Mudabicara.com_ Puisi Nonton Harga merupakan salah satu karya seorang sastrawan sekaligus aktivis Wiji Thukul. Sastrawan yang besar di kota Solo ini lahir di tengah keluarga kurang mampu dan serba kekurangan.
Latar belakang kehidupan serta pendakian kehidupan yang keras itulah yang mengakibatkan karya puisinya begitu dekat bahkan melekat pada sendi-sendi realitas kehidupan.
Misalnya beberapa karya yang terus menjadi slogan aktivis hingga kini berjudul Peringatan, yang mengandung sajak apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!.
Baca Juga : Mengilhami Puisi Peringatan Wiji Thukul
Nah! kali ini mudabicara ingin mengulas puisi Wiji Thukul lainnya berjudul Nonton Harga. Sebuah puisi yang mengambarkan ketimpangan sosial antara yang miskin dan kaya, berikut puisinya.
Puisi Nonton Harga Wiji Thukul
Puisi “Nonton Harga”
ayo
keluar kita keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli tak apa
lihat-lihat saja
kalau pengin durian
apel pisang rambutan atau anggur
ayo
kita bisa mencium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos tak perlu biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada
kalau pengin lihat orang cantik
di kota kita banyak gedung bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotik
di depan pintu
kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan detak musik
denting botol
lengking dan tawa
bisa juga kaunikmati
aroma minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja
ayo
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama dari ibukota
lihat
mobil para tamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya
kota kita memang makin megah dan kaya
tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan
besok pagi
kita ke pabrik
kembali kerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa
Sebagai seorang sastrawan pemilihan diksi kata Wiji Thukul begitu sederhana namun maknanya begitu terasa pada pembaca. Hal tersebut disebabkan karena Wiji Thukul seoalh ingin bercerita apa adanya tanpa mengada-ada.
Baca Juga : Mengenang Perlawanan Wiji Thukul Lewat “Puisi Untuk Adik”
Kejujuran dan ketulusan dalam puisinya mampu menumbuhkan rasa empati dan simpati para pembaca kepada realitas sosial disekitarnya. Misalnya pada puisi Nonton Harga berikut
ayo
keluar kita keliling kota
tak perlu ongkos tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli tak apa
lihat-lihat saja
kalau pengin durian
apel pisang rambutan atau anggur
ayo
kita bisa mencium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos tak perlu biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada
Sastrawan yang terkenal dengan Pelo (cedal) begitu mahir memainkan kata-kata, puisi Nonton Harga seolah wadah bercerita sekaligus kritik sosial untuk para penguasa.
Tak beruntungnya, sastrawan yang bertalenta ini muncul di tengah rezim anti pati terhadap kritik, walaupun dalam bentuk karya sastra. Rezim Orde Baru yang otoriter tidak memberi ruang sedikit pun dan bagi siapa pun menganggu status quo kekuasaannya.
Melalui kemahirannya berpuisi Wiji Thukul mulai pindah dari pangung ke pangung hingga dari kota satu ke kota lainnya membacakan puisi-puisi karyanya.
Baca Juga : 9 Puisi Karya Chairil Anwar Yang Wajib Anak Muda Baca
Aktivitas keseniannya terasah mahir setelah bergabung ke berbagai sanggar dan kelompok teater di Jawa Tengah bahkan sampai Ibu Kota Jakarta.
Apabila melihat latar belakangnya yang keras maka tidak heran seorang Wiji Thukul dengan perawakan kecil dengan suara pelo ini memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan
besok pagi
kita ke pabrik
kembali kerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa
Pada zaman itu, tak ada pilihan lain bagi buruh kecuali mengikuti aturan main para pengusaha dan penguasa yang terus mengekplotasi para pekerja.
Realitas hidup buruh penuh perjuangan dan sering tercekik kemiskinan begitupun hutang membuat Wiji Thukul betul-betul berjuang hidup.
Transisi berkesenian sampai pada aktivisme berawal sejak Wiji Thukul memprotes pencemaran lingkungan pabrik tekstil di Jagalan-Purungsawit.
Proses-proses yang dijalani inilah yang membuat Wiji Thukul masuk pada jaringan aktivis yang menentang keras rezim Soeharto.
Baca Juga : 13 Puisi Cinta W.S Rendra Yang Wajib Anak Muda Baca
Dan sejarah akhirnya mencatat Wiji Thukul lah menjadi salah satu anak bangsa yang di telan kekuasaan Rezim Soeharto dan hilang rimba kabarnya hingga kini.
Sebagai seorang sastrawan Wiji Thukul mendapat berbagai penghargaan salah satunya Wertheim Encourage Award bersama dengan W.S Rendra.
Puisi Nonton Harga menjadi salah satu warisan terbesar dan terus akan menjadi peluru seperti buku antalogi puisinya Aku Ingin Jadi Peluru.