Mudabicara.com_ Dilansir dari data WHO 2022 jumlah remaja atau anak muda mencapai 18 persen dari total populasi seluruh dunia. Populasi ini menjadi sangat penting bagi keberlangsungan lingkungan masa depan, mengingat krisis iklim tengah terjadi saat ini.
Mengapa sangat penting? karena saat ini generasi muda adalah yang memiliki potensi kecil untuk menimbulkan dampak negatif bagi perubahan iklim. Naasnya, generasi muda pula yang harus menanggung beban dampak tersebut pada masa depan.
Dampak yang kini bisa dirasakan adalah cuaca yang semakin ekstrem, naiknya permukaan air laut, dan polusi air serta udara yang tercemar. Hal ini menyebabkan besarnya tekanan psikologis yang mereka hadapi.
Baca Juga : 7 Wanita Pertama Dalam Politik Amerika Serikat, Hillary Clinton Salah Satunya!
Melansir ABC News, mayoritas generasi muda tidak mempercayai pemimpin mereka untuk mengambil keputusan bagi manusia dan Bumi. Para generasi muda terancam mengalami frustasi karena posisi mereka terhadap kondisi kehidupan Bumi pada masa mendatang.
Darurat Iklim di Depan Mata, Anak Muda Bisa Apa?
Seorang mahasiswa teknik di Colorado School of Mines, Jeeva Senthilnathan, telah memimpin aksi perubahan iklim yang berhasil bertemu legislator lokal untuk membahas kebijakan.
Aksinya menjadi salah satu interaksi yang dapat meningkatkan kesadaran.
“Darurat iklim sudah di depan mata,” ucapnya.
Tak hanya Senthilnathan, aktivis lingkungan paling terkenal di dunia, Greta Thunberg, sejak usia yang masih sangat muda telah sadar dan bergerak untuk menginspirasi pemuda lain di dunia.
Ia pernah menginspirasi jutaan remaja membolos demi berdemonstrasi mendukung perubahan iklim pada tahun 2018 hingga mendapat perhatian dari media dunia.
Protes yang dilakukan tidak hanya melalui demonstrasi dan mengangkat isu perubahan iklim saja, melainkan juga krisis lain seperti pandemi COVID-19 dan ketidakadilan rasial berusaha diangkat ke dalam kelas.
Baginya, generasi muda adalah yang berpeluang besar untuk berjuang melawan perubahan iklim melalui suara mereka.
Tak Harus Selalu Menjadi Aktivis
Senthilnathan dan Thunberg bukan satu-satunya sosok yang harus dicontoh semua anak muda dari segi aksinya. Namun, kesadaran dan menginspirasi anak muda untuk menjaga lingkungan masa depan adalah poin utamanya.
Keduanya telah menjalankan peran dengan apa yang mereka lakukan untuk Bumi. Namun, para ahli menyatakan bahwa memperjuangkan perbaikan iklim tidak melulu dengan cara menjadi aktivisme iklim.
Pemimpin Climate Action Lab sekaligus asisten profesor University of Wisconsin-Madison, Morgan Edwards, menjelaskan bahwa cara terbaik untuk ikut dalam mengubah iklim adalah melalui hal-hal yang disukai.
Baca Juga : 10 Manfaat Belajar Geografi Untuk Anak Muda
Misalnya seorang seniman dapat membuat karya seni tentang krisis iklim dan seorang penulis dapat membuat cerita atau karya tulis tentang krisis iklim.
Jadi poin utamanya adalah anak muda harus sadar dan aktif dalam mengatasi krisis iklim sesuai apa yang ingin dilakukan sebisa mungkin.
Edwards menilai, untuk pengurangan emisi pribadi atau menyinggung gaya hidup orang lain tidaklah efektif.
“Gerakan iklim dapat dilakukan dengan bebas,” ujarnya.
“Pikirkan cara mengurangi emisi mulai dari diri sendiri, suarakan bersama komunitas. Ini adalah cara berpikir yang jauh lebih memberdayakan dalam mengatasi masalah perubahan iklim dengan berfokus pada tanggung jawab atas krisis ini, bukan hanya pada satu individu,” pungkasnya.
Menjabat Dalam Politik
Apa yang dilakukan Senthilnathan juga tak main-main. Ia bahkan telah mencalonkan diri sebagai dewan kota di Parker, Colorado. Meskipun ia tidak terpilih, ia telah berhasil mendorong para rekannya agar terus memperjuangkan posisi kekuasaan dalam politik.
Tak diam disitu, Senthilnathan memiliki tujuan sebagai penasihat Gedung Putih melalui komite ilmu pengetahuan dan teknologi sambil mendorong orang-orang sebayanya untuk menghancurkan stigma generasi tua bahwa generasi muda tidak dapat memimpin.
Jabatan sebagai anggota dewan diincar karena menjadi jabatan yang bagus untuk memberi masukan terhadap kebijakan-kebijakan mengenai darurat iklim.
Sekitar 40-50% polusi berasal dari teknik konstruksi. Senthilnathan berharap ada kebijakan yang dapat mengatasi fenomena tersebut.
Berawal dari dasarnya, Senthilnathan mengharapkan para mahasiswa yang sekalipun tidak berada di program studi yang berkaitan dengan iklim dapat memanfaatkan minat bakatnya untuk memperjuangkan perubahan iklim dengan caranya sendiri.
Terdapat banyak sudut pandang mengenai krisis iklim dan cara mengatasinya melalui bidang yang berbeda-beda. Tidak ada keterbatasan ilmu pengetahuan, kebijakan, ataupun rekayasa lainnya.