Mudabicara.com_ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pertama kali diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Tujuan dibentuknya deklarasi ini adalah respons atas berakhirnya Perang Dunia II.
Trauma akan segala wujud kekejaman yang lahir atas menjamurnya konflik-konflik antarnegara pasca Perang Dunia II mendorong lahirnya deklarasi ini. Sebagai pelengkap Piagam PBB yang sebelumnya telah dibuat, draf awal Deklarasi Universal HAM dirumuskan pada 1947 oleh anggota yang tergabung dalam Komisi Hak Asasi Manusia.
BACA JUGA : Membangun Kepemimpinan Lewat Dunia Kerelawanan Turun Tangan
Selanjutnya Komisi Hak Asasi Manusia membentuk badan formal terpisah yang terdiri dari 18 anggota untuk mempercepat perumusan deklarasi. Badan ini diketuai oleh Eleanor Roosevelt dan beranggotakan Rene Cassin (Perancis), Charles Malik (Lebanon), Peng Chung Chang (China), dan John Humphrey (Kanada).
Empat setengah decade berlalu, deklarasi Universal HAM diperkuat perannya melalui Deklarasi dan Program Aksi Wina. Deklarasi Wina disepakati pada tanggal 25 Juni 1993 selama Konferensi Internasional Hak Asasi Manusia di Wina, Austria dengan melibatkan perwakilan dari 171 negara.
Tujuan utama deklarasi ini untuk memperkuat penegakan HAM di seluruh dunia. Deklarasi ini mengusung sifat-sifat HAM seperti universalitas, tidak dapat dibagi (indivisible), saling bergantung (interdependent), dan saling terkait (interrelated).
Cara Menafsirkan HAinternasionalM
Dalam studi hubungan , dewasa kini dua cara berbeda untuk menafsirkan HAM dapat dilihat ke dalam dua perspektif, yakni HAM yang bersifat ofensif dan defensif. HAM ofensif menyiratkan fokus pada pelanggaran oleh negara lain.
BACA JUGA : Pengertian Komunikasi Politik, Sifat dan Fungsinya
Dalam berbagai forum internasional, suatu negara akan merespon dengan mengecam negara saingan.(Fortman, 2011) Istilah hak asasi manusia defensif, di sisi lain, mengacu pada praktik penandatanganan dan pengesahan perjanjian dan memasukkan standar HAM ke dalam konstitusi nasional negara tersebut atau sebagai bentuk ratifikasi.
Langkah berbagai negara ini hanya sebagai titik referensi positif setiap kali sebuah negara harus melaporkan progress penegakan HAM di negara tersebut. Sebagai bentuk perjanjian internasional, deklarasi HAM diharapkan mampu mengikat negara untuk tunduk ke dalam hukum-hukum yang telah disepakati bersama.
Namun, penegakan HAM dewasa ini masih memerlukan jalan yang panjang dan komitmen kuat dari para
stakeholder berpengaruh. Sementara itu, implementasi HAM di setiap negara tidak selalu mudah karena terbatasnya fungsi alat penegakan itu sendiri.
Jika kita melihat hal ini sebagai titik awal, maka lanskap politik dunia sesungguhnya tidak ramah untuk hak asasi Manusia. Realisme politik global memungkinkan setiap aturan-aturan yang telah dibuat akan sering dilanggar. Perjanjian hanyalah omong kosong yang hanya bertahan selama menguntungkan pihak-pihak inisiator.
Merujuk pada pandangan Thomas Hobbes bahwa perjanjian internasional bermasalah pada hal kejelasan karakteristik, di mana perjanjian yang tidak dipaksakan hanyalah kata-kata. Realis hingga hari ini terus percaya bahwa, sebagian besar, diplomasi hak asasi manusia hanyalah omong kosong.
Mereka memahami bahwa hak asasi manusia adalah bagian dari kosakata masyarakat internasional modern. Hal ini merujuk pada fakta bahwa tidak ada pemimpin negara yang secara terbuka menentang prinsip-prinsip yang mendasarinya dalam memimpin bila dibenturkan dengan upaya penegakan HAM.
Realis selalu percaya bahwa kemungkinan HAM untuk masuk dalam daftar tujuan kebijakan nasional adalah sangat kecil. Hal ini cukup menjelaskan kelaziman standar ganda dalam diplomasi internasional. Para pemimpin politik seringkali hanya berbasa-basi dalam hal upaya melindungi HAM sementara pada saat yang sama membiarkan prinsip-prinsip HAM dirusak karena mengejar tujuan lain.
BACA JUGA : Sistem Politik Demokrasi Liberal, Pengertian, Macam dan Cirinya
Dengan kata lain, jika mengejar penegakan HAM adalah untuk kepentingan nasional, bagaimana rasionalisasi sebuah negara untuk mengejar tujuan tersebut.
Skeptis Terhadap HAM
Menurut Dunne and Hanson, kondisi anarki internasional dan pengejaran kepentingan nasional adalah dua alasan penting mengapa kaum realis skeptis terhadap HAM. Sebagai besar realis dari bagian awal abad kedua puluh berpendapat (Carr, 1946; Morgenthau,1948), kampanye untuk mematuhi hukum moral universal hanyalah teknik untuk menyembunyikan motif dalam upaya mengejar kepentingan egois sebuah negara.
Sehingga tidak perlu heran jika deklarasi HAM dan kampanyenya akan menguntungkan kekuatan dominan. Keterkaitan antara moralitas universal dan kepentingan nasional terbukti dalam praktik kolonialisme yang dibuat oleh kekuatan kekaisaran Eropa pada abad kesembilan belas. Seperti halnya promosi demokrasi yang mengkonsolidasikan hegemoni Amerika Serikat (AS) di era modern.
Demikian pula bagi negara yang tinggal di luar garis ‘Barat’ banyak menyatakan protes bahwa HAM adalah alat yang digunakan oleh yang kuat untuk mengamankan berbagai tujuan seperti syarat perdagangan yang menguntungkan atau bahkan perubahan rezim.
Contoh kegagalan deklarasi HAM dewasa ini adalah pecahnya perang antara Ukraina dan Rusia yang baru-baru ini menggemparkan dunia. Banyaknya kecaman atas agresi militer yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina tidak menyurutkan niat Putin mengakhiri perang, paling tidak dalam beberapa bulan terakhir.
Kalkulasi politik yang terlalu mementingkan kedaulatan nasional telah membuat ratusan bahkan ribuan warga sipil berkorban nyawa. Sementara kejahatan perang adalah salah satu pelanggaran berat HAM. Contoh lain adalah kejahatann genosida yang harus dialami oleh etnis Rohingya oleh junta militer yang memimpin Myanmar.
Hal ini membuktikan bahwa universalitas HAM tidak sepenuhnya diadopsi oleh seluruh negara. Jalan kekerasan masih dipilih oleh sebagian otoritas pada sebuah negara untuk menciptakan kedamaian negatif di dalam negaranya sendiri.
Meskipun di kawasan regional Asia Tenggara terdapat organisasi supranasional ASEAN, nyatanya lembaga ini tidak mampu menciptakan perdamaian kawasan ketika harus berbenturan dengan kepentingan nasional dan kedaulatan negara.
Bahkan kejahatan genosida etnis Rohingya yang telah memakan ratusan bahkan ribuan nyawa tidak dapat disentuh karena lembaga ini menganut prinsip non intervensi terhadap kepentingan nasional negara anggotanya.
Hal ini bertentangan dengan prinsip deklarasi Wina yakni saling bergantung (interdependent) dan saling terkait (interrelated). Maka dewasa kini perjuangan menegakkan HAM dalam skala internasional yang melibatkan komitmen negara dan kepentingan nasional masih sulit untuk direalisasikan.
Deklarasi HAM perlu ditinjau ulang agar bisa memberikan daya paksa terhadap negara yang melanggarnya. Misalnya dalam kasus perang Rusia-Ukraina, sejauh ini sanksi ekonomi dapat sedikit memberikan tekanan terhadap Putin dan pemerintahannya.
Meskipun pada akhirnya NATO dan Uni Eropa tidak memberikan bantuan militer secara spesifik, namun sanksi ekonomi dapat menjadi salah satu cara untuk menekan Rusia. Pemberian sanksi ekonomi dapat dimasukkan dalam perundingan HAM agar dapat memberikan instruksi yang jelas demi memperkuat saya paksa HAM.
Oleh : Khanafi (Muda Bicara)