Mudabicara.com_ Puisi-puisi Linus Suryadi AG, Linus Suryadi AG adalah satu dari sekian sastrawan hebat dan terkenal yang lahir di Indonesia. Ia adalah sastrawan kontemporer yang muncul di era keriuhan dan keemasan dunia sastra serta kesenian di Yogyakarta.
Hingga kini karya Linus Suryadi AG menjadi inspirasi bagi generasi sastrawan setelahnya. Nah, Siapakah Linus Suryadi AG itu sebenarnya? Bagaimana sepak terjangnya? Seperti apa karyanya? Mari simak ulasan mudabicara.com terkait karya puisi-puisi Linus Suryadi AG.
BACA JUGA : BUDAYA MEMBACA BUKU, TERBIASA KARENA DIBIASAKAN
Mengenal Linus Suryadi AG
Linus Suryadi Agustinus adalah seorang sastrawan asli Yogyakarta. Ia Lahir dipelosok dukuh Kadisobo, desa Trimulyo, Sleman, Yogyakarta pada 3 Maret 1951. Linus Suryadi Agustinus lebih dikenal dengan Linus Suryadi AG. Seorang sastrawan yang terkenal dengan sentuhan lokalitas khas Yogyakarta.
Linus lahir di tengah keluarga sederhana Jawa. Ia memulai pendidikan di SMA 1 BOPKRI kemudian masuk Universitas Sanata Dharma.
Namun ia tak betah belajar di kampus dan akhirnya mengembara di pojok jalan Malioboro untuk belajar menulis secara otodidak.
Karyanya yang lembut mencerminkan mozaik budaya khas Jawa yang lebih sopan dalam menyampaikan kritik. Kemampuan bersastra dan menulis Linus ditempa di Persada Studi Klub (PSK). Sebuah komunitas kreatif yang didirikan oleh Umbu Landu Paranggi di jalan Malioboro 175 A.
Melalui komunitas kreatif PSK, Linus bertemu dengan beberapa orang penulis lainnya seperti Emha Ainun Najib (Cak Nun), Imam Budhi Santoso, dan Korrie Layun Rampan.
Di lain sisi karya Linus AG juga dipengaruhi oleh seorang budayawan kondang Umar Kayam. Karya Pegakuan Pariyem konon lahir dari diskusi panjang Linus bersama pak Umar Kayam.
Karya Linus Suryadi AG
Beberapa karya linus terekam dalam bentuk buku antara lain:
Langit Kelabu (1980)
Pengakuan Pariyem (1980)
Perkutut Manggung (1986)
Rumah Panggung (1988)
Kembang Tunjung (1988)
Lingga-Yoni (belum terbit)
Puisi bersetting wayang dan watak dalam Ramayana dan Mahabrata, Yogya Kotaku (belum terbit)
Buku esai sastra dan menyunting Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern, sebanyak 4 jilid yang terbit tahun 1987.
BACA JUGA : MENGILHAMI PUISI PERINGATAN WIJI THUKUL
Puisi-Puisi Linus Suryadi AG
ISTRUMENTALIA
untuk Oka Kusumayudha
Ibarat piano, biola dan drum
Disentuh oleh pemain alam
Itukan suara dalam hatimu ?
Mendadak menjadikan bayang
Instrumen melahirkan Ave Veoum
Membujuk-bujuk kemauanku
Menimbulkan gagasan baru
dalam gairah hidup kekal
kehangatan terus mengalir
mencairkan darah yang beku
Itukah nestapa yang lingsir ?
Terlepas dari belenggu
ELEGI
Pemuda itu memetik gitar
Dunia guramnya sendiri
Udara sekitar gemetar
menjalin ‘Dukamu Abadi’
Seorang gadis telah pergi
ketabrak bis di Purwosari
Seorang pergi, seorang pergi
Bertumpuk surat tak ada arti
Pemuda itu memetik gitar
Dunia guramnya sendiri
Ia berkisah, jelas kudengar
hanya sunyi menabiknya kini
ALIBI
antara ayat-ayat suci
engkau pun mencari
halaman yang hilang
(anak kecil mengejar layang-layang)
kapan cuaca tiba
meredakan gemuruh kedirian
(terompah impian
di sisi kesepian)
adalah sesuatu
derasnya topan
deru rindu
dendam kekecewaan
KEMUDIAN SENYAP, KEMUDIAN GELAP
Kemudian senyap, kemudian gelap
engkau berjalan demikian tegap
Jika hari, engkau tahu, berayun
dalam lena kabut-kabut terbantun
Jatuh di tanah-tanah yang anggun
jatuh kita yang sangsi: Kenapa di sini
Kenapa engkau dan aku bersendiri
suara pun menebak: suaramukah ini?
1971
BARON
Engkau dengarkah di sini: dentum ombak dan karang
gugusan pantai selatan, tepi jurang-jurang dalam
Horison yang jauh , lengkung langit berawan
membias ke laut, dalam, membiaskan permukaan
Engkau dengarkah di sini: dentum ombak dan karang
menembus sungai perlahan, susut muara tenggelam
Gempuran yang bertahan, angin semesta mengemban
perpaduan kasih, dalam, perpaduan dendam
1974
ELEGI
– pemuda
Pemuda itu memetik gitar
dunia guramnya sendiri
Udara sekitarnya gemetar
menjalin Dukamu Abadi*
Seorang gadis telah pergi
dengan sakramen dan hosti
Seorang gadis telah pergi
menggoreskan luka kembali
Seorang gadis telah pergi
ketabrak bis di Purwosari
Seorang pergi, seorang pergi
bertumpuk surat tak ada arti
Pemuda itu memetik gitar
dunia guramnya sendiri
Ia berkisah, jelas kudengar
hanya sunyi menabiknya kini
1978
* Dukamu Abadi: kumpulan sajak Sapardi Djoko Damono
DARI GUNUNG SION
– prosesi advent
Jika dari gunung Sion
ke jantung kota Jerusalem
arak-arakan yang panjang
pada rangkaian hari Pondok Palem
Bagaikan pergi ziarah
ke kubur-kubur di bukit
dalam gaung-gema nyanyian
menyibak kesunyian batu granit
Para putri ngapu rancang
betapa jauh iringan
betapa terjal jalan
dengan sekelumit doa pengharapan
Jika saja musim balau
dari puing-puing bayang
Kita pun usah mengigau
berlindung di bawah Tiang Berpalang
PETRUK KUMAT
“Padi PB, padi IR, padi PB, mbahmu
Hama wereng saja tidak doyan
Lha kok orang, disuruh makan”
Gerutu Kantong Bolong sambil ngeloyor
Si Jangkung kalung sarung manggul pacul
Tangan kirinya menangkap keranjang
Tangan kanan njepit rokok lintingan
Dan sabit terselip di belakang pinggang
Dan Mas Petruk jelalatan: “Kamu paham,
Tanah pun hancur makan obat tanpa aturan”
Matanya merah, tampaknya kurang tidur
“Masih grundelan? Babat kontolmu sisan”
“We lha trembelane. Petruk kumat mendem”
Pikir Gareng: “Semalam dia kalah gaple”
Jaman dijajah kere. Jaman merdeka idhem
Kaum tani tak pernah genah. Terbengkalai
1983
NOCTURNO
Malam beranjak
dilepas lagu
Tercium segrak
aroma rindu
Dentang-denting
dentang jantung
Arloji nyaring
di rumah suwung
Apa yang samar
di antara kita
Perihal jarak
tak tembus mata?
Tapi lirih
terdengar Talu
Suara kasih
yatim piatu
Bagaikan sekuntum
molek mawar
Mekar harum
tergolek di altar
1983
MIMPI BISMA
“Tak bisakah cari pria lain?” ujar Bisma
Ia pun balik bersandar ke pohon munggur
Angin silir mengipas batinnya yang papa
Resi Talkanda itu terlena. Ia pun tidur
Ada sasmita gaib dibisikkan oleh Narada
Ada prajurit wanita. Ia dandan senapati
Bisma kaget: betapa ia mirip Dewi Amba
Lenggang-lenggoknya tangkas dan merak ati
“O, biang cerewet. Kau datang nagih janji
Lepaskan panah itu. Tepat ke dada kiriku!”
Sambutnya, seolah tidak sabar bersendiri
Alangkah setia bayang kasihnya menunggu
Bisma pun kaget. Ia terbangun dari mimpi
Dan mengucek matanya. Ia ngungun berdiri:
“Ditolak malah tapa. Uh, wanita. Rela mati
Yaya, kapan kusongsong panah Wara Srikandi?”
1983
BETLEKHEM
Di tumpukan jerami di kandang
sapi dan domba, kuldi dan onta
Kudengar jeritan penuh pesona
jeritan purba di jagad lengang
Tangisan adalah suara pertama
suara yang tersua pengembara
Sebentar, peceh tawa gembira
si wajah kembar yang tua pula
Kudengar jerit cenger suara bayi
kudengar segar, polos, dan sunyi
Bergelung-gelung di rongga malam
o, kudengar jerit batinku sendiri
1980
KANGAROO VALLEY
(1)
Padang rumput
penuh ilalang
Angin semiyut
kering kerontang
Pada keluasan
jagad beredar
Dalam sepuhan
matahari bersinar
Seperti kemarin
tahun sekarang
Hujan dingin
pun ingkar datang!
Di atas dahan
pohon Ekaliptis
Ada kegelisahan
mengais-kais
Burung Kukabara
di ketinggian
Serak terbata-bata
menagih awan:
“Welcome, welcome
come, come, come, …”
(2)
Kita pandang
matahari bundar
Mirip tampah
tembaga terbakar
Hawa panas
gurun mati
Lintas lepas
bersuhu tinggi
Hutan pinus
berhektar-hektar
Gelisah aus
angin menggelepar
Kuda dan sapi
haus dan lapar
Mencari kali
hijau semak belukar
Di kota-kota
tepian benua
Orang pun kungkum
di pantainya
(3)
Angin gunung
terus turun
Bergelombang
di daerah Farm
Rumputan ranggas
oleh musim
Nasib naas
bangsa Aborigin
400 Celsius
suhu tercapai
Hutan pinus
tinggal bangkai!
Ah, di mana
gema kharismamu
Sedang Victoria
lama nunggu
Di mana mantram
nenek moyangmu
Di New South Wales
di Kangaroo Valley
1983
ARJUNA DI PADANG KURUSETRA
Arjuna menyisih ke pinggir gelanggang
Ia bingung menghadapi musuhnya seorang
Separohnya cemas dan separohnya gemas:
“O, kenapa wanita ikut terlibat perang?”
Ia cantik dan cerdas. Ia pun pintar berhias
Dan pandang matanya merampok nalar Arjuna
“Kresna, setankah masuk ke dalam batinnya?”
Di kereta angkasa dewa-dewi menahan Sabda
Tapi para pendeta sibuk di sanggar pamujan
Asyik membakar dupa. Khusuk masyuk berdoa:
“Pandawa dan Kurawa tak letih, harus milih
O, kutuk siapa! Kenapa bukan cintakasih?”
“Murdaningsih,” kata Arjuna: “Yang mana:
Panah sakti Pasopati atau panah Asmara?”
Satunya racun maut, satunya api hidup
Pada kita, keduanya pun saling berebut.
1983
NOCTURNO
Bagaimanakah kau hendak memotret rasi-rasi bintang
yang berguling dalam gelombang cahaya langit malam?
Bagaimanakah kau hendak menghitung galaksi Bima Sakti
yang warna-warni dan timbul tenggelam dalam kelam?
Ya, bagaimanapun kau hendak merekam gelagat insan
yang sarat dogma kitab-kitab dan rahasia penciptaan
1992
JURANG
“Monika!” teriak seseorang di tebing kanan
“Merdeka!” balas seorang di tebing kiri
Lalu keduanya melambai-lambaikan tangan
Mereka merasa bahwa salamnya kesampaian
1975
Karir Linus Suryadi AG
Sebagai penulis Linus pernah menjadi redaktur majalah kebudayaan Citra Yogya dan Dewan Kesenian Yogyakarta. Pendek kata, sebenarnya karir terbesar Linus bukanlah pekerjaannya tetapi karir terbesarnya dalah karyanya itu sendiri.
Melalui karya Puisi-Puisi, Linus Suryadi AG memotret keadaan antropologis masyarakat Jawa. Ia menanam kesadaran budaya yang tak lain dapat dibaca dalam karyanya yang berjudul Pengakuan Pariyem.
Akhirnya, Linus Suryadi AG kembali pada sang Pencipta Pada 30 Juli 1999 namun sumbangsihnya tak pernah meninggalkan dunia sastra Indonesia. Linus Abadi bersama karyanya.