Mudabicara.com_Perilaku memilih muslim secara sederhana dimaknai bagaimana pemilih menentapkan pilihannya berdasar pada preferensi politik yang dipercayai. Preferensi tersebut bisa berupa ideologi, partai politik, agama, maupun etnis.
Dari empat faktor tersebut, agama dan etnis memainkan peranan penting dalam membentuk perilaku memilih muslim di Indonesia. Rendahnya komitmen terhadap ideologi dan keterikatan terhadap partai menjadi salah satu penyebabnya (Mietzner & Muhtadi, 2018). Implikasinya adalah perilaku memilih kemudian tidak didasari oleh faktor rasional misalnya ketertarikan terhadap program, namun lebih berbasis faktor emosional.
Baca Juga : Bicara Rekam Jejak Digital dan Bisnisnya
Faktor Perilaku Memilih
Menguatnya faktor emosional dalam perilaku memilih ini didasarkan pada dua hal. Pertama, menguatnya kekuatan figur daripada institusi partai. Hal ini berakibat pada ikatan antara pemilih dan kontestan tidak lagi berbasis kapabilitas, namun lebih pada relasi personal. Kondisi inilah yang mudah untuk dikapitalisasi sebagai basis suara per kandidat.
Kedua, ketiadaan polarisasi politik kanan maupun kiri yang terinsititusikan dalam bentuk partai politik menyebabkan pemilih di Indonesia tidak punya komitmen jangka panjang. Kondisi inilah yang membuat pemilih rentan untuk disusupi narasi isu berbasis identitas.
Kedua faktor inilah yang menjadikan peta pemilih di Indonesia ini bukan pemilih ideologis, namun pemilih religius.
Konteks pemilih religius muncul karena pemilih menggunakan agama dalam membentuk persepsi dalam mengevaluasi isu. Adapun isu yang diangkat dan berpotensi menjadi bias adalah isu soal ketimpangan ekonomi maupun capaian demokrasi.
Keduanya ini lantas menjadi perdebatan yang disempitkan konteksnya antara sekuler dan muslim dan muslim versus non muslim. Kedua tipologi mengisyaratkan kalau Islam kini tidak lagi sekedar menjadi agama, namun juga identitas politik.
Pemaknaan ketaatan terhadap agama kemudian menjadi tolak ukur penting dalam perilaku memilih. Konteks tersebut yang memicu perdebatan di kalangan ahli politik Indonesia tentang sejauh mana pengaruh agama dalam mempengaruhi perilaku memilih dalam pemilu mendatang. Pertanyaan ini tentunya mewakili alasan mengapa ekspresi beragama ini mendapat atensi begitu luas saat ini.
Pengaruh Agama Dalam Perilaku Memilih
Upaya untuk mengukur pengaruh agama dalam perilaku memilih muslim ini tergantung pada variabel yang digunakan. Kelompok studi politik Indonesia asal Amerika menilai kalau agama ini tidak terlalu penting karena pemilih sekarang lebih rasional karena capaian demokrasi dan ekonomi (Pepinsky et al., 2018) (Ambardi et al., 2018). Adapun variabel dependen yang diuji adalah kesalehan, kedatangan untuk beribadah ke masjid dan ketaatan terhadap hukum syariah islam.
Sedangkan yang menjadi variabel independennya adalah politik aliran dan kesalehan. Hasilnya adalah santri tetaplah menjadi kelompok pemilih yang religius, namun hal itu juga tak berbeda jauh dengan kelompok abangan (Pepinsky, 2018: 20-21).
Secara lebih lanjut, kelompok studi Amerika ini juga beragumen kalau tidak ada itu makna pemilih muslim, namun pemilih yang rasional (Ambardi et al., 2018). Mereka masih memilih partai atau kandidat dari partai nasionalis karena dinilai lebih kompeten dan kapabel dalam mengelola negara ketimbang partai dan kandidat dari partai Islam.
Namun demikian, mereka juga bisa berpindah ke lain hati kalau peforma para politisi dan partai nasionalis ini tak sesuai dengan harapan. Mereka akan memilih kalangan kandidat dari partai Islam.
Temuan dari kelompk studi politik Indonesia dari Amerika ini jelas memicu perdebatan dari kalangan ahli politik Indonesia dari Australia.
Para Indonesianis dari Australia ini menilai kalau pemilih muslim ini benar dan nyata. Pemilih muslim (non NU) ini lahir karena sikap tak akomodatif selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Mietzner, 2019). Sikap tersebut kemudian ditambah dengan adanya respons liberal pemerintah misalnya pembubaran HTI dan kasus HRS.
Kedua inilah yang memicu kelompok islam ini menyuarakan kepentingannya mengatasnamakan umat Islam. Pada akhirnya mereka muncul menggunakan simbol-simbol Islam sebagai alat perjuangan.
Adapun variabel independent yang digunakan adalah persepsi soal demokrasi dan ketimpangan ekonomi. Sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah indeks politik Islam (Fossati et al., 2020, p. 7).
Indeks ini meliputi Islam sebagai agama prioritas dan resmi sebagai agama tunggal, pemimpin muslim, penistaan harus dihukum, dan ketaatan terhadap syariah. Hasil yang bisa disimak adalah berakarnya konflik identitas antara muslim dan non muslim, maupun sekuler/nasionalis dengan religius (Fossati et al., 2020, p. 7).
Temuan ini didapat dari survey soal persepsi ketimpangan maupun pemerintahan yang telah berjalan. Pemilih bukan mengevaluasi soal performa namun lebih pada kharisma beragama yang dianggap jauh lebih penting.
Perdebatan kedua kutub ahli Indonesia tentang perilaku memilih muslim tersebut menyimpulkan dua hal yakni.
Pertama, penggunaan simbol identitas terutama agama pada dasarnya digunakan untuk alasan subjektifitas dan pragmatis. Kedua, agama yang menjadi bagian ekspresi perilaku memilih pada dasarnya adalah kapitalisasi isu masyarakat keseharian yang diperlebar jadi soal perang identitas.
Penulis : Wasisto Raharjo Jati (Mahasiswa Pascasarjana Master Ilmu Politik di the Australian National University ANU )
Referensi
Ambardi, K., Liddle, R. W., & Mujani, S. (Eds.). (2018). Rational Voters. In Voting Behavior in Indonesia since Democratization: Critical Democrats (pp. 149–181). Cambridge University Press; Cambridge Core. https://doi.org/10.1017/9781108377836.005
Fossati, D., Aspinall, E., Muhtadi, B., & Warburton, E. (2020). Ideological representation in clientelistic democracies: The Indonesian case. Electoral Studies, 63, 102111. https://doi.org/10.1016/j.electstud.2019.102111
Mietzner, M. (2019). Authoritarian innovations in Indonesia: Electoral narrowing, identity politics and executive illiberalism. Democratization, 1–16. https://doi.org/10.1080/13510347.2019.1704266
Mietzner, M., & Muhtadi, B. (2018). Explaining the 2016 Islamist Mobilisation in Indonesia: Religious Intolerance, Militant Groups and the Politics of Accommodation. 42(3), 479–497. https://doi.org/10.1080/10357823.2018.1473335
Pepinsky, T., Liddle, W., & Mujani, S. (2018). Conceptualizing and Measuring Piety. In Piety and public opinion: Understanding Indonesian Islam. Oxford University Press.