Puisi Cinta Kasih, Balada Burung Merak Salah Satunya

Sastra607 Dilihat

1. Puisi “Balada Burung Merak”

Kabut pagi menembus lorong kamarku

Udara malam tersisa jadi embun

Kini, aku duduk lagi

Di tepi kolam

Di atas batu

Dekat pohon matahari yang kita tanam

 

Kemarin aku telah samperin matahari

Kamu nongol dari pertanyaan-pertanyaanku

Kamu berdahak lihat aku konyol

Di depan matahari

 

O kau juwitaku

Kamaratih dari dataran tinggi

Tempat aku menerima kunci hatiku

 

Izinkanlah aku membuka lembaran

Dari lontar-lontar berharga

Yang aku buat dari perjalanan dan pencarianku

Menepikan api hati dalam jiwaku

 

Engkau datang bagai angin

Aku gurun di atas bumi

Sebelum mengenal kau

Kau lebih indah dari yang aku kira

O juwitaku

Kamaratih dari dataran tinggi

 

Dimanakah kamu kini?

Apakah kamu berada di bantalku,

Apakah kamu berada di sakuku,

Apakah kamu berada di atas atap rumahku

Atau kau berada di lembaran pajangan foto-foto rumahku

 

O kamaratih

Juwitaku dari dataran tinggi.

 

Aku kirim pamflet merpati

Untuk kau maknai kembali

Apa arti dari sebuah sayap dari burung

Engkau mesti tahu

 

O bunga surgawi

Tanah berembun tanda jelita

 

Kita telah tumbuh dalam suara

Dan pencarian kita selama ini

Menimbulkan sesuatu pertemuan

 

Pertemuan-pertemuanku denganmu

Membuka cakrawala

Menghapus jejak langkah

Dan aku lebih waspada

Dari sorot matahari

Baca Juga : Puisi Gus Mus ‘Apakah Kau Terlalu Bebal atau Aku Terlalu Peka’

O juwitaku

Kembang surga dataran tinggi

Jelita taman hati

 

Surat jikalau terbentang

Serasa basi

Puisi jikalau pendek rasanya basi

Aku pertemukan surat dan puisiku

Untuk kamu

Yang sudah berhasil jadi cahya inspirasiku

 

Bergerak,

Bergeraklah seperti kupu-kupu

Dari dalam kepompong kering

Aku hanya ingin kemerdekaan

Aku hanya ingin kemerdekaan

Aku hanya ingin kebebasan

 

Manusia suka mencampuri urusan orang lain

Manusia suka obok-obok kehidupan orang lain

 

Pergi,

Pergi dan pergi jauh saja

Di pasar,

Di sungai, di hutan

Di Gedung, di kota

Itulah wajahmu yang merdeka

Dan kita sudah menemukan keberadaan adanya kehidupan

 

Hai burung sangkar

Bebas dan merdeka

Seperti kupu-kupu dengan pendar pelangi

Setelah hujan berhenti dan menetes

Tinggal air mata

Harapkan langit terbuka

Dari mendung yang terbelah

 

Engkau lebih tahu dari aku

Bahwa sepi adalah duri

Tumbuh di antara cantik bunga mawar

Bahwa sepi adalah sunyi

Senyap dalam gelombang suara

Yang kacau

 

Oh memang begitulah seharusnya hidup

Bergerak, tidak terikat

Dan tanpa sangkar tanpa tambatan

Seperti bunga-bunga

Seperti burung yang sudah terlepas

Dari fatamorgana

Aku hanya ingin kau menjadi

Kata-kata bagi puisiku

 

Puisi-puisiku

Lebih rapi dari benang-benang sutra

Puisi-puisiku lebih indah dari suatu kenangan

Puisi-puisi ini

Lebih menusuk daripada jari-jari lelaki

 

Apakah seekor kapal bisa berlabuh

Jika tanpa bulan dan layar

Berkibar di atas tiang-tiang

Tanda dia sudah jadi angin

Angin lebih sakit daripada pisau

Angin lebih sakit daripada duri mawar sekalipun

 

Puisi-puisi ini aku inginkan

Jadi surat-surat indah untuk kau

Dalam temani malam dan harimu

Dalam temani siang dan pagimu

Dalam temani suka dan bahagiaku

 

Dik

Surat ini adalah suaraku yang tersamar

Paling tidak bisa aku lihat

Dan tak bisa engkau tangkap dalam

Suatu botol kaca

 

Dik

Coba pandang langit malam hari

Bintang dengan posisi terbalik itulah keinginanmu

Dalam maksudku yang tertutup kabut

Engkau akan lihat aku mainkan seruling di atas bulan baru

Masih pakai bulu merak di antara telinga kananku

 

O juwitaku

Kamaratih bunga surga

Harum jelita ekor mawar

 

Tinggalkan duri-duri berkarat

Sebagai penyekat hatimu

Agar kau tahu dan dapat menghirup aroma

Dari wangi tanah surga

Yang kita bayang-bayangkan

 

Bahwa daun di halaman rumah

Masih segar dan berbekas embun

Oh engkau dimanakah kini

Aku harap-harap bertemu denganmu

Dengan kita yang sudah bertemu kini

Maka biarkan aku jadi sayap elang

Menghempas melewati alam

Melintasi lautan

Menendang-nendang udara

Naik-naik

Seperti pegunungan

 

Iya sudah memang pantas kita bertemu

Juwitaku-juwitaku

Katanya aku ini engkau rindukan

Banyak dirindukan

Tapi aku sendiri masih merindukan

Jiwa kembang putih dalam diriku ini.

Apakah ini suara jiwaku

Atau lain diriku

Ketika menemukanmu

Jadi lain wanita

Nongol dari lain matahari

 

Oh juwitaku

Bunga-bungaan ajaib tanah surgawi

Kini telah kita temukan gelora jiwa bersemayam

Dalam tubuh

Nyanyi sunyi,

Nyanyi sepi,

Apa harapan manusia ketika sendiri?

Apa harapan manusia ketika sepi?

Apa harapan manusia ketika berada di sudut?

Memang seperti itu pertanyaan-pertanyaanku

Yang salah satunya.

 

Salah satu pertemuanku adalah dengan cahaya

Yang menyorot lubuk jiwaku

Di tepi batin-batinku

Suara-suara menggema-gema

Bagai fatamorgana

Dan aku terduduk

Terduduk

Dan terdiam

Bagai kendi air yang terisi air

Itulah kini keadaanku

Seperti bunga-bunga surga

Seperti warna-warna surga

 

Pada halaman kesembilan

Dari puisi ini

Aku berikan sesuatu kenang-kenangan

Seperti cium seorang kekasih

Sebab rindu adalah harapan

Dan harapan adalah suatu tujuan kecil

Dari bayang dan angan manusia

Agustus 2021

Baca Juga : 33 Puisi Acep Zamzam Noor Yang Wajib Anak Muda Baca,

2. Puisi “Nyanyian Bengawan Sore”

I

Darah mengalir di sekujur sungai yang telah beku

Batu-batu jadi kelam

Hitam seperti kuda ksatriya yang gugur

Kini telah terbaring dia di pangkuan istrinya

Sambil memegangi keris yang memburai isi perutnya

 

O adinda

Kembang rupa jelita

Gadis manisku yang kini harus relakan aku

Bertabahlah kamu dalam ini waktu

Sebab aku akan terbang ke nirwana

 

Matanya sudah bagai kerlip bintang

Menjelang pagi  buta

Hembusan terakhir dari dadanya itu

Merenggut ke sembilan nyawa keramat punya dia

 

II

Kakang, seorang istri kini telah berduka

Kubur jadi tempat yang ramai bagiku

Kamu mengingatkan wajahku jadi mawaran

Jadi melatian wangi tusuki aku

 

Kalau begitu aku akan melepas semua

Apa yang telah kau berikan padaku

Padamu jua ikut kembali

Bersama kubur

 

Kalau darah sudah bermuara kembali

Bau wanginya aku cecapi di pucuk gunung sana

Maka seorang wanita yang kehilangan suami

Kembali menjalankan tugasnya ke dunia

 

Pergilah dia seorang diri

Diterpa angin malam berlalu

Dihadapi wajahnya seluruh muka lautan

 

III

Angger,

Kamu sekarang siap bertugas

Seorang lelaki sedang dibutuhkan

Berangkatlah, ke ujung sana

Kalau kau tidak mengerti maksudku

Maka sungguh berapa tuli kamu

 

O rajaku

O bapa

Dimana letak kesetiaan anak

Jika kau meminta aku mati

Sembah sujud seluruh darah untukmu

 

Maju

Serbu

Pekik kuda pemuda itu bagaikan setan

Dia berangkat dengan ujung mata tombak

Dari api semangat seorang anak

IV

Hai Penangsang

Wahai Penangsang

Kemarilah kita berjalan tunggui bujuran sungai

Mati bersama sebagai ksatriya yang dendam

 

Aku adalah jurang maut

Nyanyi sore di bengawan

 

Kamu telah gemakan dadamu

Bak punggung gajah menelan pepohonan

Kini mataku ada di tombak

Makanlah dengan ganas

 

Sambari dengan taring kerismu

Lucuti semua hujan panah padamu

Sebab kamu orang sakti dan berapi-api

Seperti aku pula

 

V

Hm anak Pemanahan

Lelaki muda baru bertumbuh dan berkembang

Semua yang ada padamu adalah ketamakan

 

Maka akan kusebarangi sungai dengan perkasa

Kukembalikan semua mata panah ratusan itu,

Aku seorang diri melumat tanah dan gunung.

 

Sutawijaya dengan tangkasnya memotong

Perut musuhnya dengan mulut tombak

Yang sudah kelaparan dan haus darah

 

Seorang ksatriya telah gugur

Bengawan sore nyanyikan lagu

Gugur bunga dan darah, darah

Telah mengalir bermuara lautan.

November 2022

Baca Juga : 23 Puisi Sutardji Calzoum Bachri Yang Wajib Anak Muda Baca, Belajar Membaca!

3. Puisi “Berjumpa”

Kini aku dan kamu saling menatap,

sandar kapal hendak berlayar

ke sini jiwa kita berkumpul

 

Sudilah kiranya kita ini

jadi angkasa raya

 

Sandar merebah tali warna coklat,

Kawanku, biarlah bersusah kita,

Hidup ini seperti samodra raya

 

Kita anak manusia

pantang lenyap

 

November, 2022

Baca Juga : 10 Puisi Joko Pinurbo Yang Wajib Anak Muda Baca

4. Puisi “Sebuah Rumah”

Menit lalu kau kubur aku

pada buku dan kolong

 

Kini kita cahya pendar

bagai kerlip bulan

memancar

kibarkan derita pasung,

cumbu aku di dinding,

muka bisu lenyap

 

Amat buram aku tatap,

lalu mati kita menatap

 

Pada lorong talang,

kamarku masih sama

tak ubah pun

 

November, 2022

5. Puisi “Hujan Bulan Itu”

Hujan kini jadikan ‘ku

makin haru biru

jadi kelabu tak bermaknai

 

Memanggut kamu dan dua kali,

Aku beku kosong

tak inginkan lagi moksa

 

Tapi dunia ini sepi

 

Aku bosan dan bosan

 

Caranya berpagut dan berbini

aku dah lupa

 

November, 2022

 

6. Puisi “Pupus”

 

Memang begini jadinya jikalau

lelaki sudah tak bisa dipahami

makan arang bara api

hidup susah menjadi derita

 

Kaum lelaki dan perempuan

adalah takdir yang terpisah,

Mereka adalah anak saksi

berjuta tahun umur bumi

 

Kenapa wanita tak bisa mengerti

bahwa sakit lebih perih dan sepi,

Ngeri lebih sempit dari tulang

maka larilah kau lelaki

November, 2022

 

7. Puisi “Harap”

 

Tuhanku

padamu aku telah jatuh

seperti burung kena jangkar

 

Tuhanku

aku telah habis percaya

semakin hilang harap pada-Mu

 

Tuhanku…

kamu adalah pintu doa

kemana lagi aku bersimpuh,

Sekujur tubuh penuh derita ini

 

Tuhanku, pada-Mu aku mengetuk

Tuhanku, padamu jendela bagiku

Tuhanku, sembuhku haribaan-Mu

 

November, 2022

Tulisan Terkait: