“Arus bergerak dari Selatan ke Utara, segalanya : kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya, semua bergerak dari Nusantara di Selatan ke atas angin di Utara. Tetapi zaman berubah.” –Pramoedya Ananta Toer-
Mudabicara.com_Diatas adalah kutipan sang maestro roman sejarah sekaligus satu-satunya orang nusantara yang pernah masuk dalam nominasi penerima penghargaan Nobel Internasional di bidang kesusastraan. Kutipan itu sejenak melenakan kita dalam kerinduan akan kemenangan multidimensi pada masa jaya Majapahit di penghujung abad ke-14 Masehi silam.
BACA JUGA : 10 MANFAAT BELAJAR FILSAFAT UNTUK ANAK MUDA
Tak hanya tata niaga serta basis militer maritimnya yang kuat. Namun pertunjukan hiburan dengan langgam Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha di tambah iringan gamelan khas Wilwatikta memenuhi ruang budaya berbagai bangsa. Hal itu bisa kita lihat mulai dari Nusantara hingga separuh daratan Asia lainnya.
Kisah kepahlawanan, keluhuran, welas asih dan pengorbanan demi orang lemah tersampaikan secara damai oleh Majapahit kepada bangsa mancanegara dengan penuh semangat mempersatukan dan memperindah dunia yang sudah indah. Lantas bagaimana dengan Indonesia hari ini?
Reposisi Kekalahan Budaya Indonesia
Nusantara hari ini kontras dengan apa yang menjadi idealita kehidupan berbudaya zaman dulu. Kekalahan demi kekalahan susul-menyusul tiada henti baik dalam bidang militer, teknologi, ekonomi, bahkan lini yang paling dasar dari bagi bangsa ini sekalipun yaitu kebudayaannya.
BACA JUGA : MENGUJI VALIDITAS DATA PENELITIAN MAHASISWA
Budaya bangsa lain begitu masif mengaliri kedalam alam pikir masyarakat Nusantara dan terealisir sempurna dalam segala perubahan sikap, moral serta tingkah lakunya.
Proses kekalahan kebudayaan dapat kita lihat mulai dari deretan produk kecantikan di rak supermarket. Narasi operasi plastik memancungkan hidung dan yang lebih memilukan fenomena pemberian nama orangtua kepada anaknya.
Ironis memang, melihat realitas masyarakat tropis yang takut berkulit gelap, enggan berhidung rata dan bahkan malu memiliki nama berbau lokal.
Lebih dari itu, kita lebih mengenal ajaran Aristoteles dibandingkan dengan Ronggowarsito. Lebih menghargai kitab bangsa lain dibanding kitab Negarakertagama atau naskah Pararato. Pun yang lebih absurd kita lebih akrab dengan aksara bangsa lain dibanding dengan aksara lokal warisan para leluhur.
Proses Internalisasi Budaya Asing
Internalisasi nilai-nilai budaya asing tersebut merangsek melalui berbagai media massa, musik, film dan produk ekonomi pun budaya. Sebut saja film, film merupakan media internalisasi budaya yang cepat. film dengan cepat mampu merangsek kedalam perubahan budaya suatu masyarakat.
BACA JUGA : MENGENAL TEORI HUKUM TIGA TAHAP AUGUSTE COMTE
Dalam sekejap ia dapat mengubah dan membalikkan tren yang ada pada masyarakat. Segala sesuatu yang melekat pada film mulai dari pakaian yang dikenakan, lokasi pembuatan film, bahkan alur cerita dapat didaulat sebagai standar hidup.
Tentu, alternatif hiburan masyarakat ini memegang kendali atas jalannya pertarungan pengaruh budaya antar bangsa. Kalangan akademisi pun telah meneliti seberapa berpengaruh kebudayaan asing bagi perubahan gaya hidup bangsa ini.
Salah satunya Hamdani Muhammad Syam yang meneliti “Korean Wave” atau terjangan badai budaya Korea terhadap perubahan budaya masyarakat Aceh. Penelitian Hamdani menyatakan bahwa remaja Aceh mulai mengikuti gaya busana dan terbiasa menggunakan kosakata seperti gumawo (terimakasih).
Para remaja Aceh pun suka mengunjungi kafe bergaya Korea bahkan memiliki preferensi yang condong untuk membeli produk teknologi dan makanan instan asal negeri ginseng.
BACA JUGA : 10 MANFAAT BELAJAR SOSIOLOGI UNTUK ANAK MUDA
Di lain sisi Amalia Irfani juga meneliti pengaruh film India terhadap perubahan perilaku masyarakat Indonesia. Kesimpulan Amalia adalah film India berpengaruh terhadap selera makan, gaya busana hingga standar kerupawanan warga Indonesia.
Kemudian pertanyaannya, bagaimana industri perfilman Indonesia dalam kancah nasional pun internasional?
Nasib Industri Film Indonesia
Memang beberapa film nasional kita sempat unjuk gigi go internasional bahkan mendapat penghargaan dari The Golden Butterfly Award, Toronto International Festival maupun International Film Festival. Beberapa Film yang mendapat penghargaan yakni Istirahatlah Kata-Kata, Modus Anomali, A Copy of Mind dan Ada Apa Dengan Cinta.
Tak berhenti disitu, beberapa film domestik juga mendapat reputasi baik dan tak sedikit yang mampu menyihir pemirsa lokal dalam negeri, seperti film 5 cm atau Filosofi Kopi. Film yang menceritakan tentang proses pendakian gunung Semeru dan industri kopi ini mampu menjadi tren anak muda 5 tahun kebelakang.
Namun kini preferensi anak muda Indonesia masih tertuju pada film luar negeri. Menurut data dari jaringan bioskop XXI Indonesia film lokal hanya menguasai 30 persen pangsa pasar nasional. Hal itu disebabkan karena kualitas konten dan ketidakproduktifan para sineas lokal sehingga perfilman Indonesia kurang bergairah.
Berbagai upaya pemerintah untuk memantik performa produksi film telah dilakukan. Salah satunya adalah dengan menelurkan produk hukum yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 yang menetapkan kuota jatah putar sebanyak 60 persen bagi film lokal di bioskop Indonesia.
Akan tetapi masalah klasik di atas tetap mendera dan berujung pada tidak tercapainya target kuota yang ditetapkan akibat tidak produktifnya industri film lokal dan minimnya animo masyarakat terhadap film lokal.
BACA JUGA : TANTANGAN TATA KELOLA TENAGA KERJA INDONESIA
Apabila masyarakat menyanggupi untuk berkorban dan menjatuhkan pilihan terhadap film lokal di tiap kunjungan bioskop. Alhasil kejayaan industri ini akan teraih dengan sendirinya.
Pendapatan yang bertambah akan menyengat semangat para sineas untuk berkarya dan tentu akan menjamurnya kampus perfilman dan makin berkualitasnya sumber daya sineas Indonesia.
Sudah selayaknya bangsa ini mengapresiasi karya sendiri. Bukan hanya mencaci dan acuh pada film nasional. Sektor industri ini memang butuh perhatian ekstra dari rakyat yang sadar akan kekalahan budaya bangsanya.
Harapan besar akan memproduksi ulang film sejarah lokal beserta nilai-nilai keluhuran yang terkandung di dalamnya makin penting direalisasikan. Generasi penerus bangsa perlu mengetahui narasi sejarah bangsanya sendiri.
Akankah langgam Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha beserta iringan gamelan Wilwatikta kembali didengar dan berpengaruh ? Jawabannya terletak pada pengorbanan para penonton sekalian.
Penulis : Sukma Patria (Anak Muda Sragen)