Karantina, Penjara dan Kuil

Esai466 Dilihat

Mudabicara.com_“Kita warna bulan aja udah gak tahu, apa udah jadi hijau? Atau apa sekarang bulannya udah jadi dua?” seloroh Luthfi, narapidana yang saya wawancara ketika meliput kegiatan literasi di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Kelas IIA Narkotika daerah Kaliurang.

Kami mengobrol banyak hal terkait kehidupan napi di lapas. Di penjara, setiap narapidana “dipaksa” merasa kehilangan kehendak diri, agar mereka merenungi kejahatan yang telah dilakukan di masa lalu. Mereka datang dari berbagai latar belakang dan dengan alasan yang beragam.

BACA JUGA : RESENSI BUKU MELAWAN KORUPSI KARYA VISHNU JUWONO

Di sana, saya bertemu aktivis LGN yang ditangkap karena memakai ganja hingga remaja yang dibui karena mengonsumsi miras yang dioplos obat-obatan.

Cerita paling pahit saya dapatkan dari seorang pengedar yang diganjar hukuman penjara selama 20 tahun. Ia baru menjalani hukuman itu selama selama 2 tahun. Ketika saya tanya kenapa ia masuk penjara dan berapa tahun hukuman yang ia dapatkan, ia menangis. Saya berhenti bertanya dan membiarkan teman-temannya bercerita.

Ia mungkin menangis membayangkan separoh hidupnya bergerak seperti jam mekanik. Di penjara, waktu efektif kerja dimulai dari pukul delapan pagi hingga dua belas siang. Pada waktu itu, beberapa narapidana bisa menghabiskan waktu di perpustakaan. Luthfi yang saya wawancarai saat itu adalah pengurus perpustakaan.

Ada beberapa buku yang cukup bagus di perpustakaan yang dia kelola. Sebut saja novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer, 1Q84 gubahan Haruki Murakami, dan kartun-kartun peradaban karya Larry Gonnick. Namun, buku di sana tidak banyak. Luthfi menghabiskan buku yang sama berkali-kali karena tidak ada stok buku lagi.

Beberapa napi yang lain membantu kegiatan di dapur, poliklinik, dan membikin kerajinan tangan di Bengkel Kerja. Tapi ruang kegiatan itu tak bisa menampung semua narapidana yang kebanyakan. Maka sisanya hanya menghabiskan waktu di kantin atau berjalan keliling kompleks lapas tanpa tujuan.

Mereka kembali ke sel untuk istirahat setelah jam 12. Mereka lantas disuruh keluar sel lagi untuk salat asar, dan mengikuti pengajian hingga setengah empat. Satu jam berikutnya mereka kembali digiring ke sel dan mendekam di balik jeruji hingga pagi. Begitu terus. Mereka tak pernah lagi melihat langit malam. Lantas bagaimana dengan karantina?.

Karantina

Saya kini paham mengapa si Pengedar menangis. Atau setidaknya saya merasa paham mengapa ia menangis. Karantina selama pandemi mengajarkan saya bahwa yang paling bikin sengsara dari isolasi adalah hilangnya rasa kontrol diri.

Rasa sepi akibat pandemi tidak memandang kamu pandai bergaul atau penyendiri yang mampu berbicara dengan tembok sekalipun. Saya bahkan tak merasa aman ketika berjalan keluar kosan. Satu-satunya pilihan hanyalah berdiam di kamar. Ini takdir yang tak bisa dihindari.

BACA JUGA : MENGENAL TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER

Takdir yang menimpa di saat pandemi, bagi beberapa orang bisa mewujud menjadi hal-hal yang amat kejam. Sudah jamak kita ketahui, gelombang PHK massal kini menerpa Indonesia. 160.067 pekerja di-PHK dari 24.225 perusahaan, berdasarkan data yang dirilis Kementrian Ketenagakerjaan 11 April lalu.

Nasib sektor informal tak kalah na’as. Tanpa pandemi, sektor informal sudah dibayangi ketidakpastian hukum dan jaminan sosial. Kini pendapatan mereka menurun drastis. Banyak pekerja informal yang mengaku pendapatannya menurun hingga 70–80 persen. Hal ini juga dirasakan teman saya yang bekerja sebagai ojek daring. Solidaritas sesama ojek daring dan wargalah yang membuatnya bisa sedikit bersyukur.

Namun, solidaritas itu juga bisa berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan. Suatu malam, ia merasa getir ketika melihat ojek daring berseragam kuning tidur di atas motor di pinggir jalan raya. Nampaknya, ojek itu masih menunggu penumpang karena aplikasi ojeknya tak bisa digunakan untuk memesan makanan. Layanan antar makanan menjadi satu-satunya lahan basah saat setiap orang terpaksa karantina di rumah.

Karantina sebenarnya bukan hal besar bagi mahasiswa seperti saya yang masih dapat uang bulanan dari keluarga. Mungkin saya hanya perlu menimbang-nimbang gagasan Vipassana yang dianut sejarawan kondang Yuval Noah Harari. Vipassana mengajarkan Harari membedakan realitas dan fiksi. “99 persen yang Anda anggap nyata hanyalah fiksi yang ada di kepala.” Ternasuk penderitaan dan rasa sepi.

Namun sementara saya bisa mencoba menghayati gagasan itu, sebagian besar orang tak bisa berpikir jernih karena kelaparan. Mereka tak bisa membangun kuil di dalam dadanya, sebab mereka bahkan tak punya batu bata dan seng untuk mendirikan tembok dan genteng.

Sebagai pembanding, saya ceritakan hal lain. Tentang seorang pelatih pusat kebugaran di Jepang bernama Aomame. Ia terkurung di sebuah apartemen setelah membunuh pemimpin sekte keagamaan. Tepatnya ia disembunyikan oleh klien yang membayarnya untuk membunuh.

Setiap bulan, klien mengirim petugas untuk memasok segala barang yang dibutuhkan: makanan, perkakas olahraga, buku, televisi dan segala fasilitas yang bisa membuatnya betah sampai keadaan membaik.

Melewatkan hari-hari monoton dan sepi bukan tantangan besar bagi Aomame. Setiap pagi, pukul 06.30, ia bangun untuk sarapan dan mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, menyetrika, mencuci pakaian dan lain sebagainya. Sebelum tengah hari, ia berlatih menggunakan alat olahraga yang tersedia selama satu setengah jam. Setelah makan siang, ia akan membaca buku In Search of Lost Time karangan Marcel Proust yang konon hanya bisa dibaca habis oleh orang yang dipenjara.

Ia punya banyak pilihan kegiatan di apartemen. Hanya saja setiap malam ia melakukan hal yang sama. Sebelum tidur, ia akan duduk di balkon menunggu kedatangan kekasihnya, Tengo, sambil menatap dua bulan yang menggantung di langit.

BACA JUGA : MOMENTUM PROPOSAL EKOSIDA DI INDONESIA 

Aomame hanyalah tokoh fiksi dalam novel 1Q84. Dua bulan yang menggantung di langit juga khayalan sang pengarang belaka, Haruki Murakami. Fasilitas, ketenangan, dan kenyamanan yang dinikmati Aomame adalah sesuatu yang tak sempat dimimpikan oleh orang-orang yang tenaganya terkuras habis untuk bertahan hidup.

 

Oleh : Sidratul Muntaha (Pengiat LPM ARENA UIN Yogyakarta)

Tulisan Terkait: