Ironi Hari Pahlawan: Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto dan Luka yang Belum Sembuh

Sosial52 Dilihat

Mudabicara.com_Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto pada Hari Pahlawan, 10 November 2025, adalah ironi sejarah yang menyayat nurani bangsa. Di hari ketika seharusnya kita mengenang mereka yang gugur membela kemerdekaan dan kemanusiaan, negara justru menobatkan sosok yang kekuasaannya menyisakan luka mendalam bagi rakyatnya sendiri.

Sebagai perempuan dan Ketua Koordinator Nasional KOHATI, saya memandang keputusan ini bukan hanya persoalan simbolik, melainkan bentuk pengaburan moral dan pengkhianatan terhadap ingatan kolektif bangsa. Gelar “pahlawan” seharusnya menjadi kehormatan tertinggi bagi mereka yang memperjuangkan kemanusiaan, bukan bagi mereka yang meninggalkan jejak pelanggaran terhadapnya.

Baca Juga: Partisipasi Badan Publik DKI Naik 514 Persen, KI Dorong E-Monev Jadi Lebih Substansial

Soeharto memang membangun infrastruktur dan menjaga stabilitas ekonomi. Tetapi sejarah tidak boleh dibaca dari beton dan statistik semata. Di balik narasi kemajuan itu, ada darah dan air mata yang tak pernah dihapus: pembantaian massal 1965–1966, pembungkaman gerakan mahasiswa Malari 1974, penembakan di Tanjung Priok 1984, tragedi Talangsari 1989, hingga kekerasan brutal di Timor Timur yang menewaskan ribuan jiwa, termasuk tragedi Santa Cruz 1991. Semua terjadi dalam diam rezim yang menuntut rakyat tunduk tanpa suara.

Dan puncak luka itu terjadi pada 1998 saat mahasiswa turun ke jalan menuntut reformasi dan ditanggapi dengan peluru. Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, serta kekerasan seksual massal terhadap perempuan menjadi noda terakhir kekuasaan yang kehilangan moral. Sebagian korban hingga kini belum ditemukan, sebagian lainnya masih menunggu kebenaran yang tak kunjung datang.

Maka, ketika negara hari ini memberikan gelar “Pahlawan Nasional” kepada Soeharto, pertanyaannya bukan lagi apakah ia berjasa melainkan apakah bangsa ini siap melupakan. Karena penghargaan ini bukan sekadar upacara, tetapi pesan politik yang berbahaya: bahwa kekuasaan bisa menutupi luka dengan kehormatan, bahwa pelanggaran bisa ditebus dengan infrastruktur, dan bahwa korban bisa dihapus dari buku sejarah hanya karena waktu telah berlalu.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, seorang pahlawan nasional harus memiliki integritas moral dan keteladanan. Tapi bagaimana mungkin integritas bisa dilekatkan pada sosok yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan terencana?

Sebagai perempuan, saya melihat sejarah melalui wajah-wajah para ibu dan istri yang kehilangan anak, suami, dan saudara tanpa kabar. Luka mereka masih hidup dalam kesunyian, dalam ketidakadilan, dalam negara yang lebih sibuk menata narasi ketimbang menegakkan kebenaran. Ketika negara memilih memberi penghormatan kepada pelaku, bukan kepada korban, maka sesungguhnya bangsa ini sedang kehilangan arah moralnya.

Baca Juga: Bonatua Silalahi Gugat Pemprov DKI ke Komisi Informasi, Minta Data Ijazah Jokowi

Menolak gelar pahlawan untuk Soeharto bukanlah kebencian, melainkan bentuk kasih sayang terhadap bangsa ini—agar tidak lupa pada penderitaan rakyatnya sendiri. Karena bangsa yang memilih melupakan masa lalunya akan terus tersesat dalam lingkaran penindasan baru.

Hari ini, di tengah gegap gempita peringatan Hari Pahlawan, kita perlu bertanya ulang: siapa sebenarnya yang pantas disebut pahlawan? Mereka yang membangun dengan kekuasaan, atau mereka yang berani menentang ketidakadilan dengan segala risikonya?

Keadilan mungkin belum datang. Tapi sejarah akan selalu berpihak pada mereka yang tidak takut mengatakan yang benar. Dan hari ini, keberpihakan itu berarti menolak melupakan.

Penulis: Widiah Astuti (Ketua Kornas Kohati PB HMI MPO)

Tulisan Terkait: