Mudabicara.com_ Ada beberapa indikasi mundurnya kehidupan politik bangsa saat ini yang ditandai dengan hadirnya ide penundaan pelaksanaan pemilu.
Dalam perspektif hukum, ide itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran serius terhadap konstitusi, yang secara terang benderang menyatakan bahwa masa jabatan presiden selama 5 tahun. Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie baru-baru ini bahkan dengan gamblang menyebut ide itu sebagai sebentuk “pengkhianatan terhadap negara”.
BACA JUGA : Pemuda, Korupsi dan Partisipasi Politik
Secara umum kita sepakat bahwa Amandemen Konstitusi memang mungkin untuk dilakukan. Namun amandemen secara fundamental sifatnya harus memperkuat substansi kenegaraan yang menjadi rasion d’etre eksistensi sebuah bangsa. Amandemen yang dilakukan bilamana merujuk pada makna yang positif pada dasarnya mengarah pada substansi penguatan nilai-nilai kebangsaan dan karakter pemerintahan yang diyakini bersama.
Jika kita ambil contoh Amandemen Konstitusi Amerika Serikat (AS) kita dapat melihat bahwa spirit amandemen yang dilakukan adalah mengukuhkan “nilai-nilai Amerika” yang menjadi alasan utama keberadaan AS sebagai sebuah nasion.
AS telah dua puluh tujuh kali melakukan amandemen, dimana sepuluh amandemen pertama dikenal dengan Bill of Rights, yang secara fundamental semakin menjamin kebebasan individu (individual freedom), persamaan (equality) dan hak kepemilikan (property rights). Singkatnya nilai-nilai politik a’la Amerika itu dikukuhkan oleh amandemen konstitusinya.
Sebaliknya ide penundaan pemilu yang tengah diwacanakan adalah justru melawan hakekat dari Reformasi. Hampir seperempat abad lalu bangsa ini bersuka cita dengan tumbangnya Orde Baru karena esensi kekuasaannya yang berkepanjangan.
BACA JUGA : Rangkap Jabatan Pejabat Publik Dalam Kacamata Undang-undang
Dan itulah esensi Reformasi, pembatasan bukan perpanjangan kekuasaan. Namun justru penundaan pemilu, yang berarti memperpanjang kekuasaan setidaknya hingga dua tahun, malah diutarakan kembali dan akan dilakukan didahului dengan amandemen konstitusi.
Bilamana perpanjangan itu dilakukan, bisa jadi ini akan menjadi pintu masuk bagi perwujudan perpanjangan tiga periode. Dengan karakter kekuasaan seperti saat ini, segalanya mungkin sejauh itu terkait dengan kepentingan elite.
Politisi Populis
Apalagi era ini adalah masa ketika pakem dan etika politik, termasuk tradisi konstitusional, kerap digoyahkan oleh kepentingan “politisi-populis” yang kerap tidak ragu mengatasnamakan rakyat demi melancarkan kepentingan diri dan kalangan sekitarnya.
Uniknya fenomena tampak ini berlaku global. Penyerangan Capitol Hill merupakan sebuah tindakan yang menggoyang tradisi kepatutan dan etika politik di AS, yang tidak ada presedennya. Tapi itu dilakukan oleh para pendukung Trump dengan sepenuh hati. Invasi Rusia terhadap Ukraina yang melanggar norma hukum internasional dapat pula dilihat dalam kacamata ini.
Pelarangan wanita berjilbab di India, jelas merupakan preseden buruk yang tidak dikenal dalam tradisi politik sekular India yang dicanangkan oleh Nehru, sebelum kekuasaan politik di India diambil alih Bharatiya Janata Party (BJP).
Ada satu benang merah di sini, bahwa kekuatan politik populis cenderung memberikan arah bagi hancurnya pakem politik yang selama ini dipegang teguh. Dengan kata lain, populisme yang menyerang dan melecehkan standar politik konvensional yang dipandang usang dan elitis, jutsru menjadi penyebab runtuhnya etika politik.
Tendensi kemunduran politik yang ditandai dengan hadrinya tokoh populis dan hilangnya rasa malu untuk menabrak rambu-rambu kepatutan dan etika politik terlihat telah menggejala di tanah air.
Gejala kemunduran yang lain adalah cara pandang yang mendahulukan kepentingan tertib sosial dengan memberangus hak-hak politik demokratik. Perspektif politik semacam ini merupakan khas rezim-rezim otoriter, termasuk Orde Baru, yang dalam upaya membangun dan menyusul ketertinggalan atau memantapkan ekonominya lebih mendahulukan stabilitas politik.
Stabilitas yang terbangun akhirnya bersifat semu, karena berangkat dari kepentingan membangun sebuah keteraturan yang elitis. Apalagi dalam sudut padangan ini tebal kecurigaan bahwa masyarakat belum siap menjalani demokrasi dan pemilu merupakan salah satu ajang politik yang meresahkan dan berbahaya.
Logika ketidaksiapan berpolitik yang kemudian memunculkan potensi ketidaktertiban sehingga membutuhkan stabilitas politik merupakan inti teori-teori institusionalisasi/tertib politik yang dibahas oleh akademisi seperti Zolberg (1966), Eisenstadt (1966) dan Huntington (1968). Perspektif ini sebenarnya relatif usang, marak di tahun 1960/1970-an, dan telah banyak mendapat kritik karena menjadi “legitimasi akademis” bagi penguasa otoriter.
Sayangnya logika usang itu justru terlontar lagi dari menteri dan pimpinan partai para pengusul penundaan pemilu. Secara teoritis tidak saja keyakinan itu merupakan kemunduran berpikir dalam memaknai demokrasi, namun juga tidak empiris.
Kenyataannya saat ini negara-negara yang paling stabil dan sejahtera adalah negara-negara yang menjalankan demokrasi secara murni dan konsisten. Selain itu, pelaksanaan pemilu yang telah berlangsung berkali-kali di Indonesia, termasuk pemilu lokal tidak terkorelasi secara meyakinkan menjadi penyebab instabilitas dan kemunduran ekonomi.
BACA JUGA : 75 Tahun Indonesia Merdeka: Politik Pesat dan Ekonomi Lembat
Dengan membaca realitas politik di atas, pilihan yang harus dilakukan bagi bangsa kita saat ini adalah jelas, tidak lagi memaknai amandemen secara sembarangan dan tidak lagi kembali berargumen dengan wacana tertib politik a’la Orde Baru. Namun melanjutkan kerja-kerja demokrasi sebagai penyeimbang kerja-kerja ekonomi yang sama-sama dibutuhkan oleh kita semua. Ini berarti praktik pemilu tepat waktu dan pembatasan kekuasaan harus dilakukan.
Oleh : Prof. Dr. Firman Noor, MA (Peneliti Politik BRIN)