29 Puisi Subagio Sastrowardoyo Yang Wajib Anak Muda Baca

Sastra1499 Dilihat

Mudabicara.com_ Puisi Subagio Sastrowardoyo memberikan warna baru bagi sastra Indonesia. Sastarwa kelahiran Madiun pada tanggal 1 Februari 1924 merupakan seorang kritikus sastra, dosen, penyair dan penulis cerita pendek.

Subagio Sastrowardoyo lahir dari bapak bernama Sutejo, seorang pensiunan Wedana Distrik Uteran, Madiun dan ibu  bernama Soejati.

Sepanjang karir dan hidupnya ia menjadi direktur perusahaan penerbitan Balai Pustaka,  anggota Dewan Pertimbangan Balai Pustaka dan anggota Dewan Kesenian Jakarta.

Baca Juga : Mengenal Bengkel Teater: Tempat WS Rendra Berkarya

Keluarganya cukup harmonis dengan memiliki 3 orang anak. Nah! kali ini mudabicara ingin mengulas lebih dalam tentang karya puisi Subagio Sastrowardoyo. Selengkapnya simak ulasan berikut ini:

Puisi Subagio Sastrowardoyo

1. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Matinya Seorang Penyair”

Napas begitu tipis seperti kaca
jangan dipecahkan dengan berkata-kata
keheningan jadi pengiring paling setia
bagi kelana di kelam buta
hari kemarin sudah tiada

Betapa lama sebelum rela
membunuh api kenang menyala
di luar keramahan kamar telah terkubur sisa mimpi
hilang nanar
tanpa sesal sosok setubuh dengan sepi

Terbaring di dataran asing
juga langit kelihatan lain
rumah-rumah redup tanpa jendela
tapi dengan tidak menanya
dicium tanah lekat di tangannya
belahan benua ini sebagian dari nasibnya
dia tak kembali ke pantai tua

Rindu lama tidak lagi bergejolak
demam yang diidap sudah reda
detik-detik kini lebih berarti
daripada terus mencari
di balik ufuk pasir melebar
telah habis basah air menghibur
sampai puas digosokkan tubuhnya
ke bumi bisu

Penyair meraba permukaan hari
di sini geraknya berhenti
di ambang gurun tak bertepi
dalam perkawinan dengan sunyi
dia tidak sanggup lagi bernyanyi
ketika napas putus mengalir
di udara bergema pekik terakir

2. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Salju”

Asal mula adalah salju

sebelum tercipta Waktu

sentuhan perawan seringan kenangan

adalah semua yang disebut bumi

dan udara terus bicara

sebab bicara tak pernah berhenti

dan salju jatuh seperti mimpi

Angin kutub memanjang selalu

dan meraba tanpa jari

dan di ambang anjing belang menggonggong

sia sia membuka pagi

hanya geliat bayi dufah terasa

pada dinding tua dekat musim binasa

dan salju melebari hari

Bangunnya Waktu bersama penyesalan

ketika manusia dengan mukanya yang jelek

meninggalkan telapak kakinya di salju

sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda

terlempar damba ke angkasa

Pada saat begini terjadi penciptaan

ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan

menghembuskan napas dan bahasa

bagi segala yang tak terucapkan

sedang selera yang meleleh dari pahanya

menerbitkan keturunan yang kerdil

dengan muka tipis dan alis terlipat

suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa

Dengan tangan kasar digalinya kubur

di salju buat tuhan-tuhannya yang mati

dan di lopak-lopak air membeku

mereka cari muka sendiri terbayang sehari

di antara subuh dan kilat senja

sebelum kebinasaan menjadi mutlak

dan salju turun lagi menghapus semua rupa

dalam kenanaran mimpi

Baca Juga : 21 Puisi Sapardi Djoko Damono Wajib Anak Muda Baca

3. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Pasrah”

Demi malam yang ramah
aku berjanji akan menyerah
kepada angin
yang menyisir tepi hari

Di pinggir lembah
aku akan diam terbaring

Yang membuat aku takut
hanya bulan di sela ranting
yang memperdalam hening

4. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Sajak”

Apakah arti sajak ini

Kalau anak semalam batuk-batuk,

bau vicks dan kayuputih

melekat di kelambu.

Kalau istri terus mengeluh

tentang kurang tidur, tentang

gajiku yang tekor buat

bayar dokter, bujang dan makan sehari.

Kalau terbayang pantalon

sudah sebulan sobek tak terjahit.

Apakah arti sajak ini

Kalau saban malam aku lama terbangun:

hidup ini makin mengikat dan mengurung.

Apakah arti sajak ini:

Piaraan anggerek tricolor di rumah atau

pelarian kecut ke hari akhir?

 

Ah, sajak ini,

mengingatkan aku kepada langit dan mega.

Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.

Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.

Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.

 

5. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Upacara”

Ajarilah bagaimana menjadi tua

Terkuak gapura kesadaran
sehingga tampil kerajaan dalam

Tenunan kata mantra
yang kuhamparkan pada hari-hari besar
di bendul pura
adalah untuk menyambut tamu turun tangga

Jika berkenan tiba
apakah sempat memberi tanda
dengan kelining lonceng genta
di kuil pedanda

Di halaman yang tersapu bersih
dengan tubuh putih
aku menanti di bawah cemara
aku boneka yang butuh dihidupi

Bukankah kesetiaan dan kesabaran sebagian
dari upacara

Bulan yang berlayar di puncak batu candi
adalah pengawal gawat
yang memungkinkan lakon terjadi
di manakah teluk sunyi yang tidak disinggahi

Air di mana pun suci
juga yang terpercik di korban bunga melati
setetes dari telaga purba yang sakti

Sebelum ini kutanggalkan keinginan satu per satu
jiwa murni timbul dari siksaan sakit dan ngeri

Pengabdian menuntut penderitaan yang dicari sendiri

Aku telah membasuh di pemandian tirtasari
dan merasa tak bersalah seperti anak kembali

manusia selalu tinggal sebatang kara
tanggung jawab tertimpa pada seorang diri
nyawa yang yatim minta dipelihara

Saudara kandung yang lahir sebelum dan sesudahku
bahkan bunda yang teringat mukanya dalam lamunan
tinggal terkurung dalam pengasingan masing-masing

Nasib terkungkung dalam penjara sepi

Ketakutan tidak datang dari maut yang tiba-tiba hadir
melainkan dari pedih yang tak kunjung berakir

Jadikan aku anak emas
yang tak lepas dari hati

Adakah angan-angan yang lebih manis
daripada mengatasi kecemasan
dan bisa berlaku sebagai jantan

Terlimpah kasih kepada laki-laki gemilang
bagimu aku putra pahlawan
yang berani lebur dengan bayangan hilang

Ketika api hari mati
aku menari sebagai wayang
mengikut getar langkah dewa

Satu gerak tubuh kembar
tingkah gending tabuh kebyar
desah napas mengembus seirama

Dari pembakaran jenasah menyala merah sekar padma

6. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Proklamasi”

Ketapang yang bercumbuan dengan musim

menjatuhkan daunnya di halaman candi

Aku ingin jadi pohon ketapang yang tumbuh

di muka gerbang berukiran huruf lam

yang dijaga orang kidal

Baca Juga : 3 Puisi Putu Wijaya Yang Wajib Anak Muda Baca

7. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Sayap Patah”

Sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
— meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi –
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali

 8. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Nada Awal”

 Tugasku hanya menterjemah

gerak daun yang tergantung

di ranting yang letih. Rahasia

membutuhkan kata yang terucap

di puncak sepi. Ketika daun

jatuh takada titik darah. tapi

di ruang kelam ada yang merasa

kehilangan dan mengaduh pedih

9. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “LEIDEN 30/10/78 (MALAM PK. 20.15)

Pada ketinggian usia
mimpi mulai pucat
daerah tandus menapak ke pinggir kota
jejak di pasir tak nampak
kenangan habis tersadap dari dada
membeku darah kata
anak yang baru lahir
masih mengenalnya sebagai sajak
orang lain membiarkannya tergeletak
di antara buku-buku tak terbaca
barangkali hanya Shakespeare sempat menyimak
tetapi dia pun kini sudah tak ada

10. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Pidato di Kubur Orang

Ia terlalu baik buat dunia ini.

Ketika gerombolan mendobrak pintu

Dan menjarah miliknya

Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan

Ketika gerombolan memukul muka

Dan mendopak dadanya

Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan.

Ketika gerombolan menculik istri

dan memperkosa anak gadisnya

ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian.

Ketika Gerombolan membakar rumahnya

Dan menembak kepalanya

Ia tinggal diam dan tidak mengucap penyesalan.

Ia terlalu baik buat dunia ini

Baca Juga : 22 Puisi Sutan Takdir Alisjahbana Yang Wajib Anak Muda Baca

11. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Kejatuhan”

Di daerah mimpi
nyawaku berdiri sebagai pohon hitam
dengan buah-buah getir bergantung di dahan
Hanya ular yang menjaga tahu akan rasanya
Perempuan yang telah kehilangan selera:
jangan masuk taman terlarang
atau akan bangun aku tersentak
menyaksikan diri telanjang
Atau cukup lebarkah tanganmu
untuk menutup lobang malu?

12. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Monginsidi

Aku adalah dia yang dibesarkan dengan dongeng di dada bunda

Aku adalah dia yang takut gerak bayang di malam gelam

Aku adalah dia yang meniru bapak mengisap pipa dekat meja

Aku adalah dia yang mengangankan jadi seniman melukis keindahan

AKu adalah dia yang menangis terharu mendengar lagu merdeka

Aku adalah dia yang turut dengan barisan pemberontak ke garis pertempuran

Aku adalah dia yang memimpin pasukan gerilya membebaskan kota

AKu adalah dia yang disanjung kawan sebagai pahlawan bangsa

Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena pengkianatan

Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu eksekusi

Aku adalah dia yang berteriak ‘merdeka’ sbelum ditembak mati

AKu adalah dia, ingat, aku adalah dia

 

13. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “PARIS 19/10/78 (MALAM PK. 3.15)”

Sudah beberapa hari ini
telah putus tali pusat
maka kabur gambar kenangan

Kumakan bubur perpisahan
dan aku melayang tanpa pedoman
di belakang layar kayon
yang kaupasang
sebelum gamelan dibunyikan

Dari jauh ini
aku tak tahu
lakon apa yang kaudirikan
buat malammu sendiri

Tapi yang kaudengar pasti
menurut kabar cuaca di tv
di Paris ini turun hujan mawar

 

14. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Manusia Pertama di Angkasa Luar”

Beritakan kepada dunia

Bahwa aku telah sampai pada tepi

Darimana aku tak mungkin lagi kembali.

Aku kini melayang di tengah ruang

Di mana tak berpisah malam dengan siang.

Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang.

Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang.

Jagat begitu tenang. Tidak lapar

Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.

Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.

Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu

Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota

Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat

Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.

Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa

Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku

Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela

Dengan Alex dan Leo, –itu anak-anak berandal yang kucinta–

Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap

Sekelumit dari pesawatku, seleret dari

Perlawatanku di langit tak terberita.

Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu

Kutinggalkan kemarin dulu?

Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita

Sebab semua telah terbang bersama kereta

ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi

daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji

yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi

yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi

Tetapi aku telah sampai pada tepi

Darimana aku tak mungkin lagi kembali.

Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku

Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang

Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.

Aku makin jauh, makin jauh

Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi

Makin gemuruh.

 

Bunda,

Jangan membiarkan aku sendiri.

 

15. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “NAWANG WULAN

(Yang Melindungi Bumi dan Padi)

Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga

Sambut aku dengan bunga
Itu darah dari duka dan cinta
Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibu
Bunga buat kekasih yang manis merindu
Bunga buat maut yang diam menunggu

Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru
Anak minta ditimang
Ladang minta digenang
Lalu panggil aku turun di teratakmu

Dengan bunga. Itu darah yang mengalir
dari duka dan cinta

Baca Juga : 13 Puisi Amir Hamzah Yang Wajib Anak Muda Baca

16. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Lahir Sajak”

Malam yang hamil oleh benihku

Mencampakkan anak sembilan bulan

Ke lantai bumi. Anak haram tanpa ibu

membawa dosa pertama

di keningnya. Tangisnya akan memberitakan

kelaparan dan rinduku, sakit

dan matiku. Ciumlah tanah

yang menrbitkan derita. Dia

adalah nyawamu.

 

17. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “LEEUWARDEN 13/11/78 (MALAM PK. 3)”

Mengalir arus malam
sehingga tenggelam badan
tak tertinggal kesan

Dari puncak hulu
mata air menunjukkan jari
ke mana muara berhenti

teluk buntu
sudah tentu
sebelum terbuka ketelanjangan pagi

Laut tak terinjak
teduh sendiri
tergoncang sepenuh hari

Menetes air kelam
tertahan di telapak
menampa tanpa gumam

18. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Kubu”

Bagaimana akan bergembira kalau pada detik ini

ada bayi mati kelaparan atau seorang istri

bunuh diri karena sepi atau setengah rakyat terserang

wabah sakit – barangkali di dekat sini

atau jauh di kampung orang,

Tak ada alasan untuk bergembira selama masih

ada orang menangis di hati atau berteriak serak

minta merdeka sebagai manusia yang terhormat dan berpribadi –

barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang.

Inilah saatnya untuk berdiam diri dan berdoa

untuk dunia yang lebih bahagia atau menyiapkan senjata

dekat dinding kubu dan menanti.

 

19. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “DAN KEMATIAN MAKIN AKRAB

(Sebuah Nyanyian Kabung)

Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti – mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : – Matiku muda –

Ada baiknya

Mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa – itu bahasa
semesta yang dimengerti –
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
– Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan – Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit –

Baca Juga : 10 Puisi Rivai Apin Yang Wajib Anak Muda Baca

20. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Keharuan”

Aku tak terharu lagi

sejak bapak tak menciumku di ubun.

Aku tak terharu lagi

sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.

 

Keharuan menawan

ktika Bung Karno bersama rakyat

teriak “Merdeka” 17 kali.

 

Keharuan menawan

ketika pasukan gerilya masuk Jogja

sudah kita rebut kembali.

 

Aku rindu keharuan

waktu hujan membasahi bumi

sehabis kering sebulan.

 

Aku rindu keharuan

waktu bendera dwiwarna

berkibar di taman pahlawan

 

Aku ingin terharu

melihat garis lengkung bertemu di ujung.

Aku ingin terharu

melihat dua tangan damai berhubung

Kita manusia perasa yang lekas terharu

 

21. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Paradise REGAINED”

Hari yang mempesona
betapa hampa cita
tembikar retak di bawah rabaan jari

Jam terlalu deras
insin saja dilepaskan dari pergelangan
lantas lekas menembus ruang malam
yang cerah intinya
di mana bersinar cahaya di langit angan
dan tak hangus muka oleh usia

Langkah mengalah
dan berita pertama terdengar dari sumbernya
yang asli

Kuncup muda terpetik dari ranting
lalu membuka bunga sajak

Kehadirannya merdu seperti lonceng
lembah meriah

Sungguh firdusi
tak kelak
tak ketika

semerbak abadi

22. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Kata”

Asal mula adalah kata

Jagat tersusun dari kata

Di balik itu hanya

ruang kosong dan angin pagi

 

Kita takut kepada momok karena kata

Kita cinta kepada bumi karena kata

Kita percaya kepada Tuhan karena kata

Nasib terperangkap dalam kata

 

Karena itu aku

bersembunyi di belakang kata

Dan menenggelamkan

diri tanpa sisa

23. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “JUGA WAKTU”

Kita tak pernah memiliki

Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
Dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut
Sedang kesetiaan yang dijanjikan kekasih
berhenti pada kianat
Dan nyawa ini sendiri
terancam setiap saat

Tak ada yang kita punya

Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir,
Lalu cepat lari sebelum
semuanya berakhir

Semuanya luput

Juga waktu

24. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Haiku”

malam rebah

di punggung

sepiku

gigir gunung

susut di kaca

hari makin surut

dan bibir habis kata:

dinda, di mana, siapa

tangan terkepal

terhenyak di meja

Baca Juga : 13 Puisi Asrul Sani Yang Wajib Anak Muda Baca

 25. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “SAJAK SEJENAK”

Tamu

Masih ada yang mau singgah
di pondok tua – kesan sesal
gamit rindu, gores duka
biar terbuka pintu muka
buat tamu tak terduga
siapa akan mengajak berbicara –
rumput, batu, matahari
arti kabur di pudar hari
di bawah jenjang berdiri bayang
di tangan pisau belati
tiba ia menoleh memperhati

26. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Genesis”

pembuat boneka

yang jarang bicara

dan yang tinggal agak jauh dari kampung

telah membuat patung

dari lilin

serupa dia sendiri

dengan tubuh, tangan dan kaki dua

ketika dihembusnya napas di ubun

telah menyala api

tidak di kepala

tapi di dada

–aku cinta–kata pembuat boneka

baru itu ia mengeluarkan kata

dan api itu

telah membikin ciptaan itu abadi

ketika habis terbakar lilin,

lihat, api itu terus menyala

27. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Panji Lanang Kelana”

Di ruang sunyi
di tengah dada
ada lengking
ada sakit
berhenti bunyi jeram di bukit
istana sudah kosong
di antara tiang batu rindu terbaring

Darah mengental
masih nyaring tuntutan tanah
dari mana berasal
dan bila kembali
taruhan yang salah
telah membuat diri mengembara
bayangan rumah surut di cakrawala

Pada wajah silih berganti
belum bertemu apa yang dicari
topeng-topeng bisu
mengubur sisa haru
di balik dinding
betapa larut sinar hari
raut muka makin kejam
sosok asing hanya mau ramah semalam

Kelana terkutuk tergolek di pinggir kota
(yang bukan punya dia)
sudah lama dia tidak bersolek
menyayangi rupa di kaca
hidupnya tidak untuk siapa
hanya untuk dirinya dia berada
jadi kabur garis pinta
dia tidak lagi punya apa
warisan yang masih ada
tinggal coretan mesum di kamarnya
gambar semu yang kabur artinya

Dia tidak menyesal
bahwa dia tinggal di bawah hujan bintang
dan berjalan sebagai pangeran
yang memburu dan diburu kasih sayang
dia masih membutuhkan bukti
bahwa dia pernah di sini
bayang diri terlempar di layar kenangan
dan disiksa di sana kekal

Dari pola ramuan nada
ingin didengarnya kata-kata
lagu tidak bisa sempurna
tanpa terjalin suara manusia
bahasa merdu itu yang begitu dikenalnya
bicaralah kirana madu kusuma
di tengah kehampaan ditangkapnya gema

Hati melekat pada gejala yang diraba
jari gemetar mengusut makna pada tubuh mempesona
nestapa tumbuh dari bercumbu dengan dunia
dewi, di matamu membujuk nikmat sorga

Yang memberinya keberanian
menempuh kegelapan
adalah benih
yang mau membenam ke perut malam
kalau tiada napsu
apakah mungkin dia pahlawan
menapak benua tanpa kawan
pada batas pajar
bakal ditemuinya kepuasan

Pengalaman perawan
yang menyimpan rahasia tak terjamah
mengapa tidak dihisapnya segera
sampai tetes getah penghabisan
terkam sebelum kesempatan luput dari tangan
serta hidup susut oleh usia
di mulut masih titik air selera

Sudah sekian saat
dia menunggu dekat kayu membara
dan melihat pijar terbasmi
lalu menyala berulang kali
bulan tua terasing di gurun pasir
dan dia seperti anjing
menggonggong mengusir sunyi
tidurnya diganggu oleh mimpi yang sama
nyawa laki dikejar dendam berahi

Sejak termakan buah terlarang
ladang lama tinggal gersang
di dada telanjang
tersurat nasib petualang
selepas rindu merundung kekosongan baru
tidak setia jiwa jalang

28. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Daerah Perbatasan”

Kita selalu

berada di daerah perbatasan

antara menang dan mati. Tak boleh lagi

ada kebimbangan memilih keputusan :

Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.

Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,

Juga kehormatan bagi manusia

dan keturunan. Atau kita menyerah saja

kepada kehinaan dan hidup tak berarti.

Lebih baik mati. Mati lebih mulia

dan kekal daripada seribu tahun

terbelenggu dalam penyesalan.

Karena itu kita tetap di pos penjagaan

atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman

dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.

(Sepagi tadi sudah jatuh korban). Hidup

menuntut pertaruhan, dan kematian hanya

menjamin kita menang. Tetapkan hati.

tak boleh lagi ada kebimbangan

di tengah kelaliman terus mengancam.

Taruhannya hanya mati.

 

II

Kita telah banyak kehilangan :

waktu dan harta, kenangan dan teman setia

selama perjuangan ini. Apa yang kita capai :

Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan

hilangnya ketakutan pada kesulitan.

Kita telah tahu apa artinya menderita

di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian

hanya tantangan terakhir yang setia kita hadapi

demi kemenangan ini. Percayalah :

Buat kebahagiaan bersama

tak ada korban yang cukup berharga. Tapi

dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan

yang tak kunjung berhenti : apa yang menanti

di hari esok : kedamaian atau pembunuhan

lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan

dalam membangun hari depan : pendidikan

tak selesai, cita-cita pribadi hancur

dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus

hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus

bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan

Kita telah kehilangan kepercayan kepada keabadian

Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.

Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar

rumah terus menunggu seekor srigala.

 

III

Waktu peluru pertama meledak

Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat

Tangan penuh kerja dan mata terjaga

mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh khianat

Mulut dan bumi berdiam diri. satunya suara

hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,

atau jerit hati

mendendam mau membalas

kematian.

Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.

Kalau peluru pertama meledak

Kita harus paling dulu menyerang

dan mati atau menang

Mintalah pamit kepada anak dan keluarga

dan bilang : Tak ada lagi waktu buat cinta

dan bersenang. Kita simpan kesenian dan

budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata

selagi muda

dan mati atau menang.

 

29. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “SAJAK YANG TAK PEDULI”

 
Sajak yang dewasa
sudah tak peduli
apakah aku menangis atau ketawa
Di muka cermin
aku tak mengenal lagi
ia bayangan siapa
Setiap hendak kutangkap
ia lolos dari dekap
tak mau menampung rasa
Di luar jamah
ia sebagian dari semesta
satu dengan suara manusia
Setelah ia dewasa
aku tak punya kuasa
maka kubiarkan dia berjalan merdeka

30. Puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “DI DALAM DADA”

Jika dibelah dadaku
akan nampak semua yang diangan

Ada gunung ada lembah
ada pohon di pinggir sawah

jalan setapak menuju ke rumah

Tapi ada juga kota lama
dengan gedung runtuh
dan langit terbakar merah

Ada juga hutan rimba
tempat nyawa tersesat
terbayang di dalam
lengking rusa yang lari terluka
sudah berkumandang sebelum sempat bersuara

Kalau alam tak terangkum dalam dada
bagaimana kata seakan terbit dari tiada
tangan akan hampa meraih ke udara

 

Tulisan Terkait: