Mudabicara.com_ Proses Reformasi Indonesia tahun 1998 merupakan proses titik balik wajah baru tata kelola pemerintahan. Peristiwa yang menjadi pijakan awal proses demokratisasi ini tidak hanya menurunkan Soeharto tetapi juga memberi ruang kebebasan kepada masyarakat untuk berkumpul serta tegaknya supremasi hukum bagi rakyat.
BACA JUGA : DILEMA DEMOKRATISASI DI KAWASAN ASEAN
Meskipun akhirnnya narasi kebebasan menjadi satu hal yang tak bisa dikontrol. Sebut saja proses jurnalisme yang memberi informasi sesuka hati tanpa memperdulikan kaidah jurnalistik hingga proses kebijakan publik yang melibatkan banyak aktor.
Tak heran jika pada akhirnya reformasi hanya diartikan sebagai proses peralihan kekuasaan tanpa adanya agenda-agenda yang tersistimatis. Hal itu terbukti dengan ketidakstabilan kepemimpinan politik nasional dengan kegaduhan siapa sosok yang berhak mengantikan Soeharto.
Bahwa transisi menuju demokrasi di Indonesia merupakan proses replacement yang tidak sempurna, meskipun jatuhnya Soeharto karena desakan dari bawah. Habibie bukanlah bagian dari oposisi yang melakukan kegiatan untuk menjatuhkan Soeharto.
Fakta lain, hampir 44 tahun masyarakat Indonesia menunggu pemilihan parlemen yang terbuka bebas dan adil. Meski ketika hal itu benar-benar terjadi sistem pemilu Indonesia ternyata belum siap melaksanakannya. Hal itu terbukti dengan menjamurnya partai politik yang sebenarnya tidak mempunyai peran utama dalam arus proses reformasi. Namun di atas gerakan reformasi maka hal itu menjadi benar.
Ditambah kolestrol otoritarianisme yang melanda masyarakat hampir 30 tahun lamanya membuat gerbang transisi demokrasi sangat lambat. Kebebasan berkumpul dan berpendapat seakan tak ada sekat pembatas. Pada akhirnya polarisasi informasi pun terjadi sehingga masyarakat bawah menjadi tumbal.
BACA JUGA : MENGENAL HUKUM TIGA TAHAP AUGUSTE COMTE
Transisi Aktor Kebijakan Luar Negeri Pasca Reformasi
Dalam konteks kebijakan luar negeri terjadi pergeseran aktor. Para legislatif dan elemen masyarakat sipil mulai aktif dalam mengambil peran dalam proses perumusan kebijakan luar negeri. Dimana domain kebijakan luar negeri sebelumnya hanya dapat diakses oleh jajaran eksekutif.
Situasi politik domestik pada saat itu sangat mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia dan proses pergeseran aktor pembuat kebijakan inilah yang disebut diffusion of political power.
Aktor-aktor yang berperan dalam proses pembuatan kebijakan luar Indonesia pasca reformasi mengalami banyak perubahan. Reformasi memang memberi ruang sipil dapat berkontribusi dalam perumusan kebijakan tak terkecuali kebijakan luar negeri Indonesia.
BACA JUGA : TANTANGAN TATA KELOLA TENAGA KERJA DI INDONESIA
Elemen-elemen yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia antara lain. Akademisi, Media, Organisasi Non-Pemerintah, Pemuka Agama, Dewan Perwakilan Rakyat, Militer dan Birokrat.
Keterbukaan ruang sipil dalam merumuskan kebijakan luar negeri tentu banyak menemukan kendala. Misalnya, kebijakan luar negeri pada zaman Orde Baru lebih dipengaruhi oleh para ilmuwan dan peneliti yang tergabung dalam the Center for Strategic and International Studies (CSIS), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) dan Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS).
Pasca reformasi lembaga tink tank tersebut tidak mempunyai pengaruh secara signifikan dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri Indonesia sekedar reflektif keadaan politik lokal yang masih mencoba membuat formula baru tata kelola pemerintahan.
Selain itu, keterlibatan Media, Organisasi Non-Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia merupakan sesuatu yang benar-benar baru. Meskipun tak dipungkiri keterlibatan tiga instrument tersebut menjadikan proses pengambilan lebih lama dan bertele-tele.
Belum lagi para tokoh agama, meski dalam cacatan buku Aria Wibision Power Structure and Foreign Policy, meskipun Islam agama yang mayoritas namun Islam tidak menjadi instrument yang kuat dalam menentukan kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri masih sangat dipengatuhi oleh keadaan politik.
Wajah Kebijakan Pasca Reformasi
Pada akhirnya proses reformasi yang menjadi tanda demokratisasi juga berpengaruh terhadap wajah kebijakan luar negeri Indonesia. Pergeseran aktor ini tercermin dari kebijakan luar negeri BJ Habibie yang menerapkan kebebasan pers dan liberalisasi partai politik demi memulihkan kepercayaan internasional.
Di samping itu, pada masa Habibie banyak organisasi multilateral yang melakukan kerjasama demi mewujudkan pembangunan ekonomi di Indonesia seperti CGI, IMF, World Bank, ADB dan ILO.
BACA JUGA : PROBLEMATIKA TENAGA KERJA INDONESIA MENGAHADAPI ASEAN SINGLE MARKET
Diplomasi persatuan yang digaungkan oleh Abdurahman Wahid menjadi kebijakan politik luar negeri berikutnya. Sosok presiden yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur ini melakukan kunjungan internasional.
Kurang lebih 80 negara telah dikunjunginya dengan misi menjaga kedaulatan wilayah bangsa indonesia yang sedang mengalami masalah disintegrasi. Alhasil, bangsa Indonesia mendapat pengakuan integrasi nasional dari berbagai negara dan mampu menumbuhkan persatuan dan kesatuan kembali.
Apa yang menjadi program Gus Dur kemudian dilanjutkan pada masa Megawati Soekarno Putri. Ia mencoba mengembalikan kepercayaan internasional soal isu kekerasan Hak Asasi Manusia yang terjadi di beberapa daerah serta soal diintegrasi bangsa.
Setelah persoalan disintegrasi bangsa mulai teratasi Suliso Bambang Yudhoyono membawa kebijakan luar negeri Indonesia lebih kepada peningkatan proses perdagangan dan investasi internasional.
BACA JUGA : KONSEP KEAMANAN HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN SOAL INTERVENSI KEMANUSIAAN
Di samping itu SBY mencoba menyelesaikan kasus-kasus seperti Ilegal logging, masalah perbatasan dan kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Lalu bagaimana dengan Indonesia hari ini, mari kita tunggu!
Oleh : Mahfut Khanafi (CEO Mudabicara.com)