Mudabicara.com_Rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani yang ingin mengubah skema mandatory spending 20% APBN untuk Pendidikan tidak disetujui Perhimpunan dan Pendidikan Guru (P2G).
Hal tersebut diungkapkan oleh Koordinator Nasional P2G Santriwan Salin dalam keterangan resminya, Senin, (9/9/2024). Menurut Santriwan, ide Sri Mulyani dapat memunculkan potensi inkonstitusional.
Di samping itu, Santriwan mengungkapkan perubahan skema bisa jadi malah mempekecil anggaran Pendidikan. Pasalnya, APBN untuk pendapatan negara lebih kecil ketimbang belanja negara.
Baca Juga: Miris! Kemendikbud Ristek Ungkap Negara Belum Mampu Gratiskan Biaya Seluruh Pendidikan Dasar
Alasan P2G Tolak Usulan Sri Mulyani
1. Anggaran Harus 20% Sesuai UUD
Menurut Santriwan, pijakan pertama yang harus Sri Mulyani lihat adalah landasan soal anggaran. Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 menjelaskan bahwa anggaran Pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
“Dengan anggaran wajib 20 persen APBN atau setara Rp 665 triliun saja biaya pendidikan masih terasa mahal bagi masyarakat. Angka 20 persen sifatnya sudah minimalis. Jadi mengapa mesti diakali lagi untuk dikurangi? Jelas kami menolak usulan tersebut,” ucap Satriwan.
Santriwan kemudian menyoroti bagaimana penggunaan atau realisasi anggaran dan pengelolaanya. Anggaran jarus menyasar pad apenyelesaian masalah, jangan sampai masalah yang sama selalu terulang setiap tahunnya.
Contoh masalah yang sama yakni bangunan Sekolah Dasar (SD) yang kondisinya rusak, lulusan SMK yang selalu menjadi terbesar angka pengangguran, rata-rata lama sekolah (RLS) masih relative rendah, gaji guru honorer masih di bawa kata layak hingga kemampuan literasi, numerasi, sains siswa kita masih sangat rendah bahkan di bawah rata-rata skor negara OECD (PISA,2022).
“Potret pendidikan nasional kita masih rendah kualitasnya, yang sedang membutuhkan keberpihakan anggaran, tata kelola yang benar-benar menjadi prioritas perbaikan, tapi mengapa malah ingin mengurangi anggaran?” ungkapnya.
2. Alokasi Anggaran Masih Timpang
Menurut santriwan, alasan selanjutnya adalah alokasi anggaran pusat dan daerah yang tak tepat. Dari 20 persen anggaran, Kemendikbud Ristek hanya mengelola sekitar 15% atau RP 98,9 triliun dan Kemenag hanya 9% atau sekitar 62,3 triliun.
Alokasi anggaran Pendidikan dari APBN paling besar berupa transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp 346 triliun atau sekitar 52%.
Baca Juga: Sukses Jalankan Bisnis di Era Modern, Ini Kuncinya!
“Skema anggaran pendidikan seperti inilah yang sejak awal kami tolak. Masa dana desa diambil dari dana pendidikan yang sifatnya mandatory perintah konstitusi,” ujar Satriwan.
3. Realisasi Anggaran 20% Perlu Didesain Ulang
Santriwan kemudian menyampaikan P2G mendorong agar pemerintah mendesain ulang (redesain) realisasi 20% APBN dan APBD. Realisasi anggaran menurutnya bisa lebih berdampak jika alokasi dana lebih besar dipegang oleh Kemendikbudristek atau Kemenag.
“Menurut kami yang tidak tepat adalah dana desa. Seharusnya jangan diambil dari 20 persen karena tak melaksanakan fungsi pendidikan,” sambung Satriwan.
4. Anggaran Sekolah Kedinasan Harus Dikaji Lagi
Alasan keempat, P2G melihat adanya kejomplangan dalam anggaran sekolah kedinasan yang angkanya mencapai Rp 32,85 triliun. Sedangkan menurut KPK, untuk pembiayaan mahasiswa di seluruh perguruan tinggi anggarannya hanya Rp 7 triliun.
Tentunya hal tersebut bertentangan dengan pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Uu tersebut menyebutkan bahwa alokasi anggaran Pendidikan minimal 20 persen dari APBN tidak termasuk biaya Pendidikan kedinasan.
“Ironis sekali, karena minimnya pembiayaan perguruan tinggi negeri berujung pada mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa. Hasilnya, para mahasiswa terjerat pinjol,” ujar Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.
5. Anggaran Pendidikan Harus Sampai ke Kebutuhan Riil
Kemudian Iman Menjelaskan bahwa anggaran Pendidikan saat ini belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan baku siswa. Misalnya dalam dana BOS, realisasinya belum sampai mencakup biaya pendidikan dasar siswa.
“Meskipun sudah ada dana BOS, tapi orang tua murid masih mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk membeli seragam sekolah, batik, olahraga, pramuka, beli buku paket, kunjungan lapangan (field trip), bayar ekstrakurikuler, dan biaya lainnya untuk menunjang pembelajaran,” sambung Iman.
Tata Kelola anggaran 20% perlu dibenarkan Kembali. Hal tersebut berdasar penyeselan pihak bahwa adana temuan dana sebesar Rp 111 triliun tidak terserap secara maksimal.
“Di tengah biaya sekolah mahal, gedung sekolah rusak, dan upah guru honorer yang tak manusiawi, anggaran pendidikan justru tak terserap sampai Rp 111 triliun. Angka sebesar ini sesungguhnya mampu mensejahterakan guru honorer dan memperbaiki fasilitas sekolah,” ungkap Iman.