Mudabicara.com_Teori hukum tiga tahap merupakan teori yang dicetuskan oleh Auguste Comte seorang pendiri aliran filsafat positivisme yang terkenal dengan julukan bapak sosiologi.
Nama Comte terkenal pasca menerbitkan buku berjudul Course Positive-Philosophy. Buku yang dikerjakan selama kurun waktu 12 tahun dan berjumlah 6 jilid ini membahas soal metode mencapai keteraturan sosial. Comte menilai bahwa ada kekhawatiran akan ketidakteraturan masyarakat.
BACA JUGA : MENGENAL TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER
Disamping itu Comte merupakan tokoh pertama kali yang mengenalkan istilah sosiologi. Melalui pendekatan positivisme Comte memberi fondasi keilmuan yang kokoh tentang pengaplikasian metode ilmiah dalam mencari kebenaran dalam ilmu sosial.
Comte menilai sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan atau observasi terhadap masyarakat bukan hanya sekadar spekulasi-spekulasi perihal masyarakat.
Berkat buku yang diterbitkanya, pencetus aliran filsafat positivisme ini mulai muncul kepermukaan dalam diskursus akademis. Teori hukum tiga tahap yang membahas perkembangan masyarakat menjadi perdebatan dikarenakan menelaah soal metode tentang bagaimana masyarakat seharusnya.
Meskipun itu bukan satu-satunya buku yang diterbitkannya sebab Comte juga menerbitkan buku lain yang berjudul System of Positive Politics.
Dua buku Comte memberikan sumbangsing intelektual yang luas. Di dalam buku Course Positive-Philosophy berisi bahasan soal sains bertransformasi menjadi filsafat sedangkan buku Course System of Positive Politics berisi bahasan filsafat yang bertransformasi menjadi agama.
Terlepas pro kontranya namun keberhasilan besar seorang Comte adalah membawa kajian sosiologi kokoh berdiri sendiri sebagai cabang ilmu sosial dan keluar dari ruang-ruang filsafat.
Awal mulanya pemikiran Comte bermula dari Republikanisme. Republikanisme adalah ideologi yang lahir dari Revolusi Prancis. Ideologi yag mengajarkan tentang demokrasi, keadilan sosial, dan kesetaraan sipil.
Awal mula republikanisme mendapat penolakan keras dari gereja katolik Roma sebab konsep republikasnisme mengajarkan etika sekuler. Republikanisme mencoba memisahkan gereja dengan negara.
Dari situlah seorang Auguste Comte (1798-1857), pemikir sosial asal Perancis yang dianggap sebagai Bapak Sosiologi dan pendiri aliran Positivisme dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan memberi jawaban.
Siapakah Auguste Comte ?
Lahir di sebuah kota kecil Montpellier di bagian barat daya Perancis pada tahun 1798. Auguste Comte kecil bernama asli Isidore Marie Auguste François Xavier Comte. Ayahnya adalah seorang pejabat pajak bernama Louis Comte dan ibunya Rosalie Boyer adalah wanita yang taat agama. Comte meninggal diumur 59 tahun pada 1857.
BACA JUGA : WAJIB TAHU! 7 REKOMENDASI USAHA UNTUK ENTERPRENER MUDA
Di masa muda Comte menghabiskan waktu belajar di École Polytechnique, sekolah kedokteran Montpellier dan berguru dengan Claude Henri de Rouvroy dan Comte de Saint-Simon. Perjalanan intelektual Comte sudah teruji sejak muda sebab di masa-masa belajar dia harus merasakan proses republikanisme dan skeptisme.
Keadaan sosial historis di Prancis yang mengalami reorganisasi inilah yang membuat Comte konsen dalam kajian sosial khususnya sosiologi. Comte menilai bahwa pemahaman sosial tidak dapat di peroleh tanpa menggunakan pendeketan historis atau social dynamic.
Di sisi lain, Auguste Comte (1798-1857) merupakan seorang pemikir sosial yang dianggap sebagai Bapak Sosiologi dan pendiri aliran Positivisme dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
Comte mencoba memberikan tawaran ilmiah dan pemahaman metodologis seputar ilmu pengetahuan tentang masyarakat manusia yang dikatakannya dengan istilah “fisika sosial” dan kemudian sosiologi.
Auguste Comte memiliki proyek besar bersama seniornya Henry de Saint-Simon di dalam filsafat positif (positivisme). Walaupun SaintSimon adalah orang pertama kali yang menggunakan istilah positivisme namun A. Comte mempopulerkannya sehingga menjadi salah satu istilah baru dalam sejarah perkembangan filsafat ilmu.
Selain itu, Auguste Comte pula memperkenalkan istilah sosiologi. Sebuah istilah yang dipahami Comte sebagai studi ilmiah terhadap masyarakat. Hal itu berarti masyarakat harus dipandang layaknya alam yang terpisah dari subjek peneliti dan bekerja dengan hukum determinisme.
Comte (Positivisme) menjunjung tinggi fakta-fakta. Ia hanya menerima pengetahuan faktual. Fakta positif yaitu fakta yang terlepas dari kesadaran individu.
Oleh karenanya, sosiologi sering disebutnya sebagai fisika sosial (suatu kajian tentang manusia dan masyarakat dianggapnya sama dengan alam yang memiliki hukumhukumnya yang pasti / bersifat mekanis).
Istilah “positif: kerap kali digunakan dalam tulisan Comte, yang maksudnya sama dengan filsafat positivismenya. Fakta positif adalah “fakta riil” atau “yang nyata”.
Hal positif (a positivefact) adalah sesuatu yang dapat diuji atau diverifikasi oleh setiap orang yang mau membuktikannya. Dengan proyek itu, Comte berdiri di garis depan mendirikan sosiologi atas dasar metode empiris yang teramati dan terukur (reliable-measureable) dengan mencontoh metode ilmu-ilmu alam (Lubis, 2014: 142).
Seperti metode penelitian empiris pengamatan (observasi), eksperimen dan perbandingan (komparasi)(Martineau, 2000: 202).
Auguste Comte memiliki proyek besar bersama seniornya Henry de Saint-Simon di dalam filsafat positif (positivisme). Walaupun SaintSimon adalah orang pertama kali yang menggunakan istilah positivisme namun A. Comte mempopulerkannya sehingga menjadi salah satu istilah baru dalam sejarah perkembangan filsafat ilmu.
Selain itu, Auguste Comte pula memperkenalkan istilah sosiologi. Sebuah istilah yang dipahami Comte sebagai studi ilmiah terhadap masyarakat.
Hal itu berarti masyarakat harus dipandang layaknya alam yang terpisah dari subjek peneliti dan bekerja dengan hukum determinisme.
Comte (Positivisme) menjunjung tinggi fakta-fakta. Ia hanya menerima pengetahuan faktual. Fakta positif yaitu fakta yang terlepas dari kesadaran individu.
Oleh karenanya, sosiologi sering disebutnya sebagai fisika sosial (suatu kajian tentang manusia dan masyarakat dianggapnya sama dengan alam yang memiliki hukumhukumnya yang pasti / bersifat mekanis).
Seperti metode penelitian empiris pengamatan (observasi), eksperimen dan perbandingan (komparasi)(Martineau, 2000: 202).
Menurut Donny Gahral Adian (2002) filsafat positif atau aliran Positivisme merupakan evolusi lanjut dari empirisme Inggris. Filsafat empirisme memberikan inspirasi terhadap positivisme terutama prinsip objektivas ilmu pengetahuan.
Kaum Empiris meyakini bahwa semesta adalah segala sesuatu yang hadir melalui data inderawi, dengan kata lain pengetahuan manusia harus berawal dari pengamatan empiris-inderawi.
Positivisme mengembangkan klaim empiris tentang pengetahuan secara ekstrim dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu berdasarkan pada fakta-fakta keras (terukur dan teramati), ilmu-ilmu positif (Positive Sciences).
Dalam pandangan aliran filsafat Positivisme, filsafat tidak punya kerja lain selain cara kerja ilmu pengetahuan. Ia bertugas menemukan prinsip-prinsip umum yang sama untuk semua ilmu dan menggunakan prinsip tersebut sebagai pemandu untuk perilaku manusia serta dasar untuk pengaturan sosial masyarakat.
Positivisme yakin bahwa masyarakat akan mengalami kemajuan apabila mengadopsi total pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, aliran ini amat menjunjung tinggi kedudukan ilmu pengetahuan dan sangat optimis dengan peran sosialnua yang dapat dimainkan bagi kesejahteraan manusia.
Muncul slogan bagi Positivisme “savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir” yang artinya “dari ilmu muncul prediksi dan dari prediksi muncul aksi”(Adian, 2002).
Teori Sosiologi Comte : Hukum Tiga Tahap
Secara umum Comte membagi kajian sosiologi kedalam dua bagian besar. Pertama, Social statics yang membahas soal hukum-hukum aksi dan reaksi yang terjadi dalam sistem sosial. Kedua, Social dynamic yang membahas soal teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat.
BACA JUGA : 3 DESTINASI WISATA RELIGI PONOROGO YANG WAJIB DIKUNJUNGI
Kedua pembagian diatas saling terkait sebab social statics adalah bagian yang paling dasar. Meskipun paling dasar social statics bukan bagian terpenting dari sosiologi.
Statika sosial adalah teori tentang keteraturan yang tidak direncanakan dari masyarakat manusia (theory of spontaneous order of human society)(Martineau, 2000), atau struktur-struktur sosial yang sudah ada (Rietzer, 2014: 24).
Struktur ini relatif tidak berubah dalam waktu yang lama. Dan adanya struktur tersebut didasari pada asumsi bahwa masyarakat merupakan sebuah organisme yang disatukan oleh konsensus (kesepakatan) sehingga di dalamnya terjalin sebuah hubungan yang harmonis (Martono, 2016: 60).
Meskipun demikian, pada sebenarnya statika sosial merupakan bagian yang paling elementer di dalam sosiologi, hanya saja dia bukanlah bagian yang paling penting di dalam studi tentang sosiologi, karena pada dasarnya statika sosial merupakan hasil dari suatu pertumbuhan (Anwar, 2013: 122).
Adapun dinamika sosial adalah teori tentang kemajuan alami dari masyarakat manusia (theory of natural progress of human society), atau teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat, atau studi mengenai tata urutan perkembangan manusia (Martineau, 2000; Martono, 2016).
Studi ini mengacu pada pembahasan mengenai proses perubahan sosial dalam masyarakat manusia.
Bagian terpentingnya adalah social dynamic sebab masyarakat terus berkembang dan berubah sesuai dengan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Artinya pembagian diatas tidak berarti memisahkan pembahasan satu sama lain.
Di lain sisi Comte berpendapat bahwa masyarakat akan terus mengalami perkembangan namun perjalanan perkembangan tersebut tidak selamanya berjalan lancar.
Adapun pembagian sosiologi ke dalam dua bagian tersebut bukan berarti akan memisahkan satu sama lain. Ibarat rumah, maka statika sosial merupakan bangunan rumahnya yang relatif tidak berubah atau statis bentuknya dalam waktu yang lama, sementara dinamika sosial merupakan isi rumah dan aktivitas manusia yang ada di dalamnya.
Apabila statika sosial merupakan studi tentang keteraturan sosial yang ada di antara masyarakat yang saling berhubungan (struktur sosial) dan akan menghasilkan pendekatan yang paling elementer terhadap sosiologi, tetapi studi tentang hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara bagian-bagian itu tidak akan pernah dapat dipelajari tanpa memahaminya sebagai hasil dari suatu perkembangan.
Oleh karena itu, Comte berpendapat bahwa tidaklah akan diperoleh suatu pemahaman yang layak dari suatu masalah sosial tanpa menggunakan pendekatan dinamika sosial atau teori tentang perkembangan manusia (Anwar, 2013).
Ada banyak faktor eksternal yang akan menghambat perkembangan masyarakat seperti ras, politik, ekonomi dan budaya. Hal itu mengakibatkan perkembangan sosial harus dicari karakteristiknya.
Alhasil Comte mengajukan teori hukum tiga tahap tentang intelegensi manusia untuk menjadi karakteristik.
Lebih spesifik teori hukum tiga tahap Auguste Comte dalam teori perubahan sosial diklasifikasikan kedalam tiga tahap. Tahapan pertama yakni tahapan teologis, tahapan kedua metafisis dan tahapan ketiga positif.
Tahapan Teologis
Tahap ini merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia dan disebut sebagai masa kekanakan intelegensia manusia. Pada tahap ini manusia mempercayai adanya kekuatan-kekuatan supranatural yang muncul dari kekuatan zat adikodrati atau jimat atau kekuatan yang berasal dari luar diri manusia atau muncul dari kekuatan tokoh-tokoh agamis yang diteladani oleh manusia.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat di sini hidup berdasarakan pada penaklukan, yaitu hubungan sosial bersifat militer yang senantiasa menaklukkan dan menundukkan masyarakat lain. Oleh karenanya, pada tahapan ini pula terbagi menjadi tiga sub-tahapan, yaitu: fetisisme, politheisme dan monotheisme.
Tahap teologis bisa diartikan tahapan dimana manusia masih beranggapan bahwa semua benda di dunia ini memiliki kekuatan supranatural. Pemikiran inilah yang digunakan masyarakat sebelum tahun 1300 M untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi sehingga terkesan tidak rasional.
Dalam tahap teologis terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat yakni pertama fetisisme, kedua dinamisme dan ketiga animisme.
Baca Juga : Profil dan Pemikiran Bapak Sosiologi Auguste Comte
Fetisisme adalah kepercayaan akan adanya kekuatan sakti dalam benda tertentu. Dinamisme adalah kepercayaan yang menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa sedangkan animisme adalah kepercayaan yang mempercayai dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus.
Di sisi lain Fetisisme adalah bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri (roh-roh).
Dan manusia pada tahap ini mulai mempercayai kekuatan jimat atau benda. Fase ini pula dapat dikatakan sebagai fase awal sistem teologis dan militer.
Sedangkan Politheisme ialah anggapan yang muncul karena ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupan atau gejala alam (dewa-dewa atau makhluk ghaib).
Pada tahap ini sudah muncul kehidupan kota, pemilikan tanah menjadi institusi sosial, adanya sistem kasta dan perang dianggap sebagai satu-satunya cara menciptakan atau meraih kehidupan politik yang kekal.
Fase ini dapat pula dikatakan sebagai fase pengembangan sistem teologi dan militer.
Monotheisme ialah kepercayaan pada dewa yang mulai digantikan dengan zat tunggal atau hanya Tuhan yang berdaulat dan berkuasa untuk mengendalikan alam ini.
Fase ini dapat dikatakan sebagai fase modifikasi sistem teologi dan militer. Modifikasi sistem militer (militerisme) yang dimaksud adalah suatu hubungan sosial masyarakat bersifat militer di mana masyarakat senantiasa bertujuan untuk menundukkan dan menaklukkan masyarakat lain.
Sebagai ilustrasi yakni Ketika ada fenomena gerhana bulan masyarakat pada tahap teologis ini mengangap bulan telah dimakan Butho (Raksasa Jahat).
Tahap metafisik
Tahap metafisik adalah tahapan dimana masyarakat percaya bahwa kekuatan abstrak menentukan kejadian di dunia. Tahapan metafisik merupakan hasil pergesaran dari tahapan teologis dan terjadi kira-kira 1300-1800 M.
Pada tahap metafisik ini mulai muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan yakni alam. Tahapan ini mempercayai bahwa segala kejadian di muka bumi adalah hukum alam yang tidak dapat diubah dan masyarakat mencari penjelasan atas fenomena yang dialami dengan konsep impersonal abstrak
Tahapan ini merupakan fase transisi antara tahap teologis menuju ke tahap positifistik sehingga disebut dengan masa remaja intelegensia manusia.
Tahap ini ditandai dengan adanya satu kepercayaan manusia akan hukum-hukum alam secara abstrak yang diilustrasikan dengan bentuk pemikiran yang bersifat filosofis, abstrak dan universal.
Jadi, kepercayaannya bukan lagi kepada kekuatan dewa-dewa yang spesifik akan tetapi pemikiran manusia terbelenggu oleh konsep filosofis dan metafisis yang ditanamkan oleh filosof maupun orang agamawan secara abstrak dan universal (agen-agen ghaib digantikan dengan kekuatan abstrak), seperti “Akal Sehat”nya Abad Pencerahan.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat tidak lagi bersifat militer akan tetapi juga belum bersifat industrial. Pada konteks masa ini tujuan utama masyarakat bukan berupa penaklukan saja tetapi diperkuat dengan adanya peningkatan produksi.
Alhasil, sistem perbudakan individual memang bergeser terhapus akan tetapi perbudakan yang dimiliki oleh produsen masih memperoleh berbagai haknya dalam hubungannya dengan militer.
Oleh karenanya ada dua tujuan aktifitasnya yaitu penaklukan dan produksi. Produsen dilindungi sebagai suatu sumber kemiliteran dan perang dianggap secara sistematik penting untuk mengembangkan tingkat produksinya.
Artinya tahapan ini merupakan jembatan atau tahap transisi dari masyarakat militer (primitif) menuju industri.
Sebagai ilustrasi salah satunya adalah banyak orang yang sudah berpendidikan tinggi namun dia masih percaya pada peramal atau dukun (dalam kosmologi jawa)
Tahap Positivisme
Tahapan positivisme mempercayai bahwa semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris.
Kata positivisme pertama kali dikenalkan oleh Saint Simon teman sekaligus guru Comte. Tahapan ini mempercayai bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta. Menolak segala penggunaan metode diluar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional. Alhasil tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak karena Tuhan atau alam. Orang-orang di zaman positivisme lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial.
Pada tahap positif yang mana akal manusia telah mencapai puncak ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, orang tidak lagi mencari pengetahuan absolut tentang sebab-sebab akhir tapi menanyakan kaitan statis dan dinamis gejala-gejala.
Sebagai ilustrasi adalah jika sakit dan berobat kerumah sakit maka yang menyembuhkan adalah obat, makan dan istirahat teratur bukan karena dewa atau dukun.
Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam pemikiran evolusionisme sosial Auguste Comte dan dianggap sebagai masa dewasa intelegensia manusia.
Pada tahap ini pikiran manusia tidak lagi mencari ide-ide absolut yang asli, yang menakdirkan alam semesta dan menjadi penyebab fenomena.
akan tetapi pikiran manusia mulai mencari hukum-hukum yang menentukan fenomena, atau menemukan rangkaian hubungan yang tidak berubah dan memiliki kesamaan ( tahap berfikir secara ilmiah). \
Tahap ini manusia mulai mempercayai data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir namun bersifat sementara dan tidak mutlak. Namun, melalui analisis sosial tersebut memungkinkan manusia dapat merumuskan hukum-hukum yang seragam, sehingga manusia mulai maju dan berkembang di depan ilmu pengetahuan.
Dalam kehidupan sosial, manusia dicetak untuk mampu menerapkan dan memanfaatkan akal budinya untuk menguasai lingkungan alam bagi kemajuan masa depan yang lebih baik.
Masyarakat pada tahapan ini adalah masyarakat industri, di mana relasirelasi mereka merupakan bentukan-bentukan dasar industrial.
Dan tahapan ini menunjukkan bahwa industri mendominasi hubungan sosial masyarakat secara kolektif yang diorganisasikan dan produksi adalah menjadi tujuan utama masyarakat.
Demikian hukum teori tiga tahap Auguste Comte
Penulis : Mahfut Khanafi (Mudabicara)