Polisi Digital Listyo Sigit Mengancam Kebebasan Rakyat

Sosial665 Dilihat

Mudabicara.com, Saat fit and proper test Calon Kapolri Komjen Pol Listyo Sigit memaparkan Road Map Transformasi Polri yang diturunkan dalam empat bagian utama, pertama ransformasi Organisasi. Kedua, Transformasi Operasional. Ketiga, transformasi Pelayanan Publik. Dan keempat Transformasi Pengawasan.

Komjen Pol Listyo Sigit menjelaskan salah satu poin sebagai turunan dari Transformasi Operasional adalah penguatan partisipasi masyarakat dalam skema masyarakat informasi di ruang siber, akan dilaksanakan melalui kampanye untuk meningkatkan kesadaran pentingnya keamanan data pribadi, serta cara bermedia sosial yang berbudaya dan beretika baik. Program tersebut akan disertai dengan pelibatan polisi dunia maya (virtual police) yang berbeda dengan cyber police. Virtual police sebagai entitas yang bersifat edukatif. Bahkan, virtual police ini akan berkolaborasi dengan influenceragar mencapai tujuan edukatifnya.

BACA JUGA: ANGGARAN HAJI, DIAH PITALOKA: TIDAK BERANGKAT TAPI SERAPANYA CUKUP BESAR

Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute (TII) Rifqi Rachman menilai program pelibatan polisi dunia maya (virtual police) pada warga negara di ruang digital sangat mengkhawatirkan terutama bagi kebebasan berekspresi warga negara di ruang digital.

“Pertama, ketika pendekatan melalui cyber police tidak mampu memasuki ranah etis di ruang digital, pembentukan virtual police dengan pendekatan edukatif senyatanya juga tidak dapat langsung menjadi jawaban. Terlebih, aksi pengintaian (surveillance) pada warga negaradi ruang digitalmenjadi fenomena yang begitu mengkhawatirkan, dan hal ini sering kali dilancarkan oleh institusi seperti kepolisian. Dua entitas ini akhirnya sangat mungkin mempersempit ruang kebebasan berekspresi warga negara di ruang digital,” kata Rifqi di Jakarta, Rabu (20/1/2021).

Kedua, lanjut Rifqi, ruang lingkup edukasi virtual police akan sulit diterapkan karena konsep ‘berbudaya’ dan ‘beretika baik’ yang dijadikan pakem bermedia sosial dalam pemaparan Kapolri tidak memiliki indikator jelas.

“Jika Polri tidak segera memperjelas pakem ini, maka kondisi penerapan yang rawan penyimpangan akan sulit untuk dihindarkan,” jelas Rifqi.

Ketiga, ketidakjelasan konsep ‘berbudaya’ dan ‘beretika baik’ semakin mengkhawatirkan jika influencers terlibat dalam memperkuat pesan yang dibawa oleh virtual police.

“Dengan hanya bersandar pada kriteria ‘memiliki followers yang cukup banyak’ seperti yang disampaikan Listyo, terdapat dua dampak yang mungkin timbul dan merugikan warga negara pengguna internet,” lanjut Rifqi.

“Secara ringkas, TII memandang bahwasanya keberadaan ‘pengawas etika’ warga negara pengguna internet dalam bentuk virtual police tidak menjadi kebutuhan yang benar-benar mendesak. Penguatan Dittipidsiber menjadi alternatif yanglebih realistis dan tepat, jika memang tujuan Polri adalah menghadirkan keamanan pada pengguna internet di Indonesia dari aksi-aksicomputer crime maupun computer-related crime,” ujarnya.

Tulisan Terkait: