Mudabicara.com_ Puisi Subagio Sastrowardoyo memberikan warna baru bagi sastra Indonesia. Sastarwa kelahiran Madiun pada tanggal 1 Februari 1924 merupakan seorang kritikus sastra, dosen, penyair dan penulis cerita pendek.
Subagio Sastrowardoyo lahir dari bapak bernama Sutejo, seorang pensiunan Wedana Distrik Uteran, Madiun dan ibu bernama Soejati.
Sepanjang karir dan hidupnya ia menjadi direktur perusahaan penerbitan Balai Pustaka, anggota Dewan Pertimbangan Balai Pustaka dan anggota Dewan Kesenian Jakarta.
Baca Juga : Mengenal Bengkel Teater: Tempat WS Rendra Berkarya
Keluarganya cukup harmonis dengan memiliki 3 orang anak. Nah! kali ini mudabicara ingin mengulas lebih dalam tentang karya puisi Subagio Sastrowardoyo. Selengkapnya simak ulasan berikut ini:
Puisi Subagio Sastrowardoyo
1. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Matinya Seorang Penyair”
Napas begitu tipis seperti kaca
jangan dipecahkan dengan berkata-kata
keheningan jadi pengiring paling setia
bagi kelana di kelam buta
hari kemarin sudah tiada
Betapa lama sebelum rela
membunuh api kenang menyala
di luar keramahan kamar telah terkubur sisa mimpi
hilang nanar
tanpa sesal sosok setubuh dengan sepi
Terbaring di dataran asing
juga langit kelihatan lain
rumah-rumah redup tanpa jendela
tapi dengan tidak menanya
dicium tanah lekat di tangannya
belahan benua ini sebagian dari nasibnya
dia tak kembali ke pantai tua
Rindu lama tidak lagi bergejolak
demam yang diidap sudah reda
detik-detik kini lebih berarti
daripada terus mencari
di balik ufuk pasir melebar
telah habis basah air menghibur
sampai puas digosokkan tubuhnya
ke bumi bisu
Penyair meraba permukaan hari
di sini geraknya berhenti
di ambang gurun tak bertepi
dalam perkawinan dengan sunyi
dia tidak sanggup lagi bernyanyi
ketika napas putus mengalir
di udara bergema pekik terakir
2. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Salju”
Asal mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi dufah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi
Baca Juga : 21 Puisi Sapardi Djoko Damono Wajib Anak Muda Baca
3. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Pasrah”
Demi malam yang ramah
aku berjanji akan menyerah
kepada angin
yang menyisir tepi hari
Di pinggir lembah
aku akan diam terbaring
Yang membuat aku takut
hanya bulan di sela ranting
yang memperdalam hening
4. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Sajak”
Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari.
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit.
Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun:
hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggerek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?
Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.
5. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Upacara”
Ajarilah bagaimana menjadi tua
Terkuak gapura kesadaran
sehingga tampil kerajaan dalam
Tenunan kata mantra
yang kuhamparkan pada hari-hari besar
di bendul pura
adalah untuk menyambut tamu turun tangga
Jika berkenan tiba
apakah sempat memberi tanda
dengan kelining lonceng genta
di kuil pedanda
Di halaman yang tersapu bersih
dengan tubuh putih
aku menanti di bawah cemara
aku boneka yang butuh dihidupi
Bukankah kesetiaan dan kesabaran sebagian
dari upacara
Bulan yang berlayar di puncak batu candi
adalah pengawal gawat
yang memungkinkan lakon terjadi
di manakah teluk sunyi yang tidak disinggahi
Air di mana pun suci
juga yang terpercik di korban bunga melati
setetes dari telaga purba yang sakti
Sebelum ini kutanggalkan keinginan satu per satu
jiwa murni timbul dari siksaan sakit dan ngeri
Pengabdian menuntut penderitaan yang dicari sendiri
Aku telah membasuh di pemandian tirtasari
dan merasa tak bersalah seperti anak kembali
manusia selalu tinggal sebatang kara
tanggung jawab tertimpa pada seorang diri
nyawa yang yatim minta dipelihara
Saudara kandung yang lahir sebelum dan sesudahku
bahkan bunda yang teringat mukanya dalam lamunan
tinggal terkurung dalam pengasingan masing-masing
Nasib terkungkung dalam penjara sepi
Ketakutan tidak datang dari maut yang tiba-tiba hadir
melainkan dari pedih yang tak kunjung berakir
Jadikan aku anak emas
yang tak lepas dari hati
Adakah angan-angan yang lebih manis
daripada mengatasi kecemasan
dan bisa berlaku sebagai jantan
Terlimpah kasih kepada laki-laki gemilang
bagimu aku putra pahlawan
yang berani lebur dengan bayangan hilang
Ketika api hari mati
aku menari sebagai wayang
mengikut getar langkah dewa
Satu gerak tubuh kembar
tingkah gending tabuh kebyar
desah napas mengembus seirama
Dari pembakaran jenasah menyala merah sekar padma
6. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Proklamasi”
Ketapang yang bercumbuan dengan musim
menjatuhkan daunnya di halaman candi
Aku ingin jadi pohon ketapang yang tumbuh
di muka gerbang berukiran huruf lam
yang dijaga orang kidal
Baca Juga : 3 Puisi Putu Wijaya Yang Wajib Anak Muda Baca
7. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Sayap Patah”
Sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
— meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi –
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali
8. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Nada Awal”
Tugasku hanya menterjemah
gerak daun yang tergantung
di ranting yang letih. Rahasia
membutuhkan kata yang terucap
di puncak sepi. Ketika daun
jatuh takada titik darah. tapi
di ruang kelam ada yang merasa
kehilangan dan mengaduh pedih
9. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “LEIDEN 30/10/78 (MALAM PK. 20.15)“
Pada ketinggian usia
mimpi mulai pucat
daerah tandus menapak ke pinggir kota
jejak di pasir tak nampak
kenangan habis tersadap dari dada
membeku darah kata
anak yang baru lahir
masih mengenalnya sebagai sajak
orang lain membiarkannya tergeletak
di antara buku-buku tak terbaca
barangkali hanya Shakespeare sempat menyimak
tetapi dia pun kini sudah tak ada
10. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Pidato di Kubur Orang“
Ia terlalu baik buat dunia ini.
Ketika gerombolan mendobrak pintu
Dan menjarah miliknya
Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan
Ketika gerombolan memukul muka
Dan mendopak dadanya
Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan.
Ketika gerombolan menculik istri
dan memperkosa anak gadisnya
ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian.
Ketika Gerombolan membakar rumahnya
Dan menembak kepalanya
Ia tinggal diam dan tidak mengucap penyesalan.
Ia terlalu baik buat dunia ini
Baca Juga : 22 Puisi Sutan Takdir Alisjahbana Yang Wajib Anak Muda Baca
11. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Kejatuhan”
Di daerah mimpi
nyawaku berdiri sebagai pohon hitam
dengan buah-buah getir bergantung di dahan
Hanya ular yang menjaga tahu akan rasanya
Perempuan yang telah kehilangan selera:
jangan masuk taman terlarang
atau akan bangun aku tersentak
menyaksikan diri telanjang
Atau cukup lebarkah tanganmu
untuk menutup lobang malu?
12. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Monginsidi“
Aku adalah dia yang dibesarkan dengan dongeng di dada bunda
Aku adalah dia yang takut gerak bayang di malam gelam
Aku adalah dia yang meniru bapak mengisap pipa dekat meja
Aku adalah dia yang mengangankan jadi seniman melukis keindahan
AKu adalah dia yang menangis terharu mendengar lagu merdeka
Aku adalah dia yang turut dengan barisan pemberontak ke garis pertempuran
Aku adalah dia yang memimpin pasukan gerilya membebaskan kota
AKu adalah dia yang disanjung kawan sebagai pahlawan bangsa
Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena pengkianatan
Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu eksekusi
Aku adalah dia yang berteriak ‘merdeka’ sbelum ditembak mati
AKu adalah dia, ingat, aku adalah dia
13. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “PARIS 19/10/78 (MALAM PK. 3.15)”
Sudah beberapa hari ini
telah putus tali pusat
maka kabur gambar kenangan
Kumakan bubur perpisahan
dan aku melayang tanpa pedoman
di belakang layar kayon
yang kaupasang
sebelum gamelan dibunyikan
Dari jauh ini
aku tak tahu
lakon apa yang kaudirikan
buat malammu sendiri
Tapi yang kaudengar pasti
menurut kabar cuaca di tv
di Paris ini turun hujan mawar
14. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Manusia Pertama di Angkasa Luar”
Beritakan kepada dunia
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dengan siang.
Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang.
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang.
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo, –itu anak-anak berandal yang kucinta–
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak terberita.
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.
Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.
15. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “NAWANG WULAN“
(Yang Melindungi Bumi dan Padi)
Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga
Sambut aku dengan bunga
Itu darah dari duka dan cinta
Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibu
Bunga buat kekasih yang manis merindu
Bunga buat maut yang diam menunggu
Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru
Anak minta ditimang
Ladang minta digenang
Lalu panggil aku turun di teratakmu
Dengan bunga. Itu darah yang mengalir
dari duka dan cinta
Baca Juga : 13 Puisi Amir Hamzah Yang Wajib Anak Muda Baca
16. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Lahir Sajak”
Malam yang hamil oleh benihku
Mencampakkan anak sembilan bulan
Ke lantai bumi. Anak haram tanpa ibu
membawa dosa pertama
di keningnya. Tangisnya akan memberitakan
kelaparan dan rinduku, sakit
dan matiku. Ciumlah tanah
yang menrbitkan derita. Dia
adalah nyawamu.
17. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “LEEUWARDEN 13/11/78 (MALAM PK. 3)”
Mengalir arus malam
sehingga tenggelam badan
tak tertinggal kesan
Dari puncak hulu
mata air menunjukkan jari
ke mana muara berhenti
teluk buntu
sudah tentu
sebelum terbuka ketelanjangan pagi
Laut tak terinjak
teduh sendiri
tergoncang sepenuh hari
Menetes air kelam
tertahan di telapak
menampa tanpa gumam
18. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Kubu”
Bagaimana akan bergembira kalau pada detik ini
ada bayi mati kelaparan atau seorang istri
bunuh diri karena sepi atau setengah rakyat terserang
wabah sakit – barangkali di dekat sini
atau jauh di kampung orang,
Tak ada alasan untuk bergembira selama masih
ada orang menangis di hati atau berteriak serak
minta merdeka sebagai manusia yang terhormat dan berpribadi –
barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang.
Inilah saatnya untuk berdiam diri dan berdoa
untuk dunia yang lebih bahagia atau menyiapkan senjata
dekat dinding kubu dan menanti.
19. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “DAN KEMATIAN MAKIN AKRAB“
(Sebuah Nyanyian Kabung)
Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti – mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : – Matiku muda –
Ada baiknya
Mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa – itu bahasa
semesta yang dimengerti –
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
– Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan – Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit –
Baca Juga : 10 Puisi Rivai Apin Yang Wajib Anak Muda Baca
20. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Keharuan”
Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak menciumku di ubun.
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.
Keharuan menawan
ktika Bung Karno bersama rakyat
teriak “Merdeka” 17 kali.
Keharuan menawan
ketika pasukan gerilya masuk Jogja
sudah kita rebut kembali.
Aku rindu keharuan
waktu hujan membasahi bumi
sehabis kering sebulan.
Aku rindu keharuan
waktu bendera dwiwarna
berkibar di taman pahlawan
Aku ingin terharu
melihat garis lengkung bertemu di ujung.
Aku ingin terharu
melihat dua tangan damai berhubung
Kita manusia perasa yang lekas terharu
21. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Paradise REGAINED”
Hari yang mempesona
betapa hampa cita
tembikar retak di bawah rabaan jari
Jam terlalu deras
insin saja dilepaskan dari pergelangan
lantas lekas menembus ruang malam
yang cerah intinya
di mana bersinar cahaya di langit angan
dan tak hangus muka oleh usia
Langkah mengalah
dan berita pertama terdengar dari sumbernya
yang asli
Kuncup muda terpetik dari ranting
lalu membuka bunga sajak
Kehadirannya merdu seperti lonceng
lembah meriah
Sungguh firdusi
tak kelak
tak ketika
semerbak abadi
22. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Kata”
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa
23. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “JUGA WAKTU”
Kita tak pernah memiliki
Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
Dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut
Sedang kesetiaan yang dijanjikan kekasih
berhenti pada kianat
Dan nyawa ini sendiri
terancam setiap saat
Tak ada yang kita punya
Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir,
Lalu cepat lari sebelum
semuanya berakhir
Semuanya luput
Juga waktu
24. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Haiku”
malam rebah
di punggung
sepiku
gigir gunung
susut di kaca
hari makin surut
dan bibir habis kata:
dinda, di mana, siapa
tangan terkepal
terhenyak di meja
Baca Juga : 13 Puisi Asrul Sani Yang Wajib Anak Muda Baca
25. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “SAJAK SEJENAK”
Tamu
Masih ada yang mau singgah
di pondok tua – kesan sesal
gamit rindu, gores duka
biar terbuka pintu muka
buat tamu tak terduga
siapa akan mengajak berbicara –
rumput, batu, matahari
arti kabur di pudar hari
di bawah jenjang berdiri bayang
di tangan pisau belati
tiba ia menoleh memperhati
26. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Genesis”
pembuat boneka
yang jarang bicara
dan yang tinggal agak jauh dari kampung
telah membuat patung
dari lilin
serupa dia sendiri
dengan tubuh, tangan dan kaki dua
ketika dihembusnya napas di ubun
telah menyala api
tidak di kepala
tapi di dada
–aku cinta–kata pembuat boneka
baru itu ia mengeluarkan kata
dan api itu
telah membikin ciptaan itu abadi
ketika habis terbakar lilin,
lihat, api itu terus menyala
27. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Panji Lanang Kelana”
Di ruang sunyi
di tengah dada
ada lengking
ada sakit
berhenti bunyi jeram di bukit
istana sudah kosong
di antara tiang batu rindu terbaring
Darah mengental
masih nyaring tuntutan tanah
dari mana berasal
dan bila kembali
taruhan yang salah
telah membuat diri mengembara
bayangan rumah surut di cakrawala
Pada wajah silih berganti
belum bertemu apa yang dicari
topeng-topeng bisu
mengubur sisa haru
di balik dinding
betapa larut sinar hari
raut muka makin kejam
sosok asing hanya mau ramah semalam
Kelana terkutuk tergolek di pinggir kota
(yang bukan punya dia)
sudah lama dia tidak bersolek
menyayangi rupa di kaca
hidupnya tidak untuk siapa
hanya untuk dirinya dia berada
jadi kabur garis pinta
dia tidak lagi punya apa
warisan yang masih ada
tinggal coretan mesum di kamarnya
gambar semu yang kabur artinya
Dia tidak menyesal
bahwa dia tinggal di bawah hujan bintang
dan berjalan sebagai pangeran
yang memburu dan diburu kasih sayang
dia masih membutuhkan bukti
bahwa dia pernah di sini
bayang diri terlempar di layar kenangan
dan disiksa di sana kekal
Dari pola ramuan nada
ingin didengarnya kata-kata
lagu tidak bisa sempurna
tanpa terjalin suara manusia
bahasa merdu itu yang begitu dikenalnya
bicaralah kirana madu kusuma
di tengah kehampaan ditangkapnya gema
Hati melekat pada gejala yang diraba
jari gemetar mengusut makna pada tubuh mempesona
nestapa tumbuh dari bercumbu dengan dunia
dewi, di matamu membujuk nikmat sorga
Yang memberinya keberanian
menempuh kegelapan
adalah benih
yang mau membenam ke perut malam
kalau tiada napsu
apakah mungkin dia pahlawan
menapak benua tanpa kawan
pada batas pajar
bakal ditemuinya kepuasan
Pengalaman perawan
yang menyimpan rahasia tak terjamah
mengapa tidak dihisapnya segera
sampai tetes getah penghabisan
terkam sebelum kesempatan luput dari tangan
serta hidup susut oleh usia
di mulut masih titik air selera
Sudah sekian saat
dia menunggu dekat kayu membara
dan melihat pijar terbasmi
lalu menyala berulang kali
bulan tua terasing di gurun pasir
dan dia seperti anjing
menggonggong mengusir sunyi
tidurnya diganggu oleh mimpi yang sama
nyawa laki dikejar dendam berahi
Sejak termakan buah terlarang
ladang lama tinggal gersang
di dada telanjang
tersurat nasib petualang
selepas rindu merundung kekosongan baru
tidak setia jiwa jalang
28. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Daerah Perbatasan”
Kita selalu
berada di daerah perbatasan
antara menang dan mati. Tak boleh lagi
ada kebimbangan memilih keputusan :
Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.
Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,
Juga kehormatan bagi manusia
dan keturunan. Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.
Lebih baik mati. Mati lebih mulia
dan kekal daripada seribu tahun
terbelenggu dalam penyesalan.
Karena itu kita tetap di pos penjagaan
atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman
dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.
(Sepagi tadi sudah jatuh korban). Hidup
menuntut pertaruhan, dan kematian hanya
menjamin kita menang. Tetapkan hati.
tak boleh lagi ada kebimbangan
di tengah kelaliman terus mengancam.
Taruhannya hanya mati.
II
Kita telah banyak kehilangan :
waktu dan harta, kenangan dan teman setia
selama perjuangan ini. Apa yang kita capai :
Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan
hilangnya ketakutan pada kesulitan.
Kita telah tahu apa artinya menderita
di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian
hanya tantangan terakhir yang setia kita hadapi
demi kemenangan ini. Percayalah :
Buat kebahagiaan bersama
tak ada korban yang cukup berharga. Tapi
dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan
yang tak kunjung berhenti : apa yang menanti
di hari esok : kedamaian atau pembunuhan
lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan
dalam membangun hari depan : pendidikan
tak selesai, cita-cita pribadi hancur
dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus
hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus
bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan
Kita telah kehilangan kepercayan kepada keabadian
Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.
Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar
rumah terus menunggu seekor srigala.
III
Waktu peluru pertama meledak
Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat
Tangan penuh kerja dan mata terjaga
mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh khianat
Mulut dan bumi berdiam diri. satunya suara
hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,
atau jerit hati
mendendam mau membalas
kematian.
Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.
Kalau peluru pertama meledak
Kita harus paling dulu menyerang
dan mati atau menang
Mintalah pamit kepada anak dan keluarga
dan bilang : Tak ada lagi waktu buat cinta
dan bersenang. Kita simpan kesenian dan
budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata
selagi muda
dan mati atau menang.
29. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “SAJAK YANG TAK PEDULI”
30. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “DI DALAM DADA”
Jika dibelah dadaku
akan nampak semua yang diangan
Ada gunung ada lembah
ada pohon di pinggir sawah
jalan setapak menuju ke rumah
Tapi ada juga kota lama
dengan gedung runtuh
dan langit terbakar merah
Ada juga hutan rimba
tempat nyawa tersesat
terbayang di dalam
lengking rusa yang lari terluka
sudah berkumandang sebelum sempat bersuara
Kalau alam tak terangkum dalam dada
bagaimana kata seakan terbit dari tiada
tangan akan hampa meraih ke udara