “Kita tidak bisa berpikir ala lazim. Contoh, kami menggunakan garis-garis lengkung karena ini yang disukai dan dipahami anak autis. Makanya, kami menghindari bentuk tegas dan lurus. Mereka juga tidak memahami warna-warna tersier, makanya tidak kami gunakan. Contoh lain, font Sans Serif, ternyata ini ditangkap anak disleksia. Mungkin kalau kita orang awam, melihatnya kok tidak indah. Tapi karena itulah yang mereka mengerti dan butuhkan,” jelas Rudi pada kesempatan yang sama.
Pendidikan bagi anak autisme, lanjut Rudi, justru jangan sampai membebani mereka lagi untuk memahami sesuatu yang dianggap orang awam sebagai keindahan, tetapi untuk anak dengan autisme suatu beban tambahan.
Hak belajar adalah hak semua anak, terlepas dari status sosio-ekonomi dan kondisi fisik mereka. Maka, pengembangan digital learning harus fokus pada kebutuhan peserta didik agar efektif. Selain itu, para siswa perlu pendampingan agar platform bisa efektif digunakan.
Sementara itu, peneliti Etty Sisdiana, mengungkapkan hasil temuan awalnya, bahwa ternyata pembelajaran vokasi fungsional amatlah dibutuhkan pada Provinsi Papua dan Papua Barat.
“Potensi Papua dan Papua Barat secara kultural sangat besar untuk melaksanakan di PKBM. Contohnya, Jayapura yang punya potensi sebagai kota transit dengan pantai yang indah dan lahan pertanian. Maka, kami merumuskan beberapa keterampilan vokasi yang dapat dicoba. Kami harap pendidikan vokasi bisa meningkatkan kualitas hidup warga,” harap Etty.
Etty menengarai persepsi pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Ia mengamati bahwa faktor daya juang dianggap masih kurang terlihat pada para peserta belajar Kejar Paket B dan C. Selain itu, sarana belajar dan perangkat pendukung teknologi tidak tersedia lengkap walaupun instruktur dianggap cukup memadai.
“Peran masyarakat secara budaya sangat kuat dan ini modal yang besar. Kemudian, karena warga belajar umumnya buruh dewasa atau orang dewasa menganggur maka kita butuh pendekatan andragogik,” saran Etty.
Berikutnya, penelitian yang bertema “Pendidikan Vokasi: Menjaga Relevansi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Abad 21” dibawakan Peneliti Agus Amin Sulistiono. Ia mengamati bahwa faktor ketersediaan sarana prasarana di SMK hanya mencapai 74,6 persen dan SMK yang tidak lengkap perpustakaannya masih berjumlah 35,4 persen. Kondisi SMK juga masih lebih banyak guru umum sebanyak 55,6 persen dibandingkan guru kejuruan.
“Relevansi SMK di abad 21 ada pada aspek tata kelola dan kurikulumnya. Pemerintah daerah perlu melakukan refocusing bidang keahlian sesuai potensi lokal dan kebutuhan pasar kerja masing-masing, dan kurikulum mesti berorientasi STEAM (science, technology, engineering, arts, and mathematics) serta melakukan link and match,” saran Agus.
Penelitian “Kampung Adat di Tengah Pandemi Covid-19” oleh Zaenal Abidin Eko Putro mengamati transmisi pengetahuan lokal pada masyarakat adat kasepuhan Cisungsang. “Kita berfokus bagaimana mengembangkan dan mendukung industri kreatif kampung adat di Cirendeu dan Cisungsang,” kata Zaenal.
Menurut dia, banyak faktor memengaruhi laju perkembangan industri kreatif. Uniknya, Covid-19 tidak berdampak banyak pada masyarakat adat, tetapi hanya pada para pengunjung. “Yang terdampak adalah orang yang ingin berkunjung ke sana karena tidak bisa belajar langsung. Pandemi memang menurunkan kunjungan, tapi warga kampung adat sendiri tetap eksis dengan berbagai inovasi, contohnya ketahanan pangan kreasi beras singkong (rasi),” jelas Zaenal.
Selanjutnya, peneliti Meni Handayani memaparkan tentang kesiapan sekolah menghadapi asesmen kompetensi minimal”. Ia menemukan, lebih dari 50% persen guru mengatakan materi pembelajaran sebagian kecil sesuai dengan soal Asesmen Kompetensi Minimal (AKM), terutama selain mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
“Ada persepsi yang cenderung berbeda antara guru dan siswa mengenai kesesuaian soal AKM dengan praktik pembelajaran di sekolah dan tingkat kesulitan soal. Guru cenderung melihat soal AKM kurang sesuai dengan pembelajaran di sekolah, sedangkan siswa memandang sebaliknya,” ujar Meni. Menurutnya, Kemendikbud harus memberikan sosialisasi AKM dan melatih guru dalam melakukan pembelajaran dan penilaian yang selaras dengan tipe soal AKM.
Di bagian lain, peneliti Sabar Budi Rahardjo menerangkan risetnya yang berjudul “Kinerja Guru dalam Mengimplementasikan Merdeka Belajar Pada Masa Pandemi Covid-19 dan Pembiasaan Baru”. Sabar menjelaskan bahwa kinerja guru dalam pembelajaran dari rumah masa pandemi sudah berjalan dengan baik.
“Guru telah mempraktikkan empat kompetensi profesional, pedagogi, sosial dan kepribadian walaupun belum maksimal. Ini ditunjukkan dengan kegiatan guru dalam menyiapkan proses pembelajaran dengan baik, guru juga telah melaksanakan proses pembelajaran melalui sistem daring dan luring,” ungkap Sabar.
Ia mengatakan, guru perlu dilatih dalam menggunakan perangkat daring. “Supaya guru menjadi terampil, misalnya dalam menyiapkan materi ajar melalui software Power Point dengan cara sederhana namun dipahami oleh siswa,” kata Sabar.
Peneliti selanjutnya, Suyatna, yang memaparkan hasil penelitian bertajuk “Pengembangan Sistem Penilaian Kinerja Guru untuk Menunjang Profesionalisme Guru Berbasis Teknologi AI (Artificial Intelligence) dalam Platform Android”. Ia menjelaskan bahwa aplikasi berbasis teknologi artificial intelligence atau kecerdasan buatan dalam platform Android, efektif menilai kinerja guru untuk mengembangkan inovasi pembelajaran. “Aplikasi berbasis AI di android, juga efektif menilai kinerja guru dalam melakukan penelitian tindakan kelas,” terangnya.
Hasil penelitian Nadiroh, yang berjudul “Evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi Covid-19” menyarankan agar pembelajaran jarak jauh (PJJ) dapat dijadikan solusi di masa pandemi. Namun yang menjadi catatannya, tidak boleh dipermanenkan bagi pendidikan dasar.
“Karena pendidikan dasar membutuhkan internalisasi literasi karakter yang membentuk akhlak mulia sejak dini,” tegas Nadiroh.