Mengenal Kebijakan Politik Presiden Habibie

Muda Talks1812 Dilihat

Mudabicara.com_ Siapa yang tidak kenal dengan Bacharuddin Jusuf Habibie. Selain menjadi presiden ke-3 Republik Indonesia (RI), Habibie juga terkenal sebagai ahli bidang teknologi kedirgantaan dan kemaritiman.

Putra kelahiran Pare-Pare Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 ini mengawali karier politiknya pada tahun 1983. Kala itu, Habibie menjabat sebagai Menteri Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan V. Setelah menjabat Menteri selama tiga periode, pada tahun 1997 Habibie mengantikan Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden.

BACA JUGA : PENGERTIAN PARTISIPASI POLITIK DAN MACAMNYA 

Prahara politik 1998 mengantarkannya pada posisi jabatan Presiden Republik Indonesia. Meski sebagai presiden tersingkat dalam sejarah Indonesia. Namun kebijakan politik Presiden Habibie mampu merubah wajah sistem perpolitikan Indonesia.

Lalu apa saja kebijakan politik Habibie selama menjabat sebagai presiden Indonesia. Simak ulasan mudabicara.com berikut ini:

Kebijakan Politik B.J. Habibie

Kebebasan Pers

Kebijakan Habibie yang mempengaruhi sistem politik Indonesia salah satunya uakni adanya pintu kebebasan untuk pers dan jurnalisme. Presiden ke-3 ini membawa pers kedalam fungsi yang sebenarnya. Lembaga Pers mejadi salah satu Intrument yang menjadi pertimbangan saat akan mengeluarkan kebijakan publik.

Hampir selama 3 dekade pers tiarap di bawah ketiak Orde Baru. Pers kala itu hanya sebagai kepanjangan tangan opini pemerintah. Tak heran media yang kritis akan segera dibredel dari peredaran publik.

BACA JUGA : SISTEM POLITIK, PENGERTIAN DAN MACAM-MACAMNYA 

Mewarisi situasi tersebut Habibi kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kebijakan itu menampilkan wajah baru jurnalisme Indonesia sebagai pilar terwujudnya demokrasi.

Pembaharuan Sistem Pemilu Yang Bebas, Terbuka dan Transparan

Amanat gerakan reformasi 1998 salah satunya adalah amandemen konstitusi dengan adanya pembaharuan sistem pemilu Indonesia.

Pada awalnya penunjukan Habibie sebagai presiden ke-3 memunculkan polemik karena Habibie masih dianggap sebagai orangnya Soeharto. Oleh sebab itu di awal kepemimpinannya, Habibie dituntut dalam waktu yang singkat dapat melaksanakan pemilu.

BACA JUGA : 10 MANFAAT BELAJAR POLITIK UNTUK ANAK MUDA 

Habibie mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1999 tentang pemilu. UU ini melahirkan pelaksanaan pemilu pertama yang demokratis dan diikuti oleh 48 partai politik pastinya setelah pemilu 19955.

Meski pada akhirnya sebanyak 27 anggota KPU yang berasal dari unsur partai politik tidak mau menandatangani hasil pemilu karena merasa pemilunya tidak berdasarkan prinsip jujur dan adil.

Walhasil, Presiden B. J Habibie mengesahkan hasil pemilu dengan beberapa catatan bahwa penyelenggara pemilu sebaiknya tidak dari unsur partai politik karena akan menjadi lembaga yang rawan membawa kepentingan partai politik.

Bank Indonesia

Krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 mengakibatkan krisis moneter. Krisis tersebut memaksa Bank Indonesia (BI) menerbitkan obligasi senilai Rp 650 triliun untuk menalangi perbankan dan meningkatnya suku bunga sebesar 70 persen.

Habibie mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang berisi tentang pemisahan Bank Indonesia dari pemerintah agar dapat bekerja secara obyektif dan tidak ada campur tangan politik.

BACA JUGA : SISTEM POLITIK TOTALITER, PENGERTIAN, MACAM DAN CIRI-CIRINYA

Fenomena di atas adalah hasil restrukturisasi perbankan yang dilakukan oleh Habibie. Habibie meminta Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat memulihkan nilai tukar rupiah terhapap dolar Amerika Serikat.

Tak heran sebagian ekonom Indonesia mengatakan bahwa Habibie adalah Bapak Independensi Bank Indonesia.

Otonomi Daerah

Wajah baru pola kepemimpinan Indonesia dimulai sejak kebijakan otonomi daerah dicetuskan oleh Presiden Habibie. Kebijakan ini tertuang pada UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dengan kebijakan otonomi daerah, wajah kepemimpinan Indonesia berubah dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Alhasil, para pejabat daerah dapat mengeluarkan kebijakan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan wilayahnya masing-masing. Bahkan pemerintah memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional.

BACA JUGA : PEMUDA, KORUPSI DAN PARTISIPASI POLITIK

Selain itu, pemerintah daerah dapat memanfaatkan sumber daya nasional dengan berdasar pada prinsip-prinsip demokrasi, pemeratan, keadilan dan peran serta masyarakat. Meskipun kebijakan ini lahir untuk meredam isu disintegrasi yang muncul dibeberapa daerah.

Hilangnya Diskriminasi Etnis Tionghoa

Narasi anti komunisme yang mewarnai kepemimpinan Presiden Soeharto membawa kesedihan yang mendalam bagi Etnis Tionghoa. Bagaimana tidak, selama orde baru Etnis Tionghoa dipaksa menyertakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) ketika ingin mengurus persoalan apapun yang berhubungan dengan pemerintah.

Selain itu, dalam tatanan masyarakat masih masifnya sebutan pribumi dan non pribumi. Kala itu Etnis Tionghoa dianggap sebagai non pribumi yang berarti bukan bagian dari orang Indonesia.

Dengan lengsernya Soeharto, presiden Habibie menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 dan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1999. Kedua Inpres ini berisi tentang penghapusan istilah pribumi dan non pribumi dan keberadaan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI.

Komnas Perempuan

Tidak jauh berbeda dengan Inpres Habibie tentang penghapusan diskriminasi Etnis Tionghoa. Berdirinya Komnas Perempuan berlatar belakang maraknya isu pemerkosaan yang terjadi kepada perempuan terutama perempuan Etnis Tionghoa.

BACA JUGA : 6 FAKTA SEJARAH UNIK DUNIA, SALAH SATUNYA PRESIDEN RONALD REAGAN DULUNYA PENJAGA PANTAI 

Peristiwa itu memicu presiden Habibie bersama dengan para aktivis anti kekerasan terhadap perempuan bertemu.  Pertemuan itu, kemudian merumuskan sebuah formula lembaga Independen negara bernama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Legitimasi hukum lembaga ini termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.

Melepas Timor Leste dari RI

Bagi kaum nasionalis terutama militer, kebijakan melepas Timor Leste merupakan kebijakan yang menciderai merah putih. Namun Bapak Teknologi Indonesia ini mempunyai pandangan lain salah satunya tentang konflik kemanusiaan dan faktor kesejarahan.

Pada akhirnya, 27 Januari 1999 BJ Habibie bertemu dengan Kofi Annan selaku Sekretaris Jendral PBB untuk menginisiasi adanya referendum di Timor Leste (Kala itu Timor Timur).

Masyarakat Timor Leste mempunyai dua pilihan politik yakni menjadi daerah otonomi khusus untuk negara Indonesia atau menjadi negara yang berdaulat.

BACA JUGA : PULAU KUR, NEGERI KAYA YANG TERTINGAL DI KOTA TUAL

Dari hasil jajak pendapat di mana dari total 438.968 suara, sebanyak 344.580 atau 78,50 persennya memilih untuk menjadi negara berdaulat.

Demikian kebijakan politik presiden Habibie, semoga bermanfaat untuk sobat mudabicara semua.

Tulisan Terkait: