Mudabicara.com_ Siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar sosok sastrawan sekaligus pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Hampir bisa dipastikan setiap orang yang pernah belajar sastra Indonesia tentu mengenal sosok Chairil.
Seorang penyair dengan segudang karya-karya monumental dan terkenal pada masa- masa pejuangan melawan kolonialisme.
Nah! kini mudabicara ingin mengulas sosok penyair ternama Indonesia bernama Chairil Anwar. Yuk! selengakapnya silahkan baca artikel berikut ini:
BACA JUGA : Pembagian Sastra lama Indonesia, Macam dan Jenisnya
Mengenal Penyair Besar Chairil Anwar
Seorang penyair dan sastrawan ternama ini lahir pada 26 Juli 1922 di kota melayu deli, Medan. Chairil Anwar tumbuh besar pada situasi peralihan yang penuh gejolak. Sebuah transisi dari situasi terjajah menuju kemerdekaan.
Penolakannya terhadap kolonialisme merupakan salah satu faktor pembentuk pemikiranya. Misalnya, Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan wujud Penolakan Chairil dan teman-temannya terhadap pengertian kebudayaan nasional sebagai kegiatan melap-lap kemudian lama yang lapuk.
Bagi Chairil Kebudayaan adalah cara suatu bangsa mengatasi masalah yang lahir dari situasi zaman dan tepat. Ada dua faktor utama mengapa Chairil Anwar menjadi sangat populer.
Sastra Mimbar dan Sastra Kamar
Pertama, Ia merupakan sosok penyair yang menulis sajak-sajak yang bermutu tinggi. Jenis sastra yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu seperti perang, revolusi, dan perlawanan.
BACA JUGA : Pengertian Unsur Intrinsik, Macam dan Contohnya
Beberapa ahli mengatakan sastra Chairil adalah sastra mimbar yaitu jenis sastra yang secara tematis sangat erat hubungannya dengan keadaan dan persoalan zaman.
Sastra mimbar biasanya berupa tanggapan dari persoalan-persoalan besar yang ada se zaman dengan lahirnya karya sastra tersebut.
Beberapa karya Chairil yang termasuk dalam sastra mimbar antara lain adalah Aku, Perjanjian Dengan Bung Karno, Catatan Tahun 1946 dan Kerawang Bekasi.
Kedua, Chairil juag menulis sajak-sajak yang dapat menjadi bahan perenungan yang temanya lebih kepada persoalan-persoalan keseharian masyarakat.
Beberapa ahli sastra mengatakan karya sastra dengan model seperti ini dengan sebutan Sastra kamar. Beberapa karya sastra kamar Chairil Anwar antara lain berjudul, Senja di Pelabuhan Kecil, Derai-Derai Cemara dan Penghidupan.
BACA JUGA : Mengilhami Puisi Derai-derai Cemara, Chairil Anwar
Sebagai seorang sastrawan Chairil memang piawa dalam pengolahan bahasa, sajak-sajaknya sangat khas dan spesisfik. Ia mampu membuka kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga.
Kemampuannya membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekaan dan kelincahan membuat sastra Indonesia menjadi hidup dan membumi. Pun kiranya sampai saat ini masih terasa pengaruh sajak Chairil terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Chairil mampu melepaskan bahasa dari lingkungan kaidah baku bahasa meski secara tata bahasa menyalahi aturan. Namun sebagai sarana ekspresi ia mampu membawanya terasa sangat fungsional dan indah.
Begitu kuarnya pengaruh Chairil di dalam mengolah pengucapan bahasa sajak menyebabkan penyair-penyair sesudahnya meneladani cara pengolahan sajaknya.
Chairil Anwar dan Pilihan Hidup
Sebagai seorang sastrawan terkenal umur Chairil memang tidak lama. Hanya melalui karya-karyanya ia membuktikan mampu hidup seribu tahun lagi. Seperti salah satu sajaknya “Sekali berarti setelah itu mati dan aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Tepat pada 28 April 1949 saat sore menuju senja Chairil menghembuskan nafas terakhir di usianya yang baru menginjak 27 tahun. Dan kini hari kematian pujangga besar Indonesia ini diperingati dengan Hari Chairil Anwar.
Sebagai penyair dan sastrawan Chairil tidak setengah-setengah dalam mengeluti dan menjalani prinsip hidupnya. Ia memiliki cara pandang yang luas dalam menghadapi setiap persoalan dan masalah dalam kehidupann sehari-hari.
BACA JUGA : Mengenal Sosok Ismail Marzuki dan Karyanya
Ia tetap menjadi pribadi yang tenang dan bersahaja. Kesukaannya membaca merupakan salah satu kunci kenapa karya sastra Chairil menciptakan diksi-diksi bahasa baru dalam perhelatan perkembangan bahasa Indonesia.
Selain itu, Chairil adalah sosok sastrawan yang mampu menguasai tiga bahasa asing yaitu Belanda, Jerman dan Inggris dengan baik. Melalui penguasaan bahasa asing inilah ia mampu memperoleh informasi primer dari dunia internasional.
Dunia kesusastraan sebagai pilihan hidupnya dijalaninya dengan bersungguh-sungguh. Ia pun bekerja habis-habisan untuk mengolah pilihan hidupnya itu sampa dipuncak keberhasilan.
Meskipun kiranya Chairil belum menyadari sampai ajal menjemput jika ia adalah sosok sastrawan berpengaruh di Indonesia.
Banyak orang mengira Chairil Anwar adalah petualang kumuh. Namun salah satu sahabatnya Asrul Sani membantahnya tudingan tersebut.
Chairil dan Teladan Untuk Generasi Muda
Bagi Sani, Chairil adalah sosok sastrawan yang selalu berpakaian rapi meskipun ia seorang bohemian. Kerah kemajanya selalu kaku karena dikanji dan bajunya senantiasa disetrika licin bahkan bisa dikatakan ia adalah seorang dandy.
Chairil Anwar memang menjadi legenda sastra Indonesia. Ia berhasil menjadi salah satu sastrawan yang paling berpengaruh berkat kesungguhan dan perjuanganya atas pilihan hidup.
Semangat memegang prinsip hidup inilah yang kiranya dapat menjadi teladan bagi kaum muda sekarang ini.
Untuk mengenang jasa-jasa Chairil Anwar pada perkembangan sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memberikan anugerag sastra kepada para sastrawan dan penyair dengan nama Anugerah Sastra Chairil Anwar.
Anugerah dengan nama Chairil Anwar sudah diberikan kepada para sastarawan seperti Mochtar Lubis pada tahun 1992. Sutardji Calzoum pada tahun 1998.
BACA JUGA : 10 Manfaat Belajar Sastra Untuk Anak Muda
Berkat jasanya Chairil dinobatkan sebagai pendobrak zaman dan pelopor angkatan 45.
Terbaru pada Juni 2007 Chairil Anwar masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra yang diterima oleh puterinya, Evawani Elissa Chairil Anwar.
Karya-Karya Sastra Fenomenal Chairil Anwar
Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo Bung Karno kasih tangan,
Mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu,
dipanggang di atas apimu, digarami oleh lautmu
Dari mulai tanggal 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno, Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh.
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berani
Sudah itu mati.
Maju
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas tiada
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Mnjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Catatatan Tahun 1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahaya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu ;
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang; tenggorokan kering sedikit mau basah!
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Senja di Pelabuhan Kecil
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
diantara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Derai Derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Penghidupan
Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita
Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahgia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.
Bercerai
Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Benar belum puas serah menyerah
Darah masih berbusah-busah.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Kita musti bercerai
Biar surya ‘kan menembus oleh malam diperisai
Dua benua bakal bentur-membentur.
Merah kesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kau IDA, mau turut mengabur
Tidak samudra caya tempatmu menghambur.
Do’a
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CayaMu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Kenangan
Puisi Kepada Kawan
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!