Mudabicara.com_ Kondisi politik luar negeri Indonesia di tahun 1930-an tidak terlepas dari situasi politik global di kala itu. Upaya pelucutan senjata dan krisis ekonomi yang melanda dunia menjadi momen penting yang mendorong negara-negara meredefinisi politik luar negeri mereka.
Sementara imperialisme Barat atas negara-negara jajahan masih kokoh bercokol. Para intelektualis di negara-negara berkembang mulai melakukan gerakan revolusioner mereka, termasuk Indonesia.
BACA JUGA : MENGENAL TEORI GRAHAM ALLISON TENTANG PROSES KEBIJAKAN LUAR NEGERI DAN CONTOHNYA
Mohammad Hatta dan Gerakan Diplomasi
Adalah Mohammad Hatta yang telah memulai percaturan politik luar negeri Indonesia di mata internasional melalui Perhimpunan Indonesia. Ia melakukan gerakan-gerakan subversif terhadap Belanda pada 1927 ketika Indonesia masih dibawah jajahan Belanda.
Melalui Perhimpunan Indonesia, Hatta memulai menjalankan propaganda internasional untuk dalam mendorong terwujudnya Indonesia merdeka. Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Hatta memimpin delegasi pada Kongres Demokrasi Internasional untuk Perdamaian di Bierville, Perancis.
Pergerakan nasional Indonesia juga belajar banyak dari kongres internasional Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial yang diselenggarakan di Brussels pada 10 hingga 15 Februari 1927.
BACA JUGA : PERGESERAN AKTOR DAN WAJAH BARU KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA PASCA REFORMASI
Perkembangan selanjutnya, sejak pidato Bung Hatta pada 1948: Mendayung di antara Dua Karang, idealisme politik luar negeri bebas aktif menjadi pijakan Orde Lama, Orde Baru hingga pemerintahan Reformasi.
Memasuki era Demokrasi Terpimpin yang berlangsung pada 1959 hingga1965, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia didominasi oleh hasrat dan cita-cita besar Soekarno.Hal ini dijelaskan oleh M.C Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004.
Menurut Ricklefs, Demokrasi Terpimpin didominasi oleh kepribadian Soekarno, meskipun keterlibatan militer tetap tak bisa terelakkan. Soekarno dikenal sangat tidak menyukai stabilitas, ketertiban, dan hal-hal prediktif yang mencerminkan tujuan dari penguasa pra-kolonial.
Oleh karena itu, ia menginginkan sebuah revolusi yang berkesinambungan dan mobilisasi massa dalam politik luar negeri Indonesia.
Di masa ini, politik bebas aktif Indonesia didasarkan pada Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol USDEK). Konsekuensinya, penerapan politik bebas aktif bersifat revolusioner dan radikal. Hal ini dijelaskan dalam jurnal yang berjudul Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (2018).
Soekarno dan Politik Bebas Aktif
Di era Soekarno, karakteristik dari politik luar negeri Indonesia digambarkan dengan kekuatan dan ketegasan. Diplomasi yang dijalankan Indonesia menuntut realisasi dan berfokus pada ketercapaian kepentingan nasional.
Hal ini tercermin dari beberapa kebijakan Soekarno yang cukup menonjol. Di antaranya adalah tuntutan Indonesia terhadap Belanda untuk mengembalikan kawasan Irian Barat ke Indonesia. Awalnya, pemerintah mengupayakan jalan diplomasi.
BACA JUGA : MENELAAH TEORI SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO, INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA
Namun ternyata upaya tersebut menemui jalan buntu di mana Soekarno memutuskan untuk melakukan perang terbuka dengan Belanda.
Selanjutnya adalah Politik New Emerging Forces (NEFOS). Gagasan politik ini disampaikan oleh Soekarno pada KTT Non-Blok tahun 1961.
Penyampaian gagasan NEFOS merupakan realisasi dari pidato Soekarno ‘’Membangun Dunia Kembali’’ yang bertujuan untuk melakukan konfrontasi penuh melawan kolonialisme dan imperialisme. Dari prinsip tersebut kemudian lahirlah Gerakan Non-Blok.
Terakhir adalah konfrontasi Indonesia dan Malaysia. Indonesia menerapkan politik luar negeri yang konfrontatif dengan Malaysia karena Soekarno menganggap bahwa pendirian federasi Malaysia oleh Inggris merupakan bentuk imperialisme baru (neo-imperialism) di kawasan Asia Tenggara.
Hal ini juga dianggap mengganggu ketertiban wilayah Indonesia. Dalam merespon hal ini, Soekarno memutuskan untuk keluar dari PBB dan melakukan operasi dwikora terhadap Malaysia.
Dua era kepemimpinan politik luar negeri yang telah digambarkan menunjukkan perbedaan dan persamaan sekaligus. Kesamaan yang dimaksud tercermin dari sikap menolak segala bentuk kolonialisme dan imperialisme.
Di era 1930-an, Hatta menekankan pentingnya semangat melawan imperialisme barat dengan menumbuhkan solidaritas melalui forum-forum diplomatik. Di era kepemimpinan Soekarno pada tahun 1950-an, semangat anti kolonial tetap masih tercermin dalam politik luar negeri bebas aktif.
BACA JUGA : DILEMA DEMOKRATISASI KAWASAN ASEAN
Namun, Soekarno lebih memilih jalur konfrontatif daripada jalur diplomatis seperti yang dilakukan Hatta. Hal inilah yang menjadi pembeda antara upaya Hatta dan Soekarno membangun politik luar negeri bebas aktif Indonesia. lalu bagaimana dengan Indonesia hari ini!
Oleh : Khanafi (Relawan)