Saat Menteri Agama Menjadi Enabler Kekerasan

Sosial55 Dilihat

Mudabicara.com_Pernyataan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, yang menilai media terlalu membesar-besarkan kasus kekerasan seksual di pesantren, menimbulkan keprihatinan mendalam. Di tengah perjuangan panjang melawan budaya bungkam terhadap kekerasan seksual, pernyataan seperti ini justru berpotensi memperkuat ketidakadilan yang selama ini menjerat para korban.

Sebagai Ketua KOHATI, saya memahami bahwa pesantren memiliki peran besar dalam mencetak generasi berakhlak dan berilmu. Pesantren adalah ruang pendidikan yang kita hormati bersama.

Baca Juga: Kejagung Sita Properti Anak Riza Chalid, Terkait Dugaan Pencucian Uang Migas

Namun, menjaga citra lembaga keagamaan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan pengakuan atas realitas kekerasan yang terjadi di dalamnya. Ketika seorang pejabat publik menuding media membesar-besarkan kasus, ia tanpa sadar menjadi enabler kekerasan dan memperkuat budaya diam yang membuat korban semakin terpinggirkan.

Media justru berperan penting dalam membuka ruang kebenaran. Tanpa pemberitaan, banyak kasus kekerasan seksual akan terus terkubur dalam diam, sementara korban dipaksa menanggung trauma seumur hidup.

Menganggap sorotan media sebagai ancaman bagi citra pesantren berarti gagal memahami fungsi moral publikasi: bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mendorong pertanggungjawaban.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan berbasis lembaga pendidikan dan keagamaan bukanlah peristiwa tunggal, melainkan fenomena sistemik.

Setiap angka dalam laporan itu mewakili tubuh dan jiwa yang terluka, bukan sekadar statistik yang bisa diabaikan. Menutup mata terhadap data ini hanya akan memperpanjang penderitaan korban dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keagamaan itu sendiri.

Baca Juga: Fatwa Baru MUI: Zakat Bisa Diperuntukkan bagi BPJS Ketenagakerjaan

Kementerian Agama semestinya menjadi garda depan dalam memastikan setiap pesantren memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang jelas, transparan, dan berpihak pada korban. Menjaga marwah pesantren bukan berarti menutupi masalah, tetapi berani menghadapi kebenaran dan menegakkan keadilan.

Citra lembaga keagamaan akan tetap kuat bila ia berdiri di atas nilai-nilai kemanusiaan yang sejati bukan di atas diamnya luka para korban. Maka, tugas seorang Menteri Agama bukanlah meredam suara media, tetapi memastikan bahwa suara korban tak lagi tenggelam di tengah hiruk-pikuk pembelaan citra.

Penulis: Widiah Astuti Ketua Koordinator Nasional KOHATI HMI MPO

Tulisan Terkait: