Mudabicara.com_ Namatota merupakan salah satu Desa di Kabupaten Kaimana yang memiliki potensi keindahan alam yang sebanding dengan Raja Ampat. Bukan hanya keindahan alamnya, kekayaan biota laut juga menambah daya tarik tersendiri bahkan di Desa Namatota budaya dan adat istiadatnya masih dijaga dan dilestarikan serta dilakukan ketika ada acara-acara besar. Dikarenakan adanya potensi-potensi yang menarik tersebut, Baru-baru ini Namatota ingin dijadikan Desa Wisata oleh pemerintah daerah dan sudah di masukan ke dalam salah satu nominasi di anugerah pesona Indonesia 2021, akan tetapi hal ini juga menimbulkan pro dan kontra terhadap masyarakat setempat.
Masyarakat yang pro terhadap hal ini bisa dibilang hanya mengikuti arahan dan mereka hanya melihat dari sisi pendapatan profit dan tereksposnya Desa mereka ke dunia luar tanpa melihat faktor-faktor yang akan menjadi permaslahan kedepannya. Sekilas penulis juga sempat berbincang dengan salah satu tokoh masyarakat Desa Namatota yang pro terhadap konsep desa wisata ini, beliau mengatakan bahwa terciptanya Desa Wisata ini masyarakat akan mendapat pemasukan lain selain menjadi nelayan misalnya sewa perahu, kerajinan, penginapan dan lain-lain. Sehingga masyarakat tidak bergantung terus pada hasil laut dan tentunya ada peningkatan pendapatan dari sebelumnya.
Masyarakat yang pro juga beranggapan bahwa Desa Wisata ini dapat menjadi pengenalan budaya dan adat istiadat yang nantinya akan di pertunjukan sebagai tontonan para turis, misalnya tipa sawat, sarawawi dan lain-lain. Tentunya ini adalah instrumen-instrumen pendukung untuk terciptanya desa wisata ini agar terlihat lebih menarik di mata para turis.
BACA JUGA : PROBLEMATIKA PENINGKATAN IPM KABUPATEN LUMAJANG
Desa Wisata memang bisa membantu meningkatkan kesejateraan masyarakat dan menambah pendapatan Desa, akan tetapi ada konsekuensi-konsekuensi yang nantinya berakibat fatal pada masyarakat Namatota maupun wilayah sekitaran Namatota, pertama apabila Desa Wisata ini diterapkan akan berdampak pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang akan luntur. Misalnya masyarakat Desa Namatota sampai hari ini masih percaya dengan benda maupun tempat yang bersifat mistis atau spiritual dan masyarakat membuat sinara atau sesajen untuk jamuan kepada penjaga tempat itu. Jika Desa Wisata ini diterapkan maka hal-hal tersebut akan perlahan luntur dengan sendirinya karena ketika turis masuk mereka akan mendoktrin bahwa hal yang mistis seperti sinara itu sesat karena tidak sesuai dengan ajaran agama.
Kedua, hilangnya generasi pelajar. Artinya bisa kita lihat pada hari ini anak-anak dan remaja yang belajar tentang budaya dan adat istiadat Desa Namatota sudah berkurang, memang belum semua tetapi jika Namatota dijadikan Desa Wisata aspek teknologi, informasi dan komunikasi harus memadai agar dapat menunjang jalannya Desa Wisata ini. Jika dilihat dari sisi negatif hal ini bisa menyebabkan anak-anak menjadi kecanduan dengan gadget dan menurunnya rasa keingintahuan mereka tentang budaya dan adat istiadat Namatota.
Yang terakhir adalah ekspansi resort ke pulau-pulau yang tidak berpenghuni. Memang tidak bisa dipungkiri lagi ketika Namatota menjadi Desa Wisata pasti ada penambahan-penambahan resort atau Homestay untuk mencukupi kuota turis,dan ini sudah dibuat di dua tempat sebelum adanya isu Desa Wisata ini. Pembangunan seperti ini akan mengancam kehidupan sosial masyrakat, misalnya masyarakat tidak bisa lagi membangun kamp atau tempat tinggal sementara di pulau-pulau yang kosong untuk mencari ikan atau kegiatan lainnya karena pulau tersebut sudah dibangun Resort atau Homestay. Hal ini yang membuat ruang gerak masyarakat itu terganggu dan tidak leluasa untuk melakukan kegiatan.
Di atas merupakan konsekuensi-konsekuensi yang bisa berakibat fatal jika belum ada persiapan yang matang dari masyarakat dikampung serta perangkat-perangkat desanya. Masalah diatas akan terlihat nanti jika desa wisata sudah diterapkan,masalah ini pun akan membuat nilai-nilai masyarakat yang sudah ada sejak dulu akan luntur perlahan dan kegiatan-kegiatan masyarakat mulai dari usia dewasa sampai anak-anak akan berubah total, dan bisa dibilang konsep Desa Wisata ini tidak tepat untuk diterapkan di Namatota.
Kalau kembali ke pertanyaan diatas “pantaskah Namatota dijadikan desa wisata?” masyarakat yang kontra beranggapan bahwa Namatota tidak pantas dijadikan desa wisata, karena Namatota merupakan kerajaan dimasa lampau dan masih eksis sampai sekarang. Jika pertanyaan sebelumnya dapat di jawab kembali timbul lagi pertanyaan baru“apakah pantas hal-hal yang berada di internal kerajaan seperti rumah raja dan beberapa instrument kerajaan yang seharusnya bersifat tertutup nantinya dimasuki oleh orang asing? Sehingga hal yang bersifat sakral dalam kerajaan hanya dijadikan sebagai pertunjukan yang ditonton oleh para turis.
Pertanyaan kedua akan sulit dijawab karena Sebuah kerajaan sudah seharusnya memiliki derajat yang tidak boleh dijatuhkan oleh pemerintah manapun dan kerajaan sehasrusnya tidak membebaskan turis atau orang asing datang keluar masuk istananya. Memang kebanyakan orang berkata kerajaan namatota tidak memiliki istana akan tetapi jika kita pahami lebih jelas pulau dan desa itu sendiri adalah istana, istana yang tidak terbuat dari batu atau pun semen yang berdiri ke atas dengan kokoh akan tetapi istana yang berasal dari pasir yang ditimbun sampai membentuk daratan dan sampai hari ini masih di tempati oleh masyarakat. Pengetahuan sederhana semacam inilah yang telah hilang dari masyarakat dan petinggi-petingginya.
Konsep Desa Wisata memang bagus untuk meningkatkan aspek ekonomi dan pendapatan Desa akan tetapi tidak semua desa bisa dijadikan seperti itu. lantas apa alasannya Desa Wisata merupakan hal final yang harus di kasih kepada masyarakat Namatota?, apakah pemerintahtidak memiliki rencana atau ide kreatif lain selain menerapkan Desa Wisata kepada desa yang dulunya adalah sebuah kerajaan dan sampai sekarang masih eksis.
Dari permasalahn-permasalahan diatas bisa penulis simpulkan bahwa Namatota sebagai kerajaan yang masih eksis sampai sekarang tidak memerlukan konsep Desa Wisata ini. tidak semua hal yang yang mengatas namakan modernitas dapat diterapkan di segala aspek, karena keuntungan yang didapatkan oleh masyarakat boleh dikatakan cukup membantu dari segi finansial akan tetapi nilai-nilai tradisional itu akan luntur karena masyarakat akan sibuk berusaha untuk bagaimana pertunjukan budaya tersebut dapat dilaksanakan dengan baik sedangkan mereka akan melupakan nilai yang ada pada budaya tersebut. Serta pembangunan yang mendukung jalannya Desa Wisata akan berdampak pada kerusakan alam itu sendiri dan mengganguaktifitas sosial masyarakat. dan Jika konsep Desa Wisata ini berfokus pada menjaga hutan, laut, dan adat istiadat, mengapa Desa Namatota tidak dijadikan sebagai wilayah konservasi yang dilindungi serta dilestarikan?. Jadi sekali lagi “apakah pantas Namatota dijadikan Desa Wisata?”.
Penulis: Boban abdurazzaq sanggei