Menelusuri Seabad Pramoedya Ananta Toer: Suara Perlawanan yang Tak Pernah Padam

Mudabicara.com_Pada tahun 2025, kita memperingati seabad Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis besar yang tidak hanya menulis tentang sejarah, tetapi juga menjadi saksi dan bagian dari sejarah itu sendiri.

Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai penulis novel dari era 1940-an, dengan karya-karya seperti Keluarga Gerilya dan Perburuan. Lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925, ia meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta.

Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, yang tercatat dalam koleksi cerpen semi-autobiografi Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer, yang merupakan nama ayahnya, terdengar terlalu aristokratik, ia menghapus awalan Jawa “Mas” dan mengganti nama keluarga menjadi “Toer”.

Baca Juga: Mahfut Khanafi Tekankan Wakaf Produktif sebagai Solusi Ekonomi HMI di Pleno III

Ayahnya adalah seorang guru yang pertama kali mengajar di HIS Rembang, lalu menjadi kepala sekolah di Boedi Oetomo. Ibunya berasal dari keluarga penghulu di Rembang.

Dalam Memoar-Hikayat Sebuah Nama (1962), disebutkan bahwa di keluarganya ia dipanggil Mas Moek, karena merupakan anak sulung dari delapan bersaudara (lima laki-laki dan tiga perempuan).

Sesuai dengan permintaan sang abang, adik-adiknya pun menggunakan nama keluarga Toer, seperti Pradito Toer, Koenmarjatoen Toer, Oemisapatoen Toer, dan seterusnya.

Pramoedya Ananta Toer menyelesaikan pendidikan dasar di Instituut Boedi Oetomo di Blora, kemudian melanjutkan studi di sekolah teknik radio di Surabaya (Radiovakschool Surabaya) selama satu setengah tahun pada tahun 1940-1941.

Namun, ia tidak menerima ijazah dari sekolah tersebut karena dokumen yang dikirim ke Bandung untuk disahkan hilang setelah Jepang masuk ke Indonesia pada awal tahun 1942.

Pada Mei 1942, Pramoedya Ananta Toer meninggalkan Rembang dan Blora untuk menuju Jakarta, di mana ia bekerja di Kantor Berita Domei.

Sambil bekerja, ia melanjutkan pendidikannya di Taman Siswa (1942—1943), mengikuti kursus di Sekolah Stenografi (1944—1945), dan kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945), mempelajari Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah.

Pada tahun 1945, Pramoedya Ananta Toer meninggalkan Kantor Berita Domei dan memulai perjalanan ke berbagai daerah di Pulau Jawa.

Perjuangan Pramoedya Ananta Toer

Saat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945, ia berada di Kediri. Pada 1946, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan naik pangkat menjadi Letnan II, ditempatkan di Cikampek, bersama pasukan Front Jakarta Timur.

Pada 1947, ia kembali ke Jakarta secara diam-diam, namun ditangkap oleh pasukan Belanda di Cipinang. Pada 22 Juli 1947, ia ditangkap oleh marinir Belanda karena terlibat dalam gerakan bawah tanah yang menentang penjajahan Belanda dan dipenjara tanpa pengadilan di Bukit Duri hingga 1949.

Pada 1950-1951, ia bekerja sebagai redaktur di Balai Pustaka, yang juga memberikan penghargaan sastra untuk novelnya Perburuan.

Pada tahun yang sama, ia menikah dengan seorang wanita yang sering mengunjunginya di penjara, yang ternyata masih memiliki hubungan keluarga dekat dengan Husni Thamrin.

Pada tahun 1952, Pramoedya Ananta Toer mendirikan dan memimpin Literary dan Features Agency Duta hingga 1954. Pada tahun 1953, ia mengunjungi Belanda sebagai tamu Sticusa (Yayasan Kerja Sama Kebudayaan Belanda).

Kemudian, pada 1956, ia berkunjung ke Peking, Tiongkok, untuk menghadiri peringatan kematian Lu Shun. Ia sangat terkesan dengan kemajuan yang dicapai oleh Revolusi Tiongkok di berbagai bidang.

Pada tahun 1958, Pramoedya Ananta Toer bergabung dengan Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Keterlibatannya dengan Lekra membuatnya berseteru dengan seniman dari kelompok lain, terutama mereka yang menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang menentang PKI.

Pada tahun 1962, Pramoedya Ananta Toer menjabat sebagai redaktur di Lentera dan juga menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publika Jakarta serta di Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai.

Namun, peristiwa Gerakan 30 September 1965 (Gestapu/PKI) membawa kenangan pahit dalam hidupnya.

Pada saat penangkapan oleh kelompok pemuda bertopeng pada 13 Oktober 1965, Pramoedya Ananta Toer diperlakukan dengan sangat kejam dan dihina.

Pendengarannya rusak akibat pukulan dengan tommygun di kepalanya. Setelah itu, ia dipenjarakan di beberapa tempat, termasuk Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun diasingkan di Pulau Buru.

Setelah masa pengasingannya, Pram menulis beberapa buku yang umumnya dilarang oleh Kejaksaan Agung, namun buku-buku tersebut tetap diterbitkan dan tersebar di luar negeri, bahkan diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Inggris dan Belanda.

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer

Di antara karya yang dilarang adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995) dan II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000). Beberapa tahun terakhir, karya-karya Pramoedya yang dulu dilarang kini telah diterbitkan kembali oleh penerbit Hasta Mitra, termasuk Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, serta karya-karya yang ditulis pada 1950-an, seperti Cerita dari Blora, Perburuan, Korupsi, Keluarga Gerilya, dan Panggil Aku Kartini Saja. Karya-karya yang diterbitkan pada akhir 1990-an dan awal 2000-an antara lain Mangir (2000), Kronik Revolusi I, II (1999), III (2000), Cerita-Cerita dari Digul (2001), dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (2001).

Baca Juga: Transformasi Pendidikan Indonesia: Komitmen Abdul Mu’ti Ciptakan Akses Pendidikan Berkualitas untuk Semua

Pramoedya Ananta Toer telah menerima 16 penghargaan, termasuk Penghargaan Balai Pustaka pada 1951 dan Hadiah Magsaysay dari Filipina pada 1995.

Penerimaan penghargaan ini memicu perdebatan di masyarakat saat itu, mengingat latar belakang sejarah Pramoedya. Hal ini menyebabkan Mochtar Lubis mengembalikan hadiah yang diterimanya pada 1958.

Namun, Yayasan Magsaysay tetap memberikan penghargaan kepada Pramoedya karena dianggap berhasil memberikan pencerahan melalui karya-karyanya yang menggambarkan sejarah kebangkitan dan kehidupan modern Indonesia.

Selain itu, Pramoedya juga memperoleh penghargaan PEN International pada 1998, gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan pada 1999, Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka) dari Jepang pada 2000, serta Norwegian Authors’ Union Award pada 2004 atas kontribusinya terhadap sastra dunia.

Tulisan Terkait: