Mudabicara.com_Keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang mendukung pembatasan impor BBM oleh swasta dan mendorong impor “satu pintu” melalui Pertamina, adalah kebijakan yang menimbulkan polemik serius.
Argumen utama pemerintah ialah menjaga ketahanan energi nasional, mengontrol laju impor, serta menjamin ketersediaan stok BBM di seluruh wilayah. Namun, kebijakan ini justru membuka ruang kecurigaan publik akan kian menguatnya dominasi Pertamina dalam pasar BBM non-subsidi.
Baca Juga: PPP Resmi Kantongi SK Kepengurusan 2025–2030, Mardiono Serukan Persatuan Kader
Bila ditinjau dari sisi politik ekonomi, langkah Bahlil terkesan pragmatis: ia memilih memusatkan kendali pada BUMN dengan dalih efisiensi dan kepastian distribusi.Akan tetapi, pragmatisme ini mengabaikan problem fundamental: ketidakmampuan BUMN dalam menjaga kepercayaan publik.
Pertamina sebagai pemain utama di sektor energi masih kerap menghadirkan persoalan klasik mulai dari kelangkaan di SPBU, kebocoran distribusi, keterlambatan penyaluran, hingga transparansi harga yang kerap dipertanyakan.
Ketika publik melihat SPBU swasta justru lebih konsisten menyediakan BBM dengan kualitas dan pelayanan yang lebih baik, kepercayaan itu perlahan bergeser.
Maka, kebijakan yang membatasi peran swasta dan mengarahkan mereka kembali membeli dari Pertamina seolah memaksa masyarakat untuk tunduk pada sistem yang belum sepenuhnya dipercaya. Inilah yang memperkuat persepsi monopoli.
BUMN, dalam hal ini Pertamina, seharusnya menjadi instrumen negara untuk menjamin akses energi yang adil, murah, dan berkualitas. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan bahwa BUMN masih bergulat dengan inefisiensi, politik birokratis, dan kepentingan elite.
Kebijakan Bahlil yang berpihak penuh pada Pertamina, tanpa evaluasi kritis terhadap kinerja dan kredibilitas BUMN itu sendiri, justru makin menegaskan jarak antara pemerintah dan rakyat.
Jika pemerintah serius membangun kedaulatan energi, maka transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat mesti menjadi pilar utama. Kepercayaan publik tidak lahir dari kebijakan koersif, tetapi dari pelayanan nyata yang dirasakan masyarakat.
Baca Juga: ICW: 2024 Jadi Titik Terendah Penindakan Korupsi dalam Lima Tahun Terakhir
Alih-alih memperkuat dominasi, pemerintah seharusnya mendorong BUMN berkompetisi sehat dengan swasta, memperbaiki efisiensi distribusi, dan membuka ruang inovasi.
Pada akhirnya, monopoli yang terselubung hanya akan melanggengkan masalah lama. Publik bukan hanya butuh BBM yang tersedia, tapi juga sistem energi yang jujur, adil, dan dapat dipercaya. Dan sampai saat ini, Pertamina sebagai BUMN masih punya pekerjaan rumah besar untuk membuktikan diri layak menjadi tumpuan kepercayaan itu.
Penulis: Widyah Astuti (Ketua Kordinator Nasional Kohati PB HMI MPO 2025-2027)