Mudabicara.com_ Konsep regionalisme dalam hubungan internasional menjadi salah satu isu yang kian hari kian menjadi polemik, melihat situasi tatanan internasional dewasa kini.
Salah satu yang menarik adalah eksistensi ASEAN sebagai salah satu wadah bagi negara-negara Asia Tenggara untuk menjalin kerjasama regional dalam menjawab tantangan hubungan antar bangsa.
BACA JUGA : PETA POLITIK PERDAGANGAN HEROIN
Potensi ASEAN Centrality
Konsep ASEAN Centrality atau ASEAN sebagai sentral ini memiliki sejumlah dimensi yang saling terkait. Dengan kata lain, peran ASEAN sebagai sebuah lembaga supranasional diharapkan mampu untuk mendesign ulang tatanan geopolitik regional dewasa kini.
Selain itu, ASEAN Centrality merupakan upaya yang dibangun negara-negara Asia Tenggara untuk merespon gejolak perekonomian dunia, yang dibangun dari skema komplek adanya free trade agreement dalam negara-negara di ASEAN dan sekitarnya.
Dalam arti yang terbatas, menurut ilmuwan Hubungan Internasional, Amitav Acharya, ASEAN Centrality berarti bahwa ASEAN terletak, dan harus tetap, pada inti lembaga-lembaga regional Asia (atau Asia-Pasifik), terutama ASEAN Plus Three (APT), Forum Regional ASEAN (ARF) dan KTT Asia Timur (EAS).
ASEAN Centrality menyediakan platform kerjasama yang lebih luas secara kelembagaan di mana lembaga-lembaga regional Asia Pasifik dan Asia Timur bersatu.
Peran ASEAN Centrality dalam konflik Laut Cina Selatan
Berkaitan dengan konflik Laut Cina Selatan yang selama ini juga menyeret beberapa negara di ASEAN. Kehadiran konsep ASEAN Centrality ini nampaknya tidak akan terlalu signifikan berperan dalam meredam eskalasi konflik yang selama ini telah memanas.
Hal ini cukup dilihat dari pendekatan politik luar negeri beberapa negara yang terlibat dengan konflik ini yang memilih bertindak tidak terlalu konfrontatif dengan Tiongkok.
Meski demikian, tampaknya hanya dua negara yakni Vietnam dan Filipina yang memilih bertindak realistis dalam merespon konflik Laut Cina Selatan.
Sedangkan kecenderungan negara-negara ASEAN yang lain memilih untuk berdiplomasi di belakang layar, sehingga memungkinkan mereka untuk mempertahankan hubungan baik dengan Beijing.
BACA JUGA : WAJAH POLITIK BEBAS AKTIF HATTA VERSUS SOEKARNO
Salah satu analisis menarik yakni Joseph Liow Chin Yong seorang pakar geopolitik Asia-Pasifik di Nanyang Technological University, Singapura.
Joseph Liow menyebutkan bahwa masing-masing negara tidak akan secara terbuka konfrontatif dengan Tiongkok karena khawatir akan mempengaruhi hubungan perdagangan dan investasi.
Bagaimana Indonesia?
Dalam konteks Indonesia, salah satu ancaman yang paling menohok sesungguhnya telah ditunjukkan oleh Tiongkok. Hal itu terlihat Tiongkok mencoba mengganggu kedaulatan Indonesia dengan kehadiran Cost Guard nya di perairan Natuna.
Ditambah negari tiarai bambu mengklaim sebagai bagian dari Laut Cina Selatan. Meskipun hal ini merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan dan hukum laut internasional. Pemerintah Indonesia menyatakan sikap yang dapat dikatakan tidak tegas.
BACA JUGA : SISTEM POLITIK DEMOKRASI LIBERAL, PENGERTIAN, MACAM DAN CIRINYA
Sebagai contoh, pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, yang menyebut bahwa bahwa Tiongkok adalah negara yang bersahabat.
Di sisi lain pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menyatakan bahwa Indonesia dan Tiongkok seharusnya tidak bertengkar untuk sesuatu yang seharusnya tidak menjadi masalah.
Dengan melihat realitas ini, ASEAN Centrality nampaknya telah gagal menunjukkan fungsinya sebagai penjaga kepentingan regionalisme Asia Tenggara terutama kedaulatan negara.
Selain itu, dalam ASEAN Centrality, adanya ASEAN Plus Three (APT) di mana Tiongkok menjadi salah satu anggotanya menjadi bukti bahwa hubungan perdagangan masih sangat sulit dibenturkan dengan kepentingan kedaulatan dan nasionalisme.
Teori Ketergantungan Theotonio Dos Santos
Teori ketergantungan dari Theotonio Dos Santos cukup relevan dalam menggambarkan rumitnya konflik Laut Cina Selatan ini.
Dos Santos menjelaskan bahwa ketergantungan adalah kondisi ekonomi yang dikondisikan oleh pengembangan dan perluasan ekonomi negara lain. Situasi itu berdampak pada bergantungnya sebuah negara terhadap negara yang lebih berkuasa.
Dalam konteks Indonesia, apa yang disampaikan oleh Joseph Liow Chin Yong maupun Dos Santos Nampak masuk akal. Dimana Indonesia sangat bergantung pada Tiongkok dalam konteks ekonomi.
Berdasarkan data BKPM, Pada 2018, Tiongkok menjadi negara ketiga terbesar yang berinvestasi di Indonesia, setelah Singapura dan Jepang. Sepanjang tahun 2019, Tiongkok menanamkan modal di Indonesia senilai US$ 4,7 miliar dengan total proyek sebanyak 2.130.
Nilai investasi ini bahkan meningkat hingga 99,6%, sedangkan jumlah proyek juga meningkat mencapai 36,4% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan dalam konflik Laut Cina Selatan, seharusnya pendekatanya sudah tidak lagi menggunakan pendekatan kerjasama. Namun pendekatan militeristik jika ingin mewujudkan kedaulatan negara berdasarkan prinsip-prinsip negara merdeka.
BACA JUGA : DILEMA DEMOKRATISASI KAWASAN ASEAN
Namun Kembali lagi, bahwa ketergantungan ekonomi negara-negara ASEAN terhadap Tiongkok memaksa mereka untuk tidak menggunakan pendekatan tersebut. Oleh karena itu teguran normatif terhadap segala tindakan Tiongkok menjadi pilihan yang aman.