Mudabicara.com_Badan yang lapar membutuhkan makanan. Makanannya adalah panganan yang cukup dan bergizi untuk metabolisme badan dan pergerakan badan. Rasa lapar badan tak terpenuhi tanpa panganan. Begitu banyaknya jenis makanan hari ini membuat badan kelimpungan dan obesitas. Badan dirusak oleh nafsu makan (appetite) yang berlebihan.
Akal yang lapar membutuhkan makanan. Makanannya adalah teks, wacana, pengetahuan, dan filsafat yang membangkitkan minat dan mengasah kemampuan bernalar. Rasa lapar akal tak terpenuhi tanpa asupan pengetahuan yang cukup. Begitu banyaknya wacana dan informasi yang berseliweran, dengan segala kepentingan dan bobot semiotik yang samar di baliknya, berpotensi merusak akal, membuatnya obesitas, dan akhirnya mandul.
Akal butuh filter yang kuat; di sini filsafat dibutuhkan, namun meriahnya filsafat dan wacana-wacana turunannya tanpa kendali yang kuat juga dapat membuat penumpukan “lemak jenuh” pada akal, yang membuatnya mandul dan akhirnya dogmatis.
Kemampuan akal untuk mengendalikan akal, dibutuhkan. Ini mensyaratkan kemampuan mencerna dan memilah yang cermat, tidak terbawa arus tren pemikiran, sekadar gaya-gayaan berbusa retorika dan kecanggihan pengetahuan. Namun mengabdikan akal untuk akal sehat, untuk ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan kaum lemah, untuk Ibadah, pada taraf hubungan dengan tujuan diciptakannya akal dan manusia itu sendiri.
Ruh yang lapar membutuhkan makanan. Makanannya adalah zikir, ma’rifat, dan cinta, yang mengantar ruh untuk dekat, lebih dekat, selalu ingin mendekat kepada Tuhan yang menjadi sumber ditiupkannya ruh.
Cinta akan sesama tak dapat memuaskan rasa lapar ruh. Cinta akan benda-benda juga tak mengenyangkan rasa lapar ruh, kecuali sesaat. Zikir, ma’rifat, dan cinta memberikan pemuasan yang dibutuhkan ruh dalam perjalanan di alam yang memiliki kompleksitas dan turbulensi seperti alam semesta ini, di mana hal-hal yang tak tampak menyertai hal-hal yang tampak, dengan ketebalan strukturnya yang sulit ditembus oleh bekal akal semata.
Akal dan ruh ibarat sepasang teman dalam petualangan ini. Namun, akal kadang bertindak seperti teman yang curang. Ia terkadang mengkhianati kawannya ketika merasa memperoleh hal yang dicari. Ia menyingkirkan dan menghina kawannya. Namun ruh tidak pernah meninggalkan akal. Ia hanya menunggu saat untuk kembali menemani akal, kala akal kembali dihantui rasa lapar dan menuntunnya kembali untuk bersama-sama bangkit berpetualang.
Drama kebangkitan adalah episode demi episode pemenuhan rasa lapar. Badan yang lapar mendorong revolusi politik. Akal yang lapar mendorong revolusi ideologis dan saintifik. Ruh yang lapar mendorong revolusi ruhani.
Penulis : Muhammad Al-Fayyadl (catatan Facebook)
Tulisan Terkait: