Mudabicara.com_Sejumlah tokoh mendeklarasikan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat pada 18 Agustus 2020. Adapun tokoh yang hadir dalam acara tersebut di antaranya adalah Din Syamsuddin, Gatot Nurmantyo, Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Ichsanuddin Noorsy, Ahmad Yani, Abdullah Hehamahua dan sejumlah tokoh lainnya. Mereka mengklaim bahwa KAMI adalah murni gerakan moral.
KAMI Barisan ‘Sakit Hati’?
Tentu saja tidak semua pihak senang dan menyambut baik keberadaan KAMI ini. Pasti saja ada yang nyinyir terutama bagi mereka yang berada di lingkaran kekuasaan. Misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa yang masuk dalam koalisi Pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin. KAMI dianggap sebagai cerminan gerakan kelompok sakit hati yang kalah saat Pilpres 2019 silam.
Hasto Kristiyanto Sekjen PDI Perjuangan bahkan meragukan niat KAMI yang dilkalim ingin menyelamatkan Indonesia. Menurutnya, tokoh-tokoh yang tergabung di KAMI itu dianggap sebagai representasi orang yang kecewa karena kalah di Pilpres lalu.
“Kami meragukan maksud deklarator KAMI, kecuali hanya sebagai representasi mewakili barisan sakit hati,” ungkap Hato dilansir Tempo, Rabu, 19 Agustus 2020.
Hal senada juga dikatakan Politikus PKB Abdul Kadir Karding. Karding melihat bahwa orang-orang yang ada di KAMI itu adalah bukan pendukung Jokowi-KH Ma’ruf Amin saat Pilpres.
“Jadi ini artinya lanjutan saja. Lanjutan karena jagonya kalah,” terang Karding di kutip dari Jawapos.com.
Karding berpendapat bahwa seharusnya kelompok ini mendukung dan memberikan solusi kepada Pemerintah mengatasi pandemi Covid-19.
Din Syamsuddin membantah bahwa KAMI merupakan kelompok sakit hari. Din menyebutkan bahwa KAMI merupakan kelompok cendekiawan yang resah dengan pengelolaan negara saat ini yang tidak beres dan bobrok.
“kaum cendekiawan sejati kalau melihat kebobrokan pasti bersuara,” kata Din kepada Merdeka.com, Rabu (19/8/2020).
Din meminta kepada pihak yang mengkritik agar tidak keluar dari inti isu yang menjadi tuntutan KAMI. Ia menilai bahwa yang mengkritik keberadaan KAMI tidak mampu atau tidak cukup kompeten menjawab substansi isu tuntutan KAMI.
“Apakah yang disuarakan KAMI itu benar atau salah. Jangan karena tidak mampu menanggapi kemudian isu dialihkan,” jelasnya.
“Gerakan moral itu berdimensi dan berimplikasi politik karena juga mempersoalkan moralitas politik. Pendekatan politik dari sebuah Gerakan Moral adalah politik moral,” sambungnya.
BACA JUGA: PEMUDA HARUS TAHU, BERIKUT AMALAN-AMALAN BULAN MUHARRAM
Apa Tuntutan KAMI?
Saat deklarasi di Tugu Proklamasi kemarin, ada 8 poin yang menjadi tuntutan KAMI kepada Pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin.
Berikut ini poin-poin tuntutan KAMI;
Pertama, mendesak penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk menegakkan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan (tidak menyimpang dari) jiwa, semangat dan nilai Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Kedua, Menuntut pemerintah agar bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi COVID-19 untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dengan tidak membiarkan rakyat menyelamatkan diri sendiri, sehingga menimbulkan banyak korban dengan mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi.
Ketiga, Menuntut pemerintah bertanggung jawab mengatasi resesi ekonomi untuk menyelamatkan rakyat miskin, petani dan nelayan, guru/dosen, tenaga kerja bangsa sendiri, pelaku UMKM dan koperasi, serta pedagang informal daripada membela kepentingan pengusaha besar dan asing.
Keempat, Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah dan DPR untuk memperbaiki praktik pembentukan hukum yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Kepada pemerintah dituntut untuk menghentikan penegakan hukum yang karut marut dan diskriminatif, memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik, menangkap dan menghukum berat para penjarah kekayaan negara.
Kelima, Menuntut penyelenggaraan negara untuk menghentikan sistem dan praktik korupsi, kolusi dam nepotisme (KKN), serta sistem dan praktik oligarki, kleptokrasi, politik dinasti dan penyelewengan/ penyalahgunaan kekuasaan.
Keenam, Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD dan MPR untuk tidak memberi peluang bangkitnya komunisme, ideologi anti Pancasila lainnya, dan separatisme serta menghentikan stigmatisasi kelompok keagamaan dengan isu intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme serta upaya memecah belah masyarakat. Begitu pula mendesak pemerintah agar menegakkan kebijakan ekonomi dan politik luar negeri bebas aktif, dengan tidak condong bertekuk lutut kepada negara tertentu.
Ketujuh, Menuntut pemerintah untuk mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas terhadap pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi, mengubah Dasar Negara Pancasila, sebagai upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, aga tidak terulang upaya sejenis di masa yang akan datang.
Kedelapan, Menuntut presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.