1. Puisi “Balada Burung Merak”
Kabut pagi menembus lorong kamarku
Udara malam tersisa jadi embun
Kini, aku duduk lagi
Di tepi kolam
Di atas batu
Dekat pohon matahari yang kita tanam
Kemarin aku telah samperin matahari
Kamu nongol dari pertanyaan-pertanyaanku
Kamu berdahak lihat aku konyol
Di depan matahari
O kau juwitaku
Kamaratih dari dataran tinggi
Tempat aku menerima kunci hatiku
Izinkanlah aku membuka lembaran
Dari lontar-lontar berharga
Yang aku buat dari perjalanan dan pencarianku
Menepikan api hati dalam jiwaku
Engkau datang bagai angin
Aku gurun di atas bumi
Sebelum mengenal kau
Kau lebih indah dari yang aku kira
O juwitaku
Kamaratih dari dataran tinggi
Dimanakah kamu kini?
Apakah kamu berada di bantalku,
Apakah kamu berada di sakuku,
Apakah kamu berada di atas atap rumahku
Atau kau berada di lembaran pajangan foto-foto rumahku
O kamaratih
Juwitaku dari dataran tinggi.
Aku kirim pamflet merpati
Untuk kau maknai kembali
Apa arti dari sebuah sayap dari burung
Engkau mesti tahu
O bunga surgawi
Tanah berembun tanda jelita
Kita telah tumbuh dalam suara
Dan pencarian kita selama ini
Menimbulkan sesuatu pertemuan
Pertemuan-pertemuanku denganmu
Membuka cakrawala
Menghapus jejak langkah
Dan aku lebih waspada
Dari sorot matahari
Baca Juga : Puisi Gus Mus ‘Apakah Kau Terlalu Bebal atau Aku Terlalu Peka’
O juwitaku
Kembang surga dataran tinggi
Jelita taman hati
Surat jikalau terbentang
Serasa basi
Puisi jikalau pendek rasanya basi
Aku pertemukan surat dan puisiku
Untuk kamu
Yang sudah berhasil jadi cahya inspirasiku
Bergerak,
Bergeraklah seperti kupu-kupu
Dari dalam kepompong kering
Aku hanya ingin kemerdekaan
Aku hanya ingin kemerdekaan
Aku hanya ingin kebebasan
Manusia suka mencampuri urusan orang lain
Manusia suka obok-obok kehidupan orang lain
Pergi,
Pergi dan pergi jauh saja
Di pasar,
Di sungai, di hutan
Di Gedung, di kota
Itulah wajahmu yang merdeka
Dan kita sudah menemukan keberadaan adanya kehidupan
Hai burung sangkar
Bebas dan merdeka
Seperti kupu-kupu dengan pendar pelangi
Setelah hujan berhenti dan menetes
Tinggal air mata
Harapkan langit terbuka
Dari mendung yang terbelah
Engkau lebih tahu dari aku
Bahwa sepi adalah duri
Tumbuh di antara cantik bunga mawar
Bahwa sepi adalah sunyi
Senyap dalam gelombang suara
Yang kacau
Oh memang begitulah seharusnya hidup
Bergerak, tidak terikat
Dan tanpa sangkar tanpa tambatan
Seperti bunga-bunga
Seperti burung yang sudah terlepas
Dari fatamorgana
Aku hanya ingin kau menjadi
Kata-kata bagi puisiku
Puisi-puisiku
Lebih rapi dari benang-benang sutra
Puisi-puisiku lebih indah dari suatu kenangan
Puisi-puisi ini
Lebih menusuk daripada jari-jari lelaki
Apakah seekor kapal bisa berlabuh
Jika tanpa bulan dan layar
Berkibar di atas tiang-tiang
Tanda dia sudah jadi angin
Angin lebih sakit daripada pisau
Angin lebih sakit daripada duri mawar sekalipun
Puisi-puisi ini aku inginkan
Jadi surat-surat indah untuk kau
Dalam temani malam dan harimu
Dalam temani siang dan pagimu
Dalam temani suka dan bahagiaku
Dik
Surat ini adalah suaraku yang tersamar
Paling tidak bisa aku lihat
Dan tak bisa engkau tangkap dalam
Suatu botol kaca
Dik
Coba pandang langit malam hari
Bintang dengan posisi terbalik itulah keinginanmu
Dalam maksudku yang tertutup kabut
Engkau akan lihat aku mainkan seruling di atas bulan baru
Masih pakai bulu merak di antara telinga kananku
O juwitaku
Kamaratih bunga surga
Harum jelita ekor mawar
Tinggalkan duri-duri berkarat
Sebagai penyekat hatimu
Agar kau tahu dan dapat menghirup aroma
Dari wangi tanah surga
Yang kita bayang-bayangkan
Bahwa daun di halaman rumah
Masih segar dan berbekas embun
Oh engkau dimanakah kini
Aku harap-harap bertemu denganmu
Dengan kita yang sudah bertemu kini
Maka biarkan aku jadi sayap elang
Menghempas melewati alam
Melintasi lautan
Menendang-nendang udara
Naik-naik
Seperti pegunungan
Iya sudah memang pantas kita bertemu
Juwitaku-juwitaku
Katanya aku ini engkau rindukan
Banyak dirindukan
Tapi aku sendiri masih merindukan
Jiwa kembang putih dalam diriku ini.
Apakah ini suara jiwaku
Atau lain diriku
Ketika menemukanmu
Jadi lain wanita
Nongol dari lain matahari
Oh juwitaku
Bunga-bungaan ajaib tanah surgawi
Kini telah kita temukan gelora jiwa bersemayam
Dalam tubuh
Nyanyi sunyi,
Nyanyi sepi,
Apa harapan manusia ketika sendiri?
Apa harapan manusia ketika sepi?
Apa harapan manusia ketika berada di sudut?
Memang seperti itu pertanyaan-pertanyaanku
Yang salah satunya.
Salah satu pertemuanku adalah dengan cahaya
Yang menyorot lubuk jiwaku
Di tepi batin-batinku
Suara-suara menggema-gema
Bagai fatamorgana
Dan aku terduduk
Terduduk
Dan terdiam
Bagai kendi air yang terisi air
Itulah kini keadaanku
Seperti bunga-bunga surga
Seperti warna-warna surga
Pada halaman kesembilan
Dari puisi ini
Aku berikan sesuatu kenang-kenangan
Seperti cium seorang kekasih
Sebab rindu adalah harapan
Dan harapan adalah suatu tujuan kecil
Dari bayang dan angan manusia
Agustus 2021
Baca Juga : 33 Puisi Acep Zamzam Noor Yang Wajib Anak Muda Baca,
2. Puisi “Nyanyian Bengawan Sore”
I
Darah mengalir di sekujur sungai yang telah beku
Batu-batu jadi kelam
Hitam seperti kuda ksatriya yang gugur
Kini telah terbaring dia di pangkuan istrinya
Sambil memegangi keris yang memburai isi perutnya
O adinda
Kembang rupa jelita
Gadis manisku yang kini harus relakan aku
Bertabahlah kamu dalam ini waktu
Sebab aku akan terbang ke nirwana
Matanya sudah bagai kerlip bintang
Menjelang pagi buta
Hembusan terakhir dari dadanya itu
Merenggut ke sembilan nyawa keramat punya dia
II
Kakang, seorang istri kini telah berduka
Kubur jadi tempat yang ramai bagiku
Kamu mengingatkan wajahku jadi mawaran
Jadi melatian wangi tusuki aku
Kalau begitu aku akan melepas semua
Apa yang telah kau berikan padaku
Padamu jua ikut kembali
Bersama kubur
Kalau darah sudah bermuara kembali
Bau wanginya aku cecapi di pucuk gunung sana
Maka seorang wanita yang kehilangan suami
Kembali menjalankan tugasnya ke dunia
Pergilah dia seorang diri
Diterpa angin malam berlalu
Dihadapi wajahnya seluruh muka lautan
III
Angger,
Kamu sekarang siap bertugas
Seorang lelaki sedang dibutuhkan
Berangkatlah, ke ujung sana
Kalau kau tidak mengerti maksudku
Maka sungguh berapa tuli kamu
O rajaku
O bapa
Dimana letak kesetiaan anak
Jika kau meminta aku mati
Sembah sujud seluruh darah untukmu
Maju
Serbu
Pekik kuda pemuda itu bagaikan setan
Dia berangkat dengan ujung mata tombak
Dari api semangat seorang anak
IV
Hai Penangsang
Wahai Penangsang
Kemarilah kita berjalan tunggui bujuran sungai
Mati bersama sebagai ksatriya yang dendam
Aku adalah jurang maut
Nyanyi sore di bengawan
Kamu telah gemakan dadamu
Bak punggung gajah menelan pepohonan
Kini mataku ada di tombak
Makanlah dengan ganas
Sambari dengan taring kerismu
Lucuti semua hujan panah padamu
Sebab kamu orang sakti dan berapi-api
Seperti aku pula
V
Hm anak Pemanahan
Lelaki muda baru bertumbuh dan berkembang
Semua yang ada padamu adalah ketamakan
Maka akan kusebarangi sungai dengan perkasa
Kukembalikan semua mata panah ratusan itu,
Aku seorang diri melumat tanah dan gunung.
Sutawijaya dengan tangkasnya memotong
Perut musuhnya dengan mulut tombak
Yang sudah kelaparan dan haus darah
Seorang ksatriya telah gugur
Bengawan sore nyanyikan lagu
Gugur bunga dan darah, darah
Telah mengalir bermuara lautan.
November 2022
Baca Juga : 23 Puisi Sutardji Calzoum Bachri Yang Wajib Anak Muda Baca, Belajar Membaca!
3. Puisi “Berjumpa”
Kini aku dan kamu saling menatap,
sandar kapal hendak berlayar
ke sini jiwa kita berkumpul
Sudilah kiranya kita ini
jadi angkasa raya
Sandar merebah tali warna coklat,
Kawanku, biarlah bersusah kita,
Hidup ini seperti samodra raya
Kita anak manusia
pantang lenyap
November, 2022
Baca Juga : 10 Puisi Joko Pinurbo Yang Wajib Anak Muda Baca
4. Puisi “Sebuah Rumah”
Menit lalu kau kubur aku
pada buku dan kolong
Kini kita cahya pendar
bagai kerlip bulan
memancar
kibarkan derita pasung,
cumbu aku di dinding,
muka bisu lenyap
Amat buram aku tatap,
lalu mati kita menatap
Pada lorong talang,
kamarku masih sama
tak ubah pun
November, 2022
5. Puisi “Hujan Bulan Itu”
Hujan kini jadikan ‘ku
makin haru biru
jadi kelabu tak bermaknai
Memanggut kamu dan dua kali,
Aku beku kosong
tak inginkan lagi moksa
Tapi dunia ini sepi
Aku bosan dan bosan
Caranya berpagut dan berbini
aku dah lupa
November, 2022
6. Puisi “Pupus”
Memang begini jadinya jikalau
lelaki sudah tak bisa dipahami
makan arang bara api
hidup susah menjadi derita
Kaum lelaki dan perempuan
adalah takdir yang terpisah,
Mereka adalah anak saksi
berjuta tahun umur bumi
Kenapa wanita tak bisa mengerti
bahwa sakit lebih perih dan sepi,
Ngeri lebih sempit dari tulang
maka larilah kau lelaki
November, 2022
7. Puisi “Harap”
Tuhanku
padamu aku telah jatuh
seperti burung kena jangkar
Tuhanku
aku telah habis percaya
semakin hilang harap pada-Mu
Tuhanku…
kamu adalah pintu doa
kemana lagi aku bersimpuh,
Sekujur tubuh penuh derita ini
Tuhanku, pada-Mu aku mengetuk
Tuhanku, padamu jendela bagiku
Tuhanku, sembuhku haribaan-Mu
November, 2022